Senin, 31 Agustus 2015

Manajemen Komunikasi UI

Yeah, akhirnya detik ini aku kembali mencicipi bangku kuliah. Setelah melewati delapan gunung, sepuluh lembah, akhirnya kuliah lagi. Wkwkwk.

Setelah lelah berharap beasiswa. Akhirnya aku putuskan bayar sendiri. Sebenarnya hanya berharap beasiswa, tanpa ada usaha. Jadi mana mungkin dapat beasiswa kan... akhirnya ya bayar sendiri aja lha, ketimbang ga kuliah. Jadilah aku seperti saat ini, Senin sampai Kamis malam bertungkus lumus dengan buku.hehe

Kuliah perdana, Senin (31/8), dengan mata kuliah manajemen strategik komunikasi diampu oleh Prof Ferdinand Saragih. Asyik sih kayanya orangnya, dengan candaan ala kaum intelektual. Kuliah perdana pulang cepat, jam 20.30 sudah pulang karena iPad si profesor habis batereinya. Sebenarnya, dari awal beliau dah bilang kalau mau pulang cepat sih...

Pas mau keluar gedung, ketemu humas dikti mas Yugi, lagi ngobrol ama teman2nya. Dan ternyata mengambil prodimyang sama dengan diriku..pas bilang kuliah perdana dengan sang profesor, mas yugi cekikikan. Lihat saja ntar, katanya..jadi penasaran..

Minggu, 16 Agustus 2015

Bahan bakar

Pada akhirnya,
Pada takdirlah manusia bersimpuh
Pada malam panjang, yang entah kapan berakhir
Pada kenangan, yang mengoyak-ngoyak dalam sepi

Enyah kau
Pergi saja.
Melintas saja kau tak boleh, apalagi hadir. Tak patut

Sabtu, 15 Agustus 2015

Abangku yang hebat (2)

    Lagi-lagi tak pernah bosa bercerita tentang uda. Aku punya banyak kisah tentangnya, separuhnya aku tuangkan di sini http://indriaeriza.com/index.php/2010/08/14/abangku-yang-hebat/

   Nah, ceritanya pas Lebaran kemarin, Abangku yang baik hati tersebut bersama keluarganya datang ke Tangerang. Bersama Kak Juli dan dua anaknya. Mereka mengendarai mobil selama lebih kurang 24 jam nonstop, untuk sampai ke kotaku. Hebat bukan.

   Awalnya, aku yang ingin pulang ke Airmolek. Tapi berhubung, Abangku itu udah janji dengan Emak, mau datang ke Tangerang, akhirnya aku mengalah. Padahal kerinduanku akan Airmolek, sudah mencapai ubun-ubun. :)

   Pertama sampai di rumahku. Ia berkeliling, melihat-lihat rumahku yang mungil dan langsung beri kritik dan saran. Semuanya aku iyakan.

   Hari pertama nyampe, mereka bukan nginap di rumahku, namun di kontrakanku di Jakarta. Rumahku hanya punya dua kamar dan kepake semua. Sementara di kontrakan kosong dan fasilitas yang ada cukup lengkap.

   Selama beberapa hari aku menemani mereka. Ku jamu sebisanya, ke sana ke mari. Badan penat, uang habis, misua bilang, makanya jangan kek orang kaya, habiskan duit lu. Aku diam saja, uangkan bisa dicari.

Jumat, 14 Agustus 2015

Kembali ke Titik Nol

    Sekiranya kembali ke titik nol, maka kembali lah. Sekiranya tak lagi dianggap, ya sudahlah. Biarkan Tuhan yang menilai semua apa yang dikerjakan oleh manusia. Sejauh ini dan selama ini....

Minggu, 09 Agustus 2015

Tak (Lagi) Bersemangat

    Saya tak punya (lagi) alasan kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tempat saya bernaung saat ini, selain bertahan atas nama uang. Bertahan agar tetap bisa melanjutkan pendidikan. Kembali ke tujuan awal, ketika saya mulai bekerja.
   Media massa merupakan dunia yang dinamis dan juga kejam. Setidaknya, saya menyimpulkan hal itu setelah beberapa kali bekerja di tempat berbeda. Dinamis karena terus mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga tempat dimana fitnah selalu bertebaran tanpa peduli siapa yang akan dituju.
   Sikut-menyikut adalah hal yang lumrah. Sesuatu yang menjadi hak seseorang, bisa saja diambil oleh kawan lain dengan dalih senioritas. Tidak yang ada yang lebih tabah selain kesabaran itu sendiri.

Saya harus berbahagia

     Saya harus berbahagia, beban selama beberapa tahun akhirnya lepas. Tak ada yang mengharap saya harus kembali padanya. Tak ada lagi yang perlu saya khawatirkan.
    Dia telah bangun dan melanjutkan hidup. Dia bangkit, menatap masa depan dan berbahagia dengan pujaan hatinya. Saya pun harus berbahagia. Tak ada alasan saya harus kecewa.
   Toh, dulu saya yang meninggalkan dia dan memilih menikah dengan lelaki lain. Membiarkannya terpuruk meski sebenarnya saya punya alasan untuk itu, lelaki tanpa keberanian sama dengan pengecut. Dia tak berani menikahi saya karena alasan keuangan  plus pekerjaan dan saya punya seribu alasan untuk tidak bersama.
    Pada akhirnya, dia mengabari saya akan menuju pelaminan. Saya lah orang pertama yang harus mengucapkan selamat, karena keberaniannya menikah meski tak punya cukup modal, tapi sekarang punya pekerjaan. Saya juga harus mengucapkan selamat, karena kecantikan istrinya yang setara dengan bidadari.
    Benar, tak ada kesedihan. Semua harus dirayakan, apalagi pernikahan yang hanya berlaku sekali seumur hidup. Selamat...

Labirin

    Rasanya seperti masuk ke dalam labirin, lurus, berkelok-kelok tanpa tahu dimana pintu keluar. Pada akhirnya hanya kembali pada titik yang sama, yakni keegoan.
    Pertanyaan yang sama, terlontar tiga tahun yang lalu dan selalu berulang. Ketika akan menikah, siapa yang harus ikut siapa. Apakah saya yang harus ke kotanya atau dia yang mengalah.
    Jujur, sulit bagi saya untuk kembali ke Cilegon, kota dengan sejumlah kenangan. Kenangan baik dan buruk. Akan tetapi bagi saya, banyak alasan tak kembali ke kota itu. Kota itu panas dan penuh debu karena banyak pabrik.
   Pekerjaan saya tak memungkinkan saya pindah ke kota terdekat dari Cilegon, karena ketiadaan posisi. Satu-satunya yang kosong ya di Cilegon. Akan tetapi saya kurang berminat. Satu hal yang pasti, saya tak mau dibayangi masa lalu.
    Di ibu kota, tempat saya mencari nafkah, sebenarnya saya pun tak berminat untuk hidup selamanya di kota ini. Saya hanya ingin mencari pengalaman dan ilmu.
   Saya akan membulatkan tekad, akan kembali ke kampus tahun ini. Mungkin hingga dua tahun lagi, saya harus tetap di kota ini. Saya juga tidak tahu alasan apa yang membuat saya harus kembali ke kampus, saya merasa ilmu yang saya miliki sangat amat kurang. Saya juga tak punya cita-cita ingin jadi dosen atau apalah.
   Saya memimpikan suatu saat saya tinggal di suatu kota kecil, yang berhawa sejuk dan tak terlalu ramai. Saya tinggal di atas bukit kecil dengan pemandangan menghadap laut. Tak jauh dari perkampungan warga. Rumah semi permanen, yang sebagian besar terbuat dari kayu. Di sekeliling diapit sawah, kolam dan kebun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
   Jika tak mengedit tulisan, saya habiskan waktu di kebun bersama dengan anak-anak. Sore hari berlari-lari turun dari atas bukit, menjemput senja di pantai. Ah, senangnya hidup...