Minggu, 04 Maret 2018

Cerita Tentang Mba Rini

Tadi pagi, sehabis Shubuh saya teringat dengan Mba Rini, senior saya di kantor. Saya kemudian mengirimkan pesan WA kepada dia, menanyakan kabar dan sampai sekarang belum dibalas. Semoga dalam keadaan baik-baik saja.

Kemarin juga pas outing kantor di Puncak, saya juga tidak melihat dia. Sebenarnya saya tidak akrab, cuma beberapa bulan ini sering ketemu. Saya lihat mukanya kuyu, pucat dan seperti tidak punya semangat hidup.Pernah saya tanya, mau kemana mba. Dia jawab mau ke RSCM, ada sesuatu dengan kepalanya. Saya katakan, semoga tidak kenapa-napa, lalu dijawabnya dengan tersenyum.

Tahun baru lalu, saat saya menunjukkan gejala sakit. Mba Rini yang memberi perhatian, padahal saat itu saya tugas piket tahun baru dan juga siaga. Kata dia, kesehatan lebih penting dan saya harus segera ke dokter. Dan benar, tepat sehabis siaga dan saat malam tahun baru saya sakit dan harus dirawat selama lima hari di rumah sakit.

Pertengahan bulan lalu, saat saya piket dan kebetulan mba Rini menjadi redakturnya. Dia cerita kalau sebenarnya dia terkena kanker otak.. Saya kaget, tapi ya mau bagaimana. Penyakit datang tanpa diketahui penyebabnya. Itu diketahuinya ketika bertugas di Beijing. Dokter di sana, divonis hanya tinggal beberapa bulan saja hidupnya. Duh dokter, sudah macam Alloh saja ya. Jangan nambah rukun Iman dengan percaya dengan dokter spesialis ya guys...

Ia juga merasa di sana seperti dibuang, tanpa adanya perhatian dari pihak perusahaan. Mungkin kalau menurut saya, karena mba Rini masih single dan keluarganya pun jauh dari dia. Jadi ketika sakit dan membutuhkan banyak perhatian dari orang yang disayang, dia justru sendirian di negeri orang.Saya tak bisa membayangkan jika dalam posisi dia.

Lalu, ia pun kembali ke Indonesia. Menjalani pengobatan dan semuanya berjalan dengan baik. Ia juga jalani pengobatan alternatif dengan ustadz. Menurutnya kondisinya semakin membaik. Alhamdulillah. Lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa apa yang selama ini dicari entah itu jabatan, prestasi ataupun harta duniawi tak ada artinya, karena nanti yang menjadi bekal adalah amal soleh kami, amal yang kami torehkan. Kami banyak bercerita sambil makan pindang patin. Kami juga bercerita betapa baiknya Alloh SWT pada kami sehingga memberikan penyakit sebagai pengingat. Penyakit yang entah darimana datangnya, dan tiba-tiba dikasih saja oleh Alloh begitu saja. Ini anugerah, karena Alloh sayang kami. Sama dengan kisah Jubir BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, yang tiba-tiba terkena kanker paru stadium lanjut padahal dia selalu hidup sehat. Penyakit datang dengan cara tak terduga-duga...ya kan. Kembali ke mba rini, semoga kenapa-napa. Aamiin.


Perempuan

Perempuan,
Meski saya berjenis kelamin perempuan terkadang saya merasa jengah juga dengan makhluk bernama perempuan. Makanya saya tidak menikah dengan perempuan, tetapi lelaki. hehe
Sebenarnya ini ungkapan kekecewaan saya, terhadap sahabat saya yang menggugat cerai suaminya. Sebut saja namanya Melati. Melati sudah menikah dengan suaminya sejak 2013. Lumayan lama, sudah punya rumah di kota asalnya dan juga kendaraan. Bisa dikatakan akar muasalnya perceraiannya karena masalah ekonomi. Yah masalah ekonomi. Si perempuan merasa lelah menjadi tulang punggung, sementara si lelaki enak-enak saja berada di kontrakan tidur-tiduran dan kemudian marah-marah. Perbedaan etnis juga mempengaruhi, si suami Batak dan yang perempuan adalah Jawa yang halus.

Menikah itu rumit sebenarnya, jika tidak tujuannya apa. Tapi kalau tujuannya ingin ke surga, maka semua masalah akan dilewati dengan mudah. Singkat cerita, awalnya suaminya punya karir cemerlang sebagai peneliti di universitas top. Kemudian dia berkenalan dengan temannya orang Malaysia dan kemudian memutuskan menjadi pengusaha saja. Sang lelaki beranggapan jika dia tetap menjadi peneliti, maka peluangnya menjadi orang kaya menjadi kecil, bagaimana bisa membahagiakan keluarga besarnya yang hidup susah di kampung.