Senin, 24 Oktober 2011

Mereka Berjuang Demi Setetes Air Bersih


Manisa (36) tampak kerepotan dengan tangan kanan dan kirinya membawa jirigen yang berisi air, Jumat (21/10) siang. Sesekali perempuan yang mengenakan baju kaos merah itu berhenti dan menyeka keringat yang mengucur di wajahnya.

Warga Pademangan Barat, Jakarta Utara itu, baru saja membeli air dari kios milik Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya. Untuk mendapatkan air bersih, Manisa harus berjalan kaki sejauh satu kilometer ke kios air terdekat. Setiap hari, ia harus merogoh kocek hingga Rp10.000 ribu untuk mendapatkan air bersih.

Sejak dua tahun lalu dia memilih membeli langsung air dari kios yang memang disediakan untuk melayani penduduk di kawasan itu. Sebelumnya, dia pernah menjadi pelanggan PAM, namun kemudian berhenti karena air yang mengalir kecil dan keruh.

"Bayarnya juga lebih mahal. Makanya lebih memilih membeli melalui kios aja," kata ibu dua anak ini.

Air itu digunakan untuk keperluan memasak. Sedangkan untuk keperluan mandi dan mencuci keluarganya menggunakan air sumur yang menurut Manisa keruh, bau dan rasanya asin. Tak jarang juga air dari PAM pun berwarna hitam dan bau.

"Memang sejak saya kecil kondisi sudah seperti itu. Tapi tampaknya pemerintah kurang memperhatikannya," keluh Manisa.

Ungkapan serupa juga dilontarkan Wita (28), warga Pademangan Timur, Jakarta Utara, yang mengatakan setiap hari harus menyiapkan dana dan tenaga ekstra untuk mencukupi kebutuhan akan air. Belum lagi, Wita harus berjalan kaki sejauh satu setengah kilometer untuk mendapatkan air.

"Setiap hari harus beli air PAM untuk memasak. Sedangkan untuk minum, menggunakan air isi ulang. Cuma kadang-kadang air isi ulang melalui depot-depot itu airnya berbusa dan bau," jelas Wita.

Karenanya, terkadang jika mempunyai uang lebih Wita membeli air kemasan isi ulang yang resmi. Setidaknya, Wita mengeluarkan dana Rp20.000 setiap hari hanya untuk mencukupi kebutuhan akan air. Sebenarnya, Wita merasa berat setiap hari harus merogoh kantong lebih dalam demi air.

"Saya khawatir jika minum air isi ulang dari depot kesehatan anak-anak akan terganggu," kata ibu dua anak ini.

Wita juga mengharapkan pemerintah lebih peduli dengan krisis air bersih yang dialami sebagian warga Jakarta ini karena akan berpengaruh terhadap kesehatan warganya. Persoalan ini tak hanya dihadapi masyarakat miskin tetapi juga masyarakat kelas atas.

Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Ir H Hardinsyah MS, mengatakan bersih tidaknya air perlu mendapat perhatian. Karena air merupakan salah satu zat gizi selain karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral, karena air berperan penting dalam kelangsungan proses metabolisme serta reaksi kimia tubuh.

" Ini sangat penting terutama pada masa tumbuh kembang anak yang membutuhkan asupan gizi seimbang. Orang tua juga harus memperhatikan bersih tidaknya air yang dikonsumsi," kata Hardinsyah.

Tak hanya untuk anak-anak, orang dewasa pun perlu memperhatikan kebersihan air yang diminum karena akan berkorelasi dengan produktivitas.

"Bersih tidaknya air dan jumlahnya memiliki peran penting dalam peningkatan produktivitas kerja, karena peranan air sebagai salah satu zat gizi," terang Hardinsyah.

Hardinsyah menyebutkan tempat kerja dengan suhu tinggi akan menyebabkan penguapan yang tinggi sehingga pekerja mengeluarkan banyak keringat. Oleh karena itu, masyarakat perlu memperhatikan kebersihan dan kebutuhan tubuh akan air.



Termahal di dunia

Pakar hidrologi dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan tarif air di Jakarta merupakan yang paling mahal di dunia. Di ibu kota negara itu air bersih dibanderol dengan harga Rp7.500 per meter kubik. Bahkan di daerah Pademangan, Jakarta Utara, air bersih dibanderol dengan harga 37 ribu rupiah hingga 75 ribu rupiah per meter kubik.

"Padahal di Singapura tarif air bersih Rp5000 per meter kubik. Tak ada orang di dunia yang membayar air dengan harga 7 Dolar Amerika Serika Serikat per meter kubiknya," sebut Firdaus.

Jakarta membutuhkan sekitar 548 juta meter kubik air tawar bersih per tahun hanya untuk kebutuhan rumah tangga. Ditambah untuk kebutuhan industri, perkantoran dan hotel yang membutuhkan 164 juta meter kubik air per tahunnya. Jumlah ini tidak sesuai dengan kapasitas produksi PAM Jaya yang hanya 425 juta meter kubik air per tahun.

Direktur PAM Jaya Maurits Napitupulu mengatakan,dari 18 kubik per detik kebutuhan air di Jakarta setiap harinya, hanya sebesar 2 persen atau 0,4 kubik per detik air bakunya berasal dari Jakarta.

"Selebihnya, atau sebesar 98 persen berasal dari sungai Citarum yang dialirkan lewat Kanal Timur Barat yang berasal dan 15 persen dari Tangerang," sebut Maurits.

Saat ini baru 45 persen atau ribu pelanggan yang terlayani Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya yang dikelola dua operator air bersih di DKI Jakarta PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta.

Dengan demikian, ratusan ribu warga idak mendapatkan pelayanan PAM Jaya itu dan memilih menggunakan air tanah. Sehingga tak heran di beberapa wilayah terjadi perebutan air bersih antara masyarakat kecil dan menengah serta kaum menengah atas akses air bersih.



Sejak Dulu

Krisis air bersih di Jakarta sebenarnya bukanlah barang baru. Sejarahwan Susan Blackburn dalam bukunya "Jakarta : A History" menyebutnya sebagai persoalan terbesar dan tertua yang pernah ada.

Persoalan mengenai air bersih mulai terjadi sejak tahun 1720-an. Kisruh persoalan air bersih bermula dari kebijakan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang membangun kanal-kanal yang bersumber dari dari air Kali Ciliwung di Oud Batavia (Batavia lama). Tujuannya sebagai alur transportasi pelayaran dan pemasok air bagi penduduk kota maupun kebun-kebun tebu.

Coen yang memerintah pada 1619-1623 dan masa jabatan yang kedua berlangsung antara tahun 1627-1629. Coen bukanlah seorang ahli hidrolika ataupun ahli tata kota. Coen pada mulanya saudagar yang mempunyai bakat jadi panglima perang. Karenanya Coen membangun Jakarta dengan mengacu pada kota kelahirannya Hoorn, sebuah kota pelabuhan di Belanda bagian utara.

Akibat kebijakan Coen, persoalan kekurangan air pun bermunculan karena beban hidrolis yang demikian berat tidak terpikul lagi oleh Kali Ciliwung dan Kota Batavia. Terutama pada musim kemarau. Dampaknya terjadinya ancaman terhadap kesehatan dan kenyamanan hidup dengan merebaknya wabah malaria.

Krisis air bersih pun mulai terjadi, tak hanya dirasakan masyarakat kelas bawah tetapi juga gubernur jenderal. Kalaupun ada dijual dengan harga tinggi oleh pedagang yang mengambil dari sumbernya di selatan.

Mulai saat itu Batavia tidak disukai lagi sebagai kota hunian dan akhirnya ditinggalkan. Perlahan pun penduduk mulai pindah mencari daerah yang dilintasi oleh banyak alur sungai.

Puncaknya terjadi pada akhir abad ke-18, terjadi perpindahan penduduk dan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (Batavia lama) ke Nieuw Batavia yang berada di sekitar Gambir. Kini, persoalan air bersih menjalar ke seluruh bagian kota.

Mulai sejak itu, Ciliwung tak lagi dikenal sebagai "la plus belle eau et la meilleure qui soit au monde", atau airnya yang paling bersih dan baik sedunia sebagaimana ditulis pe asal Prancis Jean-Baptiste Tavernier seratus tahun sebelumnya.

Alan Snitow, Deborah Kaufman dan Michael Fox dalam buku mereka "Thirst Fighting The Corporate Theft of Our Water" mengatakan permasalahan air merupakan persoalan yang paling mendasar dalam kehidupan bermasyarakat.

Bahkan sejak ratusan tahun lalu, terjadi konflik antara kota dan desa untuk menentukan siapa yang berhak menggunakan aliran sungai. Karenanya dalam tata bahasa Inggris, kata rival (pesaing) dan river (sungai) mempunyai akar yang sama.

Di Stockton, California, Amerika Serikat, air menjadi isu yang paling sensitif seiring pertumbuhan penduduk yang berlangsung cepat.

Air tidak hanya menjadi persoalan biasa, tetapi ini menyangkut kemurnian, pembaharuan dan elemen suci yang digunakan dalam kehidupan beragama. Bagaimanapun air tidak bisa diciptakan, manusia hanya memiliki air sesuai dengan yang dimiliki sekarang.

Secara nasional, cakupan pelayanan secara terhadap sumber air bersih layak hingga akhir 2009 hanya 47,71 persen. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat target Sasaran Pembangunan Milenium yakni 69 persen penduduk Indonesia harus memiliki akses terhadap sumber air minum layak.

Pemerintah setidaknya masih harus menyediakan layanan air bersih untuk hampir 60 juta jiwa. Kendala utama dalam penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak karena rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai air bersih, serta dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa solusi pun ditawarkan berbagai perusahaan sebagai bahagian dari Corporate Social Responbility (CSR). Seperti Danone Aqua dengan programnya yang bernama AQUA Lestari.

Program ini fokus pada akses air bersih dan kesehatan lingkungan, konservasi dan pendidikan lingkungan, pertanian organik dan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, serta pemantauan dan pengurangan emisi karbon.

***4***

T.SDP-13/B/Z003











 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar