Minggu, 21 Agustus 2011

From Pekanbaru to Pasar Baru

This post is edited by my friend, Ida Nurcahyani..


  Finally, I realize that I go nowhere. On the first of May, I went to Jakarta leaving my town, Pekanbaru. I went there for joining journalistic course. In Jakarta, I stay at Pasar Baru. Near my campuss.
  And you know what? actually I feel that I'm not moving at all. Because, Pekanbaru and Pasar Baru mean same. Pekan in Malay means market. While pasar is means the same. So, I'm going nowhere. Only moved in different city but same name :)
 

Sabtu, 20 Agustus 2011

They Underestimated Me

  This afternoon, when I'm studying at class. One of my friend asked me about my recruitment process joining this company. His question shocked me.  Because, we been together for long time but why he only now. And the worst is he my close friend.
  I was trying to hide my dissapointment. Answer that question and I follow recruitment step by step. He is not only one that asking me. There are also some friends asked me same question.  So, what else I can do besides answering. I know what is they mind.
  Ohh, my dear friends. Why do you so underestimated  me. Because, I was contributor at my region! it doesn't mean I got some special treatment. Have to emphasis that I'm not like that. I fight for it...
 

Now or Never

  I think its difficult for me to learn english now. You know, I have been learning english since elementary school, but till now, I'm not fluent in English. I use Bahasa n some other mother languages everyday.
  And you know what, I'm so stressfull about tenses. In Bahasa there are no tenses. You can state an event no matter what the time setting is. You only need to add the time adverbial to explain wether it happens in the past, present or future. Oohh...its difficult for me after a long time. But I must try because now or never...

Kamis, 18 Agustus 2011

Pemimpin Plin-Plan, Rencana Buyar

Boleh jadi, Rabu (17/8) kemarin adalah hari menyebalkan buat saya. Bukan karena "dipaksa" hadir pagi-pagi untuk mengikuti upacara 17 Agustusan. Tapi ini tentang seorang pemimpin plin-plan yang membuat semua rencana menjadi buyar.

Ini bermula pada awal Juni lalu, ketika seorang pimpinan di lembaga tempat saya kursus mengatakan tidak ada libur saat lebaran. Alasannya, biasanya anak baru "diberdayakan" untuk liputan lebaran. Jadi, katanya, jangan beli tiket dahulu.

Selama beberapa bulan hingga menjelang puasa, kami pun hidup dengan ketidakpastian. Antara libur atau tidak.

Begitu juga, ketika beliau yang terhormat itu masuk ke kelas. Dan dengan seyakin-yakinnya mengatakan tidak ada libur lebaran. Alasannya, pada 25 Agustus mendatang, kursus berakhir dan kami akan dipindahkan ke redaksi.

Baiklah, dengan sepenuh hati saya terima keputusan ini. Saya pun memutar otak, terbayang wajah emak saya sendirian di rumah saat lebaran, karena abang dan adik pastinya ngelayap.

Akhirnya, saya sampaikan ide gila pada abang saya. Saya bilang, sebaiknya emak lebaran di Jakarta saja, sekalian berobat dan jalan2. Walau dengan berat hati abang saya pun mengizinkannya.

Diputuskan, emak saya berangkat pada Rabu (17/8) sore. Saya akan jemputnya di bandara usai upacara.
Nah, kesebalan saya muncul usai upacara 17 Agustusan, ketika pemimpin saya yang terhormat dengan bangganya mengatakan ada LIBUR LEBARAN!!!

Selasa, 16 Agustus 2011

Sehari Bersama Pius Pope

  Ada yang berbeda pada materi pelatihan Kursus Dasar Pewarta (Susdape) kali ini, Selasa . Kali ini pemateri yang dihadirkan adalah Pius Pope, pengajar pendidikan penyiaran di Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS). Awalnya, saya ogah-ogahan, karena materi ini sebelumnya sudah diberikan oleh Rinto Navis pada sesi televisi.
 Pius Pope datang terlambat setengah jam, dari jadwal seharusnya. Begitu datang, ia langsung otak-atik komputer. Perawakannya kecil, sebagian rambutnya mengalami penipisan. Usianya kemungkinan diatas 60-an (dia mengatakan datang ke Jakarta pada 1959 untuk kuliah).
  Pius bukan orang yang suka berbasa-basi. Ia langsung ke topik dan mengajar dengan sepenuh hati. Pertama-tama disuruh mengucapkan kata AAAaaaaaa...mulai dari nada tinggi hingga rendah. Saya yang setengah mengantuk, pun mengikutinya. AAaaaa....
  Dia mengatakan, untuk menjadi penyiar harus menggunakan suara rendah. Apa sebab?  karena penyiar membutuhkan hubungan emosional yang sangat dekat dengan pemirsanya. Jadi tidak perlu dengan menggunakan nada tinggi. Menurutnya cukup dengan suara rendah saja.
  Dalam pengucapannya pun, Pius mengatakan tidak sembarang ucap. Perlu bantuan tangan untuk mengatur tinggi rendahnya. Kata dia, tinggi rendah suara dapat diatur dengan menggunakan tangan. Semula, saya tidak percaya hal itu. Tapi setelah dipraktikan..Wow...
  Coba deh, anda angkat tangan tinggi-tinggi dan kemudian menurunkannya sembari mengucapkan kata AAAAA...maka secara otomatis, tinggi rendahnya suara yang dikeluarkan pun akan mengikutinya.

I'tikaf di Istiqlal (Part II)

Seorang jamaah sedang membaca Alquran di Istiqlal/ Indriani Eriza
Itikaf di Istiqlal/ Indriani Eriza
Suasan i'tikaf di Istiqlal/ Indriani Eriza

  Setelah kejadian itu (baca I'tikaf di Istiqlal ), mba Tini akhirnya memutuskan pulang ke kosan. Tinggallah saya yang masih bingung hendak melanjutkan atau tidak. Akhirnya, saya bulatkan tekad untuk melakukan i'tikaf pada Sabtu malam itu.
  Untuk lebih jelas, perlu kita ketahui dahulu apa arti dari i'tikaf. cekidot..
   I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.

Minggu, 14 Agustus 2011

I'tikaf di Istiqlal

ni dia, mba tini. teman kos saya
  Well, saya harus jujur kalau ini merupakan pengalaman pertama i'tikaf di masjid. Berawal dari ajakan teman kos saya, mba Tini, yang ingin i'tikaf di masjid Istiqlal.

"Ndri, hayu kita i'tikaf di Istiqlal," ajaknya suatu malam usai solat tarawih.
"Hayu aja..eng, tapi saya belum pernah i'tikaf mba,"jawab saya.
"Ah enggak apa-apa, saya juga belum pernah," tepis dia.
"Ok deh, saya coba. Masa' seumur hidup saya ga pernah i'tikaf," kata saya optimis.

  Ia pun tersenyum bangga, bisa mengajak saya untuk i'tikaf di masjid. Sayup-sayup saya mendengar dia berkata beruntung ramadan kali ini punya teman untuk beribadah bersama.

 Akhirnya, disepakati untuk melakukan i'tikaf pada Sabtu (13/8) malam. Dengan pertimbangan besoknya adalah hari libur. Jadi kalau saya mengantuk, bisa dilampiaskan dengan tidur seharian di kamar kos.

  Sampailah pada malam eksekusi....

  Sebelum berangkat tarawih di Istiqlal, mba Tini mewanti-wanti minta agar usai solat pulang dulu ke kamar kos untuk mengambil bekal untuk sahur. Dengan perasaan ragu-ragu saya menyanggupinya. Takut ga ada perempuan yang i'tikaf lah, hingga takut kedingginan tidur di masjid. Saya menguatkan hati, sambil berkata ini cobaan dalam beribadah.

Jumat, 12 Agustus 2011

Shoot sana, shoot sini


Saya dan Ewit

Behind The Scene “Perang Harga Jelang Lebaran”
Pada mulanya saya menganggap membuat video merupakan hal yang sepele. Setelah dijalani, huufff, bukan perkara yang muda ternyata.
Saya dan rekan kerja, Ewit, terpaksa berkali-kali mengambil gambar. Buat kami ini merupakan kepahitan dunia kedua puluh sembilan.
Bayangkan sodara, sodara. Di saat kami puasa dan cuaca terik, berulang kali ambil gambar. Kalau tak saya, ya si ewit yang bolak balik LPJA- Pasar Baru buat ambil gambar.
Ada-ada aja kesalahannya sodara. Mulai gambar yang goyang, kurang lah hingga tak bisa dipakai.
Dan lebih parah lagi, ketika voice over, gambar tak bisa dipakai karena banyak gangguan pada suaranya.
Dan dengan susah payah pula, gambar yang sudah disusun dirombak ulang. Mencari gambar lain yang pantas. Pfyuh…Memang lah.
Kadang saya berpikir, kalau ini adalah cobaan ketika puasa.
Letih memang, tapi secara keseluruhan saya banyak mendapatkan pelajaran. Betapa pentingnya perencanaan dalam suatu liputan.
Memang sebelumnya, saya kurang perencanaan. Hari sebelumnya saya sakit dan komunikasi hanya dilakukan m

Rabu, 10 Agustus 2011

Hanna Tajima Wannabe

  Hanna Tajima Simpson...ya nama itu akhir-akhir ini akrab di telinga saya. Bermula dari sahabat saya Ida Nurcahyani yang menyarankan agar saya mengubah penampilan dalam mengenakan jilbab yang terlalu monoton. Well, saya memang hanya bisa memodifikasi kan jilbab. Lalu, dia kemudian menunjukkan video tutorial menggunakan jilbab seperti Hanna Tajima...

  Begitu melihatnya...wow, hanya kata itu yang terucap oleh saya. Keren... caranya berjilbab yang menarik menginspirasi saya.





Saya penasaran dan kemudian gugling tentang si Hanna Tajima ini. Nih dia artikelnya :


Hana Tajima Simpson, siapa fashionista Inggris yang tak mengenalnya? Lama bergelut dengan dunia mode, ia kini menekuni lini busana Muslimah trendy namun tetap syar'i, dengan label Maysaa.
Busana-busana rancangannya kerap diulas majalah mode negeri itu. Bahkan, majalah sekelas Vogue pun pernah memajang kreasinya.
Ciri rancangan Hana adalah simpel, mengikuti tren, dan tentu saja, tetap syar'i. Rancangannya jauh dari kesan bahwa busana Muslimah itu harus kedodoran, padanan warnanya norak, dan tak rapi.
"Menjadi Muslimah di negara barat dapat sedikit enakutkan. Anda tahu, busana juga bisa menciptakan sesuatu yang akan membantu Muslimah di mana-mana terus termotivasi untuk tetap mengenakan hijab namun juga "diterima" karena pakaian mereka," ujarnya.
Hana belajar dari pengalamannya. Ia menjadi mualaf lima tahun lalu. Sejak bersyahadat, ia memutuskan untuk berbusana Muslimah. "Seluruh pakaian masa lalu, saya wariskan pada adik perempuan saya," ujarnya.
Ia memadupadan sendiri penampilannya. Hingga akhirnya ia sadar, harus berbuat sesuatu untuk "mendandani" Muslimah. Maka ia merintis blog fashion, sebelum akhirnya membuat majalah mode dan lini produk sendiri, Maysaa.
***

Indonesia = Jakarta


  Saya bisa memahami bagaimana perasaan masyarakat Papua akan Pemerintah Indonesia. Yah, pemerintah yang berpusat di Jakarta itu.
  Siapa yang tak miris hatinya melihat kekayaan alam yang dimiliki mereka diangkut ke pusat dan hanya dinikmati segelintir orang. Sementara mereka hidup dalam kemiskinan.
  Bagaimana gunung yang dianggap ibu bagi mereka, diratakan dengan tanah. Belum lagi dengan kekayaan alam lainnya.
  Sementara mereka hidup dalam kemiskinan, pendidikan yang terlupakan maupun bergelut dengan AIDS, yang dicap sebagian orang sebagai cara untuk memusnahkan orang Papua.
  Saya juga memahami keinginan mereka untuk melawan? Tapi apa daya, mereka dianggap separatis yang menginginkan kemerdekaan. Padahal mereka adalah orang-orang yang bermental pejuang.
  Saat ini saja, belasan ribu tentara diterjunkan ke Papua. Tentu saja dengan alasan memberantas separatisme.
  Pemerintah daerah dibujuk rayu dengan diberikannya otsus. Jatah 30 persen dari kekayaan alam mereka itu akhirnya masuk ke kantong-kantong pejabat yang korup.
  Kejadian seperti ini tak hanya terjadi di Papua. Hampir terjadi di seluruh Indonesia, khususnya yang kaya akan sumber daya alam.
  Saya masih ingat, ketika menemani teman dari Aceh berkunjung ke Monas tiga tahun lalu. Dengan nanar, ia menatap emas yang ada di puncak bangunan itu.
  "Itu, asal kamu tahu itu kepunyaan orang Aceh," kata dia.
  Aceh, yah Aceh. Sepanjang hayatnya, orang Aceh berjuang untuk kemerdekaan republik ini. Tapi begitu merdeka, dengan seenaknya semua kekayaan alam dikeruk dan dibawa ke Jakarta.
  Orang Aceh bermental pejuang, mereka tak pernah rela membiarkan hal itu. Hingga kemudian tercetus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk kekecewaan terhadap Indonesia.
  Tapi lagi-lagi, pemerintah Indonesia nan cerdas itu menanggapinya dengan operasi militer.