Rabu, 19 Oktober 2011

'Parkinson' Reshuffle Kabinet

         Penyakit mundurnya sistem saraf pusat atau Parkinson semakin dikenal sejak petinju legendaris dunia, Muhammad Ali menderita penyakit itu.
        Parkinson telah membuat Muhammad Ali tidak mampu mengontrol syaraf motoriknya, sehingga tangan dan kakinya gemetar terus menerus. Kini "Parkinson" tak hanya menyerang manusia, tetapi telah menjalar ke pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
        "Kabinet SBY saat ini seperti terserang Parkinson. SBY telah kehilangan kontrol atas pemerintahannya sendiri, terutama saat melakukan resuffle kabinet," ujar Pakar Hukum Tata Negara LIPI Syafuan Rozi Soebhan, kepada ANTARA, menanggapi reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid II di Jakarta, Senin.
        Soebhan menilai Presiden SBY telah kehilangan kontrol karena ia terlihat khawatir dengan ancaman parpol yang akan keluar koalisi jika ia mengganti menteri-menteri parpol. Oleh karena itu ia hanya berani  menambah wakil menteri dalam kabinetnya, sementara "jatah" menteri dari parpol relatif tetap.
        Padahal, menurut Soebhan, pemerintahan SBY saat ini sangat membutuhkan orang-orang profesional untuk memimpin kementerian, demi meningkatkan kinerja pemerintahannya.
   Perombakan atau reshuffle kabinet, kata Soebhan, akan lebih berarti jika SBY mengganti beberapa menteri dari parpol dengan orang-orang profesional, ketimbang penambahan wakil menteri yang bisa menyebabkan kabinet menjadi gemuk.
        "Penambahan wakil menteri yang tidak dijelaskan fungsinya oleh presiden juga akan menyebabkan terjadinya gejala 'parkinsonisasi'," katanya.
        SBY melakukan penambahan wakil menteri dalam resuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, dengan harapan bisa memperbaiki kinerja sejumlah kementerian yang bermasalah, namun sayang menurut Rozi Soebhan, pemekaran birokrasi yang dilakukan pemerintah justru tidak sesuai dengan fungsinya.

        Dosen Tata Negara Universitas Indonesia ini mengatakan penambahan jabatan wakil menteri di sejumlah kementerian ini lebih merupakan buah dari sikap Presiden SBY terlalu akomodatif dengan partai politik.
        Kalaupun akan menunjuk wakil menteri, Presiden juga harus memperhatikan Undang-Undang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor 47/2009 tentang pengangkatan wakil menteri.
        "Tapi sepertinya hal ini tidak berlaku pada Denny Indrayana yang dicalonkan sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, padahal ia tidak pernah merintis karir secara struktural," sebut dia.
        Pakar Tata Hukum Tata Negara dari Universitas Diponegoro Ari Junaidi, mengatakan penambahan wakil menteri hanya sebuah sebuah pepesan kosong. Apalagi tidak semua kementerian yang mempunyai perpanjangan tangan di daerah.
        "Seharusnya presiden tidak perlu mengangkat wakil menteri, cukup dengan melakukan optimalisasi Ditjen yang ada di kementerian," kata Ari.
  
                             Bingung
    Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo, juga menyayangkan langkah presiden yang menambah pos wakil menteri karena akan menyebabkan terjadinya kegaduhan politik birokrasi baru.
         "Seharusnya Presiden melakukan penggantian menteri, bukan menunjuk wakil menteri. Kalau justru menambah wakil menteri, ini menunjukkan awal kebingungan pemerintah," kata Tjahjo.
         Menurut dia, jika presiden memerlukan penyegaran makannya penambahan haruslah mempertimbangkan kepangkatan. Jika tidak akan menyebabkan pemborosan anggaran.
         Ungkapan senada disampaikan Pengamat politik Universitas Indonesia Arbi Sanit menilai tambahan wakil menteri tidak mencerminkan efektivitas pemerintahan.
         "Penambahan wakil menteri justru memboroskan anggaran dan membuat birokrasi semakin tambun," kata Arbi.
         Menurut Arbi, hal ini bukan jawaban terhadap keinginan masyarakat untuk meningkatkan efektivitas pemerintah. Padahal menurut dia, saat ini hampir di seluruh dunia dituntut untuk lebih efektif dan efisien dalam mengelola pemerintahan.      
    Sementara itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badarudin mengatakan penambahan Wakil Menteri Keuangan tidak akan merusak struktur penggajian atau mengubah postur belanja pegawai pada APBN karena dimasukkan dalam anggaran transito yang digunakan untuk mengamankan kebijakan presiden.
  
                        Kepentingan Rakyat
    Sementara itu Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Maruara Sirait, mengatakan reshuffle yang dilakukan harus mengutamakan kepentingan rakyat bukan kepentingan parpol koalisi.    
    "Dari Hasil laporan UKP4 sudah disebutkan sekitar 50 persen Kementerian tidak bekerja secara maksimal. Seharusnya SBY harus mengganti menteri-menteri itu, bukan menambah wakil menteri baru," kata politisi yang akrab disapa dengan Ara ini.
         Ara mengatakan SBY jangan terbelenggu dengan kepentingan politik sejumlah partai. Menurut Ara, yang lebih terpenting bagaimana rakyat hidup dengan aman, adil, makmur, dan sejahtera.
         "Reshuffle itu hanya alat, yang lebih utama adalah kepentingan rakyat," tukas Ara.
         Perombakan kabinet masih terus berlangsung. Presiden SBY direncanakan akan mengumumkan hasil reshuffle kabinet pada Selasa (18/10) mendatang, usai pulang dari Yogyakarta. Dan dilanjutkan pelantikan pada keesokan harinya.
         Hingga kini ada 17 calon wakil menteri yang ditambahkan ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Dimana Kemendiknas yang akan beralih nama menjadi Kemendikbud dan Kemendag akan memiliki dua wakil menteri.
        Selain itu terdapat enam calon menteri baru yakni Gita Wirjawan yang akan menjadi Menteri Perdagangan, Amir Syamsuddin diproyeksikan menjadi Menteri Hukum dan HAM, dan Anwar Abubakar menjadi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara atau PAN.
        Kemudian, Jan Farid menjadi Menteri Perumahan Rakyat, Letjen TNI Marciano Norman menjadi Kepala Badan Intelijen Negara atau BIN, dan Dahlan Iskan.
        Lingkar Survei Indonesia (LSI) Minggu (16/10) lalu mengungkapkan kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua tahun terakhir hanya mencapai 46,2 persen.
        Seperti juga dengan Parkinson, jika tidak ditangani dengan pengobatan dan perawatan yang tepat maka akan membuat penderitanya tak bisa berkutik lagi. Begitu juga pemerintah, jika secepatnya tidak bertindak akan membuat gejala Parkinsonisasi menjalar ke sendi-sendi pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar