Senin, 17 Oktober 2011

Hikayat Si Kentang yang 'Dibenci' Petani Lokal



Apakah anda pernah membaca kisah anak-anak tentang kentang dan kebencian? Kisah yang mengajarkan budi pekerti ini banyak beredar di dunia maya.

Cerita berawal dari seorang guru TK yang mengadakan "permainan" dan meminta tiap muridnya untuk membawa membawa kantong plastik transparan dan kentang.

Setiap kentang yang dimasukkan ke plastik dan diberi nama yang berdasarkan orang yang yang dibenci. Jumlahnya tidak dibatasi. Terserah. Pada hari yang disepakati tiap murid membawa kentang `kebencian` itu ke sekolah. Ada yang bawa satu, dua, tiga hingga sepuluh.

Sang guru pun memerintahkan untuk membawa kantong plastik berisi kentang kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun, selama satu minggu.

Silih hari berganti, kentang-kentang pun mulai membusuk. Banyak yang mengeluh karena berat dan bau tidak sedap, apalagi yang membawa sepuluh kentang.

Setelah satu minggu berlalu, penderitaan para murid TK pun berakhir.

"Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1 minggu?" tanya sang guru.

Melontarlah keluhan dari murid-murid sebab tak nyaman membawa kentang kemana pergi.

"Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa, apabila kita tak bisa memaafkan orang lain," jelas sang guru.

Nah, kini kentang yang mempunyai nama latin Solanum tuberosum L pun ramai diperbicangkan. Bahkan kini `dibenci` para petani. Penyebabnya, tak lain adalah sesama kentang juga. Tetapi kentang yang dimaksud adalah kentang impor yang berasal dari Negeri Tirai Bambu, China.

Kentang yang berukuran sekepalan tangan anak-anak itu mampu mengalahkan kentang lokal yang mempunyai ukuran jauh lebih besar. Kentang itu dijual setengah harga dari kentang lokal ini pun mampu membuat sejumlah petani di Tanah Air, membiarkan hasil pertaniannya membusuk dibanding dijual.

Ribuan ton kentang milik petani di sentra penghasil kentang di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, membusuk akibat minimnya permintaan sejak banyaknya kentang impor di pasaran.

"Ribuan ton kentang membusuk karena minimnya permintaan," kata Ketua Asosiasi Kentang Dataran Tinggi Dieng, Mudasir.

Biasanya, kata dia, kentang-kentang itu dikirim ke sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Namun hal itu tidak berlaku sejak masuknya kentang impor dua bulan yang lalu.

Harga kentang impor yang lebih murah membuat 1.500 petani di daerah itu merugi. Kentang lokal di pasaran dijual dengan harga Rp7.000 per kilogram, sedangkan harga kentang impor hanya Rp3.500 per kilogram. Hal ini membuat masyarakat lebih memilih kentang impor, meski dari soal rasa, kentang lokal lebih unggul.

Sepinya permintaan membuat harga kentang lokal anjlok dari Rp 7.000 per kilogram menjadi Rp 3.800 per kilogram. Harga tersebut berada di bawah titik impas Rp 4.200.

"Saya membuang 1,9 ton kentang karena busuk. Dengan nilai kerugian mencapai Rp9 juta," keluh seorang petani kentang Totok.



Sepi

Ratusan mil dari Dataran Tinggi Dieng, Akhirudin (29), seorang pedagang kentang hanya bisa duduk termangu menunggu pembeli yang datang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, akhir pekan lalu. Di sampingnya, tergeletak dua keranjang kentang berukuran jumbo yang dibiarkan terbuka.

Lelaki berkaos coklat itu sudah sejak sepuluh tahun terakhir berjualan kentang, khususnya kentang lokal yang berasal dari Pegunungan Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Meski sudah lama berjualan kentang di pasar induk itu, bukan berarti dari hari ke hari hidupnya semakin membaik. Apalagi sejak kehadiran kentang impor asal China yang menggusur keberadaan kentang lokal.

"Kehadiran kentang impor membuat penjualan kentang anjlok. Biasanya sehari bisa menjual setidaknya dua ton, sekarang paling hanya satu ton," keluh lelaki satu anak ini.

Masyarakat, kata dia, lebih memilih kentang impor karena harganya yang jauh lebih murah.

"Pemerintah jangan diam saja, jika dibiarkan takutnya petani maupun pedagang kentang lokal dirugikan dan terdesak," imbuh Akhirudin.

Asisten Manajer Usaha dan Pengembangan Pasar Induk Kramat Jati, Sugiono, mengatakan pengelola tidak bisa berbuat banyak atas maraknya kentang impor.

"Pengelola tidak punya kewenangan ikut campur dalam urusan impor. Semuanya diserahkan pada pengusaha," tukas Sugiono.

Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar, mengecam kebijakan Kementerian Perdagangan yang melakukan impor kentang sehingga menyebabkan petani di Tanah Air kian terpuruk.

"Kebijakan Kemendag ini membuat petani kentang terpuruk dan tidak dapat menikmati harga yang optimum," seru Rofi.

Komisi IV juga berencana memanggil Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu terkait kentang impor yang beredar di pasaran, yang berakibat pada penurunan harga kentang lokal.

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh mengatakan impor kentang bukan tanggung jawab dari Kementerian Perdagangan karena tidak pernah mengeluarkan izin.

Menurut dia, berdasarkan UU Hortikultura, izin impor memang berasal dari Kemdag. Tetapi dengan catatan Kementerian Pertanian harus menetapkan dulu jenis apa yang boleh dan kuotanya.

Menteri Pertanian, Suswono mengungkapkan impor kentang yang selama ini dilakukan sebenarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Namun belakangan kentang impor tersebut masuk ke pasar untuk konsumsi ritel, sehingga mengganggu pasar kentang lokal.

Impor kentang paling banyak berasal dari Australia, Amerika Serikat, Kanada baru kemudian China. Impor itu terus melonjak dari tahun ketahun dari 10.077 ton tahun 2001 menjadi 43.872 ton pada 2007.

Jika dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin lambat laun petani kentang akan bernasib seperti petani di Purwakarta yang beralih profesi menjadi tukang ojek.***5***

T.SDP-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar