Kamis, 07 Mei 2015

Dua Sisi Batik

batik sumber google
      Pekalongan tidak bisa dilepaskan dengan batik yang sudah menyatu padu dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.

       Di Pekalongan, baik kotamadya dan kabupaten dapat dengan mudah ditemukan kampung-kampung batik yang kini menjadi wilayah tujuan wisata misalnya di Kota Pekalongan ada kampung batik Kauman, Kemplong hingga Pesindon.

       Batik telah menjadi napas dan mata pencaharian masyarakat Pekalongan sejak lama.

       Motif batik khas Pekalongan cukup unik dan banyak dipengaruhi interaksi masyarakatnya dengan berbagai bangsa seperti Arab, Tiongkok, India, Jepang hingga Belanda.

      "Pemerintah dan masyarakat senantiasa berupaya melestarikan batik dari masa ke masa," ujar Wali Kota Pekalongan Muhammad Basyir Ahmad.

       Apalagi sejak batik Indonesia diakui UNESCO dengan dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya tak benda, semakin mengokohkan Pekalongan sebagai Kota Batik.

       Dengan pengakuan UNESCO itu, omset pengusaha batik sempat meroket hingga 300 persen.

       Sang Wali Kota yang menjabat untuk dua periode itu mengatakan batik adalah hidup dan menghidupi masyarakat Pekalongan.

       "Pertumbuhan ekonomi kami pada 2014 sebesar 5,9 persen. Sebagian besar disumbang oleh industri kreatif," ujarnya.

       Meski demikian, bak pedang bermata dua, batik memiliki sisi positif dan negatif.

       Positif, karena batik menghidupi masyarakat dan negatifnya adalah pencemaran lingkungan akibat limbah tekstil.

       Ekosistem sungai di Pekalongan saat ini rusak parah oleh ribuan unit usaha batik kecil dan menengah tersebar di 16 sentra batik yang menyumbang sekitar 1.539 meter kubik limbah cair setiap harinya.

       "Sungai-sungai kami keruh dan kotor," kata Basyir.

       Basyir merujuk salah satu sungai besar di Pekalongan yakni Kali Loji yang menghitam akibat limbah.

       Padahal sejak beberapa tahun lalu, Pemkot Pekalongan memberi sanksi tegas kepada pengusaha nakal yang membuang limbah ke sungai.

       Pemkot Pekalongan juga berupaya agar para pelaku usaha batik membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana.

       "Memang di Pekalongan ada mitos, sungai yang berwarna karena limbah batik pertanda masyarakat sejahtera. Apalagi ketika mau Lebaran, sungai keruh pertanda rezeki melimpah," cerita Basyir yang juga seorang dokter itu.

       Pada awal April 2015, Pekalongan bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam memecahkan persoalan limbah di Pekalongan tersebut.

       "Kami meminta bantuan pada LIPI untuk menjernihkan sungai-sungai kami," cetus dia.

       Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain menjelaskan kerja sama tersebut meliputi beberapa aspek yakni penelitian dan penerapan teknologi serta sumber daya manusia.

       "Kami akan melakukan kajian terlebih dahulu untuk menentukan metode mana yang cocok untuk limbah batik," jelas Iskandar.

   

Memasak Dengan Hati Melezatkan Masakan

masakan sumber : google
       

        Tapi ada juga sebagian pendapat, yang menyatakan makanan enak tersebut bisa didapatkan di mana saja dan dimasak oleh siapa saja, tanpa harus ke restoran mewah.

        Seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, penikmat wisata kuliner rela mengorbankan waktu dan uangnya untuk mendapatkan masakan nan lezat. Bahkan tak jarang mereka ke luar kota berburu makanan yang memanjakan lidah.

        Seorang karyawan swasta di Jakarta, Setiawan (30), berpendapat  makanan lezat itu adalah makanan yang dimasak oleh istrinya.

        "Makanan lezat bagi saya ada di rumah, buatan istri," kata Setiawan mantap.

        Meski istrinya wanita karir, namun masih menyempatkan diri memasak.

        Setiawan menyebut beberapa menu tradisional yang menjadi kegemarannya seperti tempe penyet dan sayur asem.

        Kalau sudah bertemu kedua menu itu, nafsu makan Setiawan bertambah-tambah.

        Lain halnya dengan mahasiswi asal Sumatera Barat, Ina Noviyanti (20), yang menyukai masakan yang dibuat oleh ibunya.

        "Masakan paling enak sedunia itu masakan 'emak' (ibu). 'Enggak' ada yang bisa 'nandingin'," cetus mahasiswi jurusan Sastra Jepang itu.

        Seperti rasa makanan dari daerah asalnya, Ina sangat menyukai makanan pedas dan berbumbu.

        Ina juga berpendapat apa yang dimakan mencerminkan siapa dirinya.

        Penelitian dari Universitas Pennsylvania Amerika Serikat menyebutkan orang yang menyukai makanan pedas adalah orang-orang yang berani mengambil risiko.             
   Sementara, penyuka makanan manis mudah berkompromi dan menyetujui suatu pendapat.

        Para penyuka makanan asin dan gurih mempunyai tipe kepribadian yang santai. Penyuka rasa asin dan manis adalah penyendiri. Terakhir penyuka rasa pahit mempunyai hubungan erat dengan ketegasan dalam mengambil keputusan.

   

Guru SM3T Pantang Menyerah Jadi Pelita

guru sm3t berjuang di daerah 3T sumber : kemdikbud

Menjadi guru di daerah yang jauh dari pusat peradaban, bukan hal yang mudah bagi Rafika (25), jebolan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Makassar.

Pagi-pagi sekali, usai menunaikan shalat Subuh dia beranjak menuju rumah-rumah penduduk. Tujuannya jelas ingin membangunkan anak-anak yang masih terlelap untuk pergi belajar ke sekolah.

Rafika terpaksa melakukan itu, agar anak-anak di desa itu mau berangkat ke sekolah. Para orang tua juga lebih memilih mengajak anak mencari sagu dibanding disuruh ke sekolah.

"Hal pertama yang dilakukan adalah menarik minat mereka (anak-anak Papua) untuk bersekolah," kenang Rafika saat bertemu langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di SD-SMP Satap Ninjemor Distrik Moi Segon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Kamis (8/5).

Rafika merupakan salah satu guru yang tergabung dalam Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) di Kabupaten Sorong.

Sudah delapan bulan, dia dan 34 temannya mengajar di wilayah kabupaten tersebut. Rafika mengajar di SD Maralogi.

"Diperlukan waktu lima jam untuk mencapai lokasi mengajar. Tiga jam naik mobil dan dua jam naik perahu kecil."

Kehidupan yang dialaminya sungguh berbeda dibandingkan ketika dirinya berada di Makassar, Sulsel. Dia ditempatkan sebagai guru di dua kelas, yang kalau dijumlahkan ada sembilan murid.

"Saya bertanya siapa Presiden Indonesia, tidak ada yang bisa jawab. Kemudian saya kasih tahu kalau Presiden Indonesia itu Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu, saya tanya lagi siapa Presiden Papua, mereka menjawab Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menganggap Indonesia itu Papua dan Papua itu Indonesia," terang dia.

Akhirnya, Rafika membentangkan peta Indonesia dan menjelaskan bahwa ada pulau-pulau lain. Rafika menerangkan pada anak didiknya, kalau dia berasal dari Makassar yang berada di Pulau Sulawesi.

"Mereka baru tahu, kalau ada tempat lain yang bisa dikunjungi. Jadi saya katakan, kalau kalian mau seperti ibu bisa ke Jawa, ke Papua, harus sekolah. Sejak itu, mereka mulai semangat sekolah," beber perempuan berjilbab itu.

Suwandi (25), guru SM3T lainnya, mengajar mata pelajaran Fisika di SMAN 1 Segun. Suwandi lulusan Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar.

"Lokasi tempat saya mengajar tujuh jam perjalanan dari Ibu Kota Sorong, Aimas. Tiga setengah jam perjalanan darat, dan tiga setengah jam lagi dengan kapal. Kapal itu satu-satunya alat transportasi menuju daerah itu," jelas Suwandi.

Tak jarang, Suwandi ikut mendorong mobil yang terjebak di lumpur. Bahkan dalam perjalanan di sungai, Suwandi kerap menemui buaya.

Menjadi guru di daerah pedalaman, bukan hal mudah bagi Suwandi. Keterbatasan media pengajaran, tak membuatnya patah arang.

UN Jujur, Mengapa Sulit

suasana UN sumber google
      Setiap kali pelaksanaan ujian nasional sekolah, baik tingkat SMP maupun SMA, hampir selalu diwarnai isu terjadinya kebocoran soal dan berbagai kecurangan lainnya.

        Entah apa penyebabnya, ujian nasional menjadi momok yang menakutkan bagi siswa, sehingga banyak di antara mereka yang menggunakan cara-cara yang tidak baik, seperti membeli kunci jawaban soal hingga kerja sama saat pelaksanaan UN.

        Bahkan pada pelaksanaan Ujian Nasional 2015, yang tak lagi memperhitungkan hasilnya sebagai penentu kelulusan pun, isu kebocoran soal UN masih terjadi.

        Sosiolog Musni Umar mengatakan kejujuran telah menjadi barang langka, entah itu saat pelaksanaan UN maupun ujian biasa.

        "Ini disebabkan pola pikir pragmatis yang hanya mementingkan hasil praktis dan mengesampingkan proses," kata Musni.

        Hal tersebut juga didukung oleh lingkungan yang menuntut hasil, yang kurang menghargai proses.

        Pada saat pelaksanaan UN 2015, sebanyak 30 "booklet" soal UN diunggah ke Google Drive. Diduga pelakunya adalah perusahaan percetakan. Soal-soal tersebut digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nangroe Aceh Darussalam.

        Musni menjelaskan kecurangan telah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Padahal ketidakjujuran pada pelaksanaan ujian di sekolah, sangat berpengaruh pada perilaku korupsi seseorang di kemudian hari.

        "Perilaku korupsi adalah cermin ketidakjujuran. Kalau ketidakjujuran dipupuk sejak muda, bukan tidak mungkin di kemudian hari akan melahirkan para koruptor," tandas Musni Umar.

        Musni Umar menyesalkan banyaknya kasus kecurangan yang terjadi pada saat pelaksanaan ujian nasional, padahal UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Hanya mempunyai fungsi pemetaan dan pertimbangan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, itupun tak mutlak.

        "Ketidakjujuran menunjukkan sudah hilangnya pondasi dasar dalam kehidupan bermasyarakat."   Hal itu yang menyebabkan sikap jujur menjadi sulit dan jarang ditemui di masyarakat.

        Dia juga menambahkan laporan mengenai kasus kecurangan yang terjadi saat UN merupakan fenomena gunung es.

        "Sebenarnya banyak sekali kasus ketidakjujuran yang tidak terungkap," kata dia.

        Jalan keluar dari permasalahan itu, lanjut Musni, adalah menggaungkan kembali tentang pentingnya kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat.

        Para pejabat harus proaktif menggaungkan kembali makna kejujuran sesungguhnya. Meski demikian, Musni pesimis dengan moral para pejabat di Tanah Air.

    Benih   Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Elviana, mengatakan pelaksanaan UN yang diselenggarakan sejak 2003 malah menyemai benih ketidakjujuran.

        Pasalnya, UN dijadikan sebagai penentu kelulusan sehingga membuat banyak peserta ujian menghalalkan segala cara.

        Diperparah dengan target yang diberikan daerah, sehingga sekolah malah menghalalkan cara yang tidak bermoral.

        Kecurangan selalu terjadi pada saat pelaksanaan UN. Padahal, UN diawasi pengawas dari perguruan tinggi, polisi hingga adanya kamera pengawas.

        "Sebaiknya Kemdikbud melakukan moratorium UN. UN telah menimbulkan memori buruk bagi anak," cetus politisi PPP itu.