Sabtu, 27 Januari 2018

Rencana Pengobatan Sindrom Nefrotik

Seperti janji saya sebelumnya, saya akan menulis mengenai rencana pengobatan Sindrom Nefrotik yang berasal dari Dr Wee Tuang Hong. Seorang nefrologis, yakni dokter penyakit dalam yang khusus mempelajari ginjal dan fungsinya. Beliau praktik di Mahkota Medical Hospital, Melaka, Malaysia.

Singkat cerita, ia meminta saya untuk menceritakan kronologis penyakit yang saya derita. Saya katakan, saya mulai merasakan penyakit saya itu sejak awal November 2017. Berawal dari kecurigaan sahabat saya, Mami Tri, karena kaki saya bengkak. Saya merasa tak apa-apa, dan berpikir bahwa semua ini karena masalah kelenjar tiroid (hipertiroid) yang saya derita sudah membaik dan efeknya berat badan saya naik. Memang pada saat itu, kelenjar tiroid di leher saya tak lagi bengkak.

Dilihat satu minggu, dua minggu, kaki makin bengkak. Kemudian sahabat-sahabat saya menyarankan ke dokter untuk periksa ginjal. Saya bertanya pada sahabat saya sejak SD yang kini jadi dokter residen di RS Sardjito, ia menyarankan saya untuk cek darah yakni ureum dan kreatinin.

Saya kemudian cek darah ureum dan kreatinin, kemudian bikin jadi urologist, Dr Charles Hutasoit. Saya ceritakan keluhan saya soal kaki bengkak. Ia kemudian melakukan USG Ginjal, Alhamdulillah hasilnya normal. Kemudian ia juga menyarankan saya untuk cek urine lengkap. Pada saat ke dokter Charles berat badan saya sudah naik ke 48 kilogram, dari semula 43-44 kg.  Saat mau pulang, saya bertanya apakah ada kemungkinan bengkak di kaki ini karena cairan infus? Pada Oktober lalu, saya memang dirawat tiga hari karena tifus dan menghabiskan enam botol cairan. Dokter jawab bisa jadi.

Jumat, 26 Januari 2018

Bedanya Dokter Indonesia dan Dokter Malaysia, Ikhtiar Pengobatan Sindrom Nefrotik

Kembali ke ikhtiar saya, dalam pengobatan penyakit saya Sindrom Nefrotik atau yang dikenal dengan ginjal bocor. Sebenarnya bukan pengobatan sih alasan saya datang ke negeri jiran ini, tepatnya malah mencari pendapat kedua setelah tak mendapat penjelasan yang memuaskan dari dokter di Indonesia.

Pagi sehabis sarapan roti canai di kedai India, kami berangkat ke Mahkota Medical Center. Jaraknya paling sekitar 30 meter saja dari hotel. Dulu pas nganter emak berobat ke sini, belum ada hotel Hatten. Sekarang sudah ada hotel megah di kawasan ini.

Sesampai di lobby,liat yang antre di lantai dasar cukup ramai. Kami memutuskan naik ke lantai satu, dan benar hanya ada satu antrean saja. Di rumah sakit ini, pelayanannya ramah dan sangat membantu jika ada yang membutuhkan informasi. Nama-nama dokter dan keahliannya terpajang di layar yang ada di sudut ruangan.

Kami mendaftar, bayar RM4 saja. Saya memutuskan untuk bertemu dengan dokter endokrin dan dokter penyakit dalam dengan keahlian ginjal, atau yang disebut dengan nefrolog. Untuk endokrin, saya bertemu dengan Dr Lim Shiang Chin. Dokter perempuan, masih muda dan China Malaysia. Ia dokter lulusan Universiti Kebangsaaan Malaysia, yang kemudian mengambil spesialis di kampus bergengsi di MRCP di Inggris.

 Untuk nefrolog, saya bertemu dengan Dr Wee Tuang Hong yang juga lulusan Inggris. Umurnya mungkin diatas 50 tahun dan banyak pengalaman.

Jam delapan tepat, kami mulai antre. Di sini, praktik dokter tidak tersentralisasi di rumah sakit.. Namun dokter yang membuka praktik sendiri di rumah sakit. Jadi ada ruangan yang cukup luas untuk tiap ruang kliniknya. Ada bagian administrasi dan ada juga yang bagian farmasi. Pembayaran untuk konsultasi dan pengobatan cukup di ruangan itu saja. Kecuali untuk laboratorium, pembayarannya baru ke rumah sakit. Itupun ada di setiap lantai. Jadi tak perlu ke lantai dasar (biasanya kalau di Indonesia).


Dokter yang saya datangi dulu adalah Dr Lim Shiang Chin. Dokter praktik pukul 8.30, namun pukul 8.15 dokter sudah datang dengan langkah sambil menenteng tasnya. Dokternya masih muda, imut dan berambut panjang yang tergerai. Tapi jangan tanya pasiennya, membludak. 90 persen adalah orang Indonesia dengan keluhan beragam mulai dari diabetes, tiroid dan masalah lainnya.


Tak lama, setelah saya kasihkan form pendaftaran, suster panggil saya. Nanya hasil laboratorium terbaru dan kemudian cek berat badan dan tensi. Karena saya baru diopname dua minggu lalu, hasil lab saya masih bisa dipakai. Biasanya untuk tiroid cek darah per tiga bulan.

Setelah menunggu hampir satu jam setengah (pasiennya banyak), tibalah giliran saya. Dokter tersenyum melihat kami dan mempersilahkan duduk. Saya duduk di kursi yang ada di depan meja dokter. Dokter Lim suruh saya pindah duduk, ke dekat dia. Di ruangan itu juga ada tempat tidur.

Di dalam ruangan, tak ada suster yang menemani. Ia tanya bagaimana keadaan saya, kronologis penyakit saya. Saya ceritakan semuanya termasuk konsumsi obat apa. Saya bilang, saya nakal karena saya putus minum obat setelah satu tahun, kemudian pindah dokter lalu minum obat dan kemudian makan obat lagi.

 Saya divonis hipertiroid pada 2015, emak saya heran mengapa leher saya membesar. Saya juga merasakan cemas dan jantung berdegup kencang. Awalnya saya ke dokter di Awal Bross Tangerang, kemudian pindah ke Dokter Susilowati di Siloam Kebon Jeruk, kemudian ke Prof Slamet Suyono yang katanya ahli tiroid. Tapi dari semuanya saya kurang mendapat penjelasan dan ya itu harus minum obat seumur hidup.

Kembali ke dokter Lim, setelah mendapat penjelasan saya. Ia kemudian nanya sekarang minum obat apa. Saya bilang Thyrozol 10 mg, satu kali sehari. Itupun setelah saya diopname. Ia tersenyum dan kemudian berlutut di depan saya. Dia angkat kaki saya, dan kemudian mengecek setiap detil kaki saya, apa ada varises. Sumpah saya kaget. Kemudian tangan dikedepanin, untuk mengecek apa ada tremor. Dr Susilowati, juga detil seperti Dr Lim, tapi tetap dibantu perawat.

Senin, 22 Januari 2018

Perjalanan Ke Melaka, Ikhtiar Pengobatan Sindrom Nefrotik

Setelah kecewa dengan penjelasan dokter di Indonesia, saya ingin mencari second opinion. Saya teringat pernah mengantar emak berangkat ke Melaka, Malaysia, tepatnya di Mahkota Medical Center pada 2007.
Waktu itu, emak operasi katarak. Setelah ada malpraktik yang dialaminya setelah operasi katarak di Padang. Di Padang, biayanya memang murah Rp5-7 juta, tapi penyembuhannya hingga sebulan. Bolak balik ke klinik mata yang dimiliki dokter asal Bogor itu.
Di Melaka berbeda, diperiksa sana dokter, cek tensi, kemudian rawat inap dan selanjutnya langsung operasi mata. Semua prosesnya hanya setengah hari. Kemudian setelah operasi, dikasih penutup mata agar mata tidak kena air sehari semalam. Besoknya, kami bisa jalan jalan ke Kuala Lumpur. Pengalaman pertama ke luar negeri juga ketika itu.
Awalnya, saya pengen berangkat ke Melaka pada Desember 2017. Abang saya pun udah kasih uang buat berobat, tapi keburu tumbang dan dirawat di RS di Jakarta.
Setelah agak mendingan, saya beragkat ke Malaysia ditemani suami. Cari tiket murah, dapat harga Rp2,3 jt PP, berangkat pakai Air Asia pulang dengan Lion Air.
Kami berangkat pesawat jam dua, sambil menunggu suami yang datang dari Balikpapan. Pesawat telat setengah jam.
Sampai di KLIA 2,  jam 6 sore. Kami langsung cari tiket bus ke Melaka, tepatnya Mahkota Medical Center.  Ternyata, bus ke Mahkota ada jam 22.15.
Ada bus lain tapi pukul 20.45 tujuan ke Melaka Sentral. Saya pikir, kalau ke Melaka Sentral agak ribet karena harus naik taksi dengan harga sekitar RM20 atau Grab RM10. Tapi berhubung, kami belum beli SIM card akhirnya naik bus aja ke Mahkota dengan biaya RM35.
Sambil menunggu bus, kami pun makan kari di food court basement KLIA2. Dekat nunggu bus. Harganya murah pakai jari ayam hanya RM5 , terus suami makan Briyani kambing dengan harga RM12.

Pengalaman Pengobatan Sindrom Nefrotik (1)

Saya baru mengetahui, saya menderita Sindrom Nefrotik atau kelainan pada ginjal ketika dirawat inap selama lima hari di rumah sakit swasta besar di bilangan kebon jeruk. Salah satu milik taipan l*PP*, yang menurut saya menang fasilitas doank tapi kalah dalam pelayanan dan kualitas dokter.
Sindrom Nefrotik itu sebenarnya kelainan pada ginjal, jadi ginjal seharusnya bisa menyaring protein dan menyalurkannya ke seluruh tubuh, ini malah ga. Ginjal ga bisa menyaring protein dengan baik dan keluarlah lewat urine. Kondisi ini disebut dengan proteinura.
Jadi sehari dirawat, dokter penyakit dalam yang menangani yakni dokter Chandra W*g*n* vonis saya kena penyakit yang dikenal dengan masyarakat awam ginjal bocor ini. Gejalanya badan saya bengkak penuh air, kadar albumin dalam darah amat rendah, kolestrol tinggi, dan urine sy mengandung protein.
Berat badan saya normalnya 43-45 kg, naik menjadi 56 kg. Perut saya gendut seperti orang hamil. Untuk jalan aja susah, apalagi solat. Saya sampai solat sambil duduk karena kaki ga bisa dilipat.
Dengan penuh keyakinan itu dokter dan masuk sambil bilang kondisi saya cukup parah karena empat kondisi itu ada pada saya. Penjelasan singkat lima menit kemudian dia pergi dan kembali besok lagi. Begitu seterusnya.  Dia bilang ada hubungannya dengan riwayat penyakit saya sebelumnya hipertiroid, yang katanya harus minum obat seumur hidup. Oke deh.
Hampir semua informasi yg sy dapatkan dari dokter ini bisa ditemui di Google, misalnya sakit ini kalau tidak ditangani bahaya bikin gagal ginjal. Penyakit ini disebabkan oleh autoimun. Ia juga bilang, dalam hitungan bulan saja bisa bikin gagal ginjal. Kalau menurut saya dan suami , lebih tepat disebut dokter google.
Dokter itu kemudian meminta bantuan dokter T*ga Simatupang, seorang nefrolog di rumah sakit itu. Nefrolog itu dokter internis yang ambil spesialisasi ginjal.
Dokter yang ini sungguh tidak banyak bicara dan hanya sebentar di kamar. Tak banyak bicara kondisi saya, padahal pada saat itu sebagian tes darah, ronsen dan USG sudah keluar.
Dirawat empat hari tidak ada perubahan. Pihak RS hanya fokus mengurangi demam dan mual saya.
Hari keempat baru disuntikkan lasix cair, semacam obat pengurang cairan dalam tubuh. Itu juga harus menunggu hingga setengah hari karena menunggu obatnya ga ada di RS itu.
Di rumah sakit, berkali-kali jarum infus berpindah karena tangan saya bengkak penuh air.
Setelah disuntik lasix, saya pipis hampir tiap dua jam dengan banyaknya air sekitar 600 mililiter setiap kalinya. Sehari disuntik lasix berat badan saya berkurang lima kilogram.
Hari kelima saya minta pulang, suasana rumah sakit tidak kondusif. AC sentral bikin saya kedinginan dan batuk saya menjadi-jadi. Dokter bilang hasil USG abdomen, cairan udah masuk ke rongga paru makanya batuk batuk.
Awalnya dokter tak mengizinkan, apalagi saya demam paginya dan dikasih obat demam. Tapi saya maksa, di sini malah bikin saya tambah sakit dok. Akhirnya dia ngalah, dan saya harus tanda tangan karena memaksa pulang. Ga masalah.
Dokter Chandra bilang saya harus kontrol hari Selasa. Dikasih obat Lasix Fumoside cair, kemudian obat antibiotik, antikolestrol, obat tidur dan lectonal buat ginjal.  Ia juga bilang saya ga usah makan garam dan batasi air seliter aja sehari. Kurangi makan protein dll.

Minggu, 21 Januari 2018

Ribetnya Pakai Paspor Elektronik

Beberapa hari lalu melancong ke negeri tetangga. Tepatnya bukan pure melancong, melainkan berobat. Untuk pertama kalinya, paspor elektronik yang jadi pada November lalu digunakan.
Paspor elektronik itu paspor yang ada chip di sampul depannya. Sampul covernya agak keras dibanding paspor biasa dan juga menurut saya riskan sobek. Isi dalamnya okelah, warna warni menampilkan ciri khas Indonesia.
Sampai di bandara CGK, chekin beres kemudian imigrasi. Di sinilah letak perbedaan yang autogate (yang menggunakan paspor elektronik) dan yang tidak.
Kalau pakai paspor elektronik, ga perlu ikut antrean panjang banget. Ga gabung sama rombongan umroh, yang kadang bikin kaki pegel ngantre saking panjangnya. Dengan mudah cukup melenggang saja melewati imigrasi.
Eh melenggang, saya salah kalau bilang ini melenggang, karena sebenarnya ribet juga. Pasalnya alat pemindai tidak sensitif. Kemudian ga ada petugas yang membantu kita saat akan memindai. Adanya diujung gate.
Kemudian kalau berhasil memindai, selanjutnya sidik jari. Sidik jari yang digunakan hanya satu. Ga perlu dua jari seperti ketika berurusan dengan petugas imigrasi manual. Tapi lagi-lagi , permasalahannya adalah alatnya ga responsif. Beberapa kali coba gagal terus. Akhirnya sama petugasnya diujung disuruh scan setiap jari. Kalau dihitung-hitung, habis waktu 15 menit cuma buat itu aja.

Sabtu, 20 Januari 2018

Dikasih Sakit, Karena Tuhan Sayang (Saya dan Sindrom Nefrotik)

Bertahun-tahun lamanya, mungkin sedari kecil, nenek selalu mengatakan ketika saya sakit itu karena Alloh SWT, Tuhan semesta alam sayang kepada saya. Nalar saya tak sebeapa, tak mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh almarhum nenek.

Dan sekarang, 30 tahun kemudian. Tetap dengan nalar yang tak seberapa, saya mulai memahami. Hampir dua tahun terakhir saya mengidap gangguan tiroid. Tapi gangguan tiroid itu tetap membuat saya bisa beraktivitas seperti biasa. Jadwal kerja saya, amat padat. Liputan ke sana -sini, ke luar kota, belum lagi kerjaan tambahan dan waktu untuk anak. Semuanya membuat saya lalai dalam mempersiapkan akhirat. Padahal sesungguhnya akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya.

Lalu, awal Januari 2018 saya dirawat di rumah sakit selama lima hari. Awalnya badan saya bengkak pada November, biasanya hanya 43 kilogram naik menjadi 56 kilogram. Perut seperti orang hamil, pantat besar. Semuanya penuh air. Saya juga tidak bisa kecapekan.


Menjelang malam pergantian tahun, di tengah hiruk-pikuk meriahnya malam tahun baru, saya pun meriang yang amat sangat. Badan saya panas dingin, kepala sakit bangit dan perut  mual dan muntah-muntah.