Senin, 17 Oktober 2011

Gangguan Jiwa Pupus Impian Yuli Jadi Dokter

Sesosok perempuan berusia 30 tahunan itu tampak duduk tercenung di salah satu rumah di kawasan padat penduduk Pasar Baru, Sawah Besar Jakarta Pusat.

Blus bermotif bunga-bunga yang dia kenakan kemungkinan lebih tua dibanding usianya. Matanya menatap lurus ke depan, kosong. Sesekali dipandangnya langit-langit rumahnya yang kusam.

Perempuan itu mempunyai nama panggilan Yuli. Tepat di sampingnya, duduk perempuan yang lebih muda, Ratnawati (29). Dialah yang merawat Yuli sejak tiga tahun lalu.

Ratna, biasa dia dipanggil, mengatakan, Yuli menderita gangguan jiwa sejak 18 tahun silam. Gangguan itu bermula ketika Yuli lepas dari sekolah menengah. Dia mulai banyak melamun dan terkadang tertawa.

Awalnya keluarganya hanya mengira sakit biasa dan tak begitu menghiraukantnya. Namun, dari hari ke hari, perilaku Yuli semakin aneh dan membuat resah. Misalnya saja, tiba-tiba ia berteriak dan mengamuk tanpa alasan yang jelas. Jika sudah mengamuk, tangannya menutup kedua telinganya, matanya menyiratkan amarah dan mulutnya mengeluarkan kata umpatan.

"Kalau sudah mengamuk, paling tidak butuh dua orang untuk menenangkannya," ujar Ratna.

Berbagai upaya telah dilakukan baik pengobatan medis maupun alternatif demi kesembuhannya. Berbagai macam dokter didatangi. Dokter yang menanganinya mengatakan Yuli mengalami gangguan kejiwaan jenis `skizofrenia paranoid`.

Begitu juga dengan pengobatan alternatif. Bahkan untuk mengharapkan kesembuhan anaknya, kedua orang tuanya yang tergolong mampu rela berpindah-pindah agama. Tetapi, kondisi Yuli tak jua membaik. Padahal di sekolah dulu, dia termasuk siswa yang berprestasi. Akhirnya, impian Yuli untuk menjadi dokter pun pupus sudah.

Ratna menuturkan, terkadang Yuli yang dalam kondisi agak normal mengaku mendengar suara-suara yang membuat dia sangat terganggu. Tak jarang juga dia melihat sosok lelaki besar yang mendatanginya. Itulah mungkin yang membuat Yuli mengamuk dan meracau tak jelas.

Layaknya kisah Sybil gadis yang mempunyai 16 kepribadian, Yuli pun merasa demikian. Yuli terkadang merasa kehidupan ini rasanya mengapung pada alam yang tidak nyata, yang isinya berisi firasat-firasat aneh. Ada beberapa kejadian yang serasa nyata, padahal tidak pernah terjadi.

"Apa penyebab dia sakit saya tidak tahu pasti. Tapi kata keluarganya, memang ketika itu orangtuanya tidak menyetujui hubungan dia dan pacarnya. Ditambah lagi, pacarnya melanjutkan sekolah di luar negeri," kata Ratna.

Namun, Ratna tidak tahu pasti apakah Yuli mendapatkan perlakuan buruk ketika masih kecil dari keluarga dan lingkungannya. Kedua orangtuanya yang menetap di luar daerah, hanya sesekali datang menemui anaknya di Jakarta. Yuli hidup bersama tiga adiknya di ibu kota ini.

"Untunglah, perilakunya masih dalam kendali, sehingga tidak perlu dipasung," ujar perempuan satu anak ini lagi.

Nasib Yuli setidaknya lebih beruntung. Tak jauh dari rumahnya, tepatnya di kawasan Pasar Baru, ada lelaki muda yang juga mengalami gangguan jiwa. Lelaki muda itu biasa duduk di pinggir jalan.

Badannya tegap dan berisi. Dia mengenakan baju kaos coklat yang sudah luluh, bercelana pendek warna hitam, dan bertelanjang kaki. Rambutnya dibiarkan panjang tak beraturan.

Ia seakan tak peduli dan tetap memandang jalanan dengan posisi yang sama. Begitu pun ketika ANTARA mendekatinya dan menyapanya. Lalat yang mengerumuni kakinya yang luka pun dibiarkannya.

Tak satu pun pengendara jalan yang peduli akannya. Seperti dia yang juga tidak peduli dengan lalu lintas kendaraan. Mungkin baginya, menjalani hidup hanya dengan menatap rutinitas jalanan.

Menurut warga sekitar Yudi (27), lelaki muda yang mengalami gangguan jiwa itu sudah sejak setengah tahun lalu berada di kawasan itu. Yudi mengaku tak tahu darimana asalnya.

"Kadang ada warga yang memberi makan, kadang juga dia mencari sendiri di tempat sampah," ujarnya.

Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta Barat, Bella Patriajaya, mengatakan mayoritas penyebab utama gangguan jiwa adalah permasalahan ekonomi. Hal ini diperparah lagi, dengan masyarakat yang mempunyai keluarga dengan gejala depresi lalai membawa ke rumah sakit jiwa untuk diobati.

Menurut Bella, kemungkinan sembuh penderita gangguan jiwa bisa mencapai 100 persen jika dalam dua pekan pertama penderita gangguan jiwa sudah dibawa ke rumah sakit.

"Masyarakat baru membawa ke rumah sakit jiwa setelah lewat batas itu. Makanya harapan sembuh amat kecil," kata Bella.

Bella mengatakan, di Jakarta warga sering terlena mencari kehidupan sehingga mengabaikan gejala gangguan jiwa. Gejala-gejala yang perlu dicermati, antara lain merasa sedih dan murung, kehilangan minat, mudah letih tanpa alasan, sulit tidur atau sering terbangun di malam hari, gangguan nafsu makan, perubahan berat badan, dan sukar berkonsentrasi.

"Banyak penderita gangguan jiwa enggan ke rumah sakit jiwa karena takut disebut gila. Padahal tidak semua gangguan jiwa itu gila," ujarnya.



Rentan

Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah warga Jakarta yang mengalami gangguan jiwa ringan hingga triwulan kedua tahun ini mencapai 306.621 jiwa. Angka ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 159.029 jiwa. Meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa mempunyai korelasi dengan meningkatnya kasus bunuh diri, tawuran, dan penyalahgunaan narkoba.

Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Irmansyah, mengatakan warga Jakarta rentan mengalami gangguan mental dan emosional seperti depresi dan perilaku agresif. Hal ini disebabkan tingginya tekanan hidup dan kurangnya kemampuan adaptasi warga terhadap perubahan lingkungan.

Salah satu indikator gangguan kesehatan jiwa paling mudah dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah pelanggaran lalu lintas. Contohnya di beberapa tempat di Jakarta, seperti Johar Baru yang sering terjadi tawuran dan Tambora yang sering terjadi kebakaran, pola kehidupan sudah tidak sehat secara fisik maupun sosial.

"Untuk mengantisipasi itu, perlu adanya layanan kesehatan jiwa yang memadai," kata dia.

Rencananya setiap puskesmas dan rumah sakit umum harus menyediakan layanan kesehatan jiwa. Layanan kesehatan jiwa pun harus menjadi prioritas menuju perkembangan kota yang sehat secara fisik dan mental. Saat ini baru ada dua rumah sakit jiwa milik pemerintah serta beberapa klinik dan panti kesehatan jiwa milik swasta.

Dengan jumlah tempat tidur untuk layanan kesehatan jiwa yang tersedia 1.000. Idealnya dengan jumlah warga Jakarta yang jumlahnya mencapai 10 juta orang, diperlukan setidaknya 30.000 tempat tidur.

"Jumlah penderita gangguan mental dan emosional di Jakarta yang baru tertangani sekitar 80 persen. Banyak pula penderita yang tidak melapor sehingga tak terpantau," kata dia lagi.

Di Tanah Air, masalah gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi pada orang dewasa secara nasional mencapai 11,6 persen atau 1,74 juta jiwa. Sekitar 20.000 penderita gangguan jiwa diantaranya, hidup di pasungan.Kurangnya pengetahuan dan keterbatasan ekonomi membuat keluarga mengambil jalan pintas dengan memasung penderita.

WF Maramis dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kesehatan Jiwa, mengatakan, gejala utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis (psikogenik).

Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan jiwa.

Dan, tak sedikit pula, penyakit ini membuyarkan cita-cita si pengidap sewaktu dia masih waras, seperti halnya pengalaman Yuli.

***4***


1 komentar:

  1. thanks informasinya gan,,, baca juga penyebab sakit jiwa buat tambahan pengetahuan kita semua :)

    BalasHapus