Minggu, 30 April 2017

Selamat Empat Tahun Anakku

Ini terlambat sekali anakku...

Ucapan ini sungguh terlambat. Maafkan aku, ibumu yang sungguh-sungguh egois. Aku hanya berpikir tentang pekerjaanku sendiri, tentang kuliahku. Maafkan aku anakku.

Ulang tahun kali ini anakku, kita lewati tanpa tiup lilin, kue bahkan hadiah. Hanya secarik doa, yang kutiupkan atas namamu pada pagi hari. Ulang tahunmu pada tahun ini, ibu luangkan sehari bersamamu. Ibu tidak bekerja, hanya menemanimu. Ibu harap kamu tidak keberatan dengan hadiah tak seberapa artinya.

Anakku...
Jika kau hitung seberapa besar cintaku padamu, maka tak ada padanan kata yang mampu untuk mengungkapkannya. Aku pun tak mampu menemukan kata-kata yang pantas untuk itu. Anakku, semua doa yang terbaik selalu untukmu

Selasa, 18 April 2017

Makna Hidup

Acap kali saya ke daerah, saya melihat tingkat kebahagiaan mereka lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan.

Contohnya, beberapa hari lalu saya ke Pangkal Pinang , di bandara saya menemukan satu keluarga yang pergi liburan ke Jakarta. Mereka heppi heppi sekali.

Bandingkan dengan saya, muka kusut, baju itu itu aja, padahal hampir saban pekan ke luar kota. Tapi tabungan masih segitu-segitu saja. Padahal boleh dibilang, saya tak punya cicilan. Rumah , Alhamdulillah sudah ada. Kendaraan walaupun ala kadarnya pun ada. Tanah sepetak ada. Usaha ada

Duh, saya sepertinya perlu mengkaji ulang kehidupan saya di ibukota. Kalaupun kekayaan yang dicari. Tapi kenapa tidak juga melimpah ruah. Uhhh

Apa iya?

Apa iya? Demokrasi menjadi solusi dalam sistem perpolitikan dunia. Pertanyaan itu selalu terngiang dalam benak saya. Bagaimana mungkin demokrasi menjadi satu-satunya solusi.

Seperti kita tahu, demokrasi merupakan anak kandung dari liberalisme. Di sistem perpolitikan adalah demokrasi, sementara di sisi ekonomi kapitalisme.

Kapitalisme sendiri dengan berbagai cara menciptakan konsumerisme. Setiap hari, kita selalu dijejali dengan berbagai produk hingga stigma melalui media massa. Opini kita terus digiring dalam berbagai perspektif. Contohnya tentang makna  cantik, bagaimana perempuan Indonesia mendefinisikannya seperti kulit putih dan bersih. Bagaimana anak remaja yang baru merasa keren ketika memiliki iPhone.

Sinetron-sinetron yang saban hari tayang di televisi mengajarkan generasi muda untuk materialis, semua permasalahan atau kesulitan hidup lu selesai begitu bertemu pangeran baik hati dan kaya. Maka lahirlah generasi instan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.

Apa-apa diukur dari uang. Kesuksesan lu diukur dari apa yang kau kenakan, kendaraan yang digunakan, rumah yang ditempati. Persetan, dengan bagaimana cara mendaoatkannya. Masyarakat tak kan peduli.

Generasi seperti itulah yang di kemudian hari menjadi elit politik di negeri kita. Lalu bagaimana demokrasi menjadi bebas dari politik uang. Sementara, kapitalisme telah melahirkan generasi yang konsumtif, berpikiran pragmatis dan serba instan ?

Pertanyaan itu selalu ada dalam benak saya. Tatanan hidup warisan leluhur kita, musyawarah mufakat dengan mudahnya menghilang.

Demokrasi belum bisa diterapkan sampai masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak, masyarakat yang tak lagi memikirkan perut yang keroncongan dan adanya jaminan kesehatan.