Minggu, 14 Juni 2020

Jurnal pandemi : kasihan

Dear..

Kemarin, aku bertemu sahabat. Dari matanya, menyiratkan rasa kasihan. Timbul pertanyaan pada diriku, apakah aku hidupku begitu menyedihkan. Sehingga patut dikasihani.
 

Memang, kehidupanku biasa saja. Pergi kerja dengan menggunakan bus, terkadang menyambungnya dengan ojek. Baju juga biasa saja. Tas itu-itu saja. Sepatu apa lagi? Apakah itu patut untuk dikasihani? Entahlah.

Jika dibandingkan dirinya, aku jauh tertinggal. Karirnya melesat jauh hingga menjadi kepercayaan menteri. Sementara aku biasa-biasa aja, masih reporter dan dengan segudang tugas. Aku juga belum doktor. Aku tak punya alasan kuat mengapa harus kuliah doktor. Aku kuliah S2 saja karena aku senang belajar, senang atmosfer kampus dan senang mencari ilmu. Memang terlihat idealis. Tapi itu alasan sebenarnya.


Pandangan orang berbeda-beda. Tapi bagiku, aku bersyukur dengan semua ini.Menurutku ini pencapaian terbaikku, punya anak yang solehah dan suami yang menyayangiku dan anak.Itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.

Aku bahagia meski hidup biasa-biasa saja. Terkadang susah mencari bahagia itu. Lihat saja emak, selalu saja menangis. Sedikit-dikit menangis. Entah apa yang ditangisi. Padahal makan minumnya terjamin. Tapi tak jua bahagia. Bahagia itu memang kita yang ciptakan bukan datang dengan sendirinya.


Jumat, 12 Juni 2020

Jurnal Pandemi : Peringatan 8 Tahun Pernikahan dan Pelajaran Berharga

Dear...

Tak terasa aku sudah berumahtangga selama delapan tahun. Tak terasa memang. Awalnya sempat ragu akan selama ini, namun nyatanya kami melalui onak maupun rintangan lainnya dalam perjalanan kami.

Aku berharap ini akan abadi selamanya. Aku merasa sekarang lebih dekat dengan suami. Selama WFH ini aku lebih banyak di rumah, aku memasak dan setiap hari bertemu suami dan anak. Suatu hal yang langka kutemui pada awal pernikahan.  Waktu itu kami masih terpisah, aku di Jakarta dan suami bekerja di Cilegon. Sekarang kami bersama, meski saat ini suami sedang tertatih-tatih mendaki puncak kesuksesan. Tak masalah asal selalu bersama.

Dear...
Ada banyak hal yang tak bisa kuceritakan. Tapi lagi-lagi aku dikecewakan orang-orang yang kupercaya. Aku selalu dimaki-maki dikatakan anak binatang, keturunan binatang. Sedih sekali. Meski aku dibesarkan oleh dia dan disekolahkannya, bukan berarti aku pantas dimaki-maki. Aku sedih sekali. Hidupku tertekan sejak kecil, selalu dibilang anak yatim hidup. Aku tak pernah merasa bahwa aku bersama orang tua sendiri.

Kali ini ceritanya uda menitipkan uang padaku. Istilahnya uang lelaki, yang tanpa sepengetahuan istri. Dititipkannya. Awalnya mau digunakan untuk membeli warung. Namun batal, karena sebenarnya aku ragu untuk memakainya. Namun suamiku menggunakannya untuk modal dagang. Aku beli lahan, mau bikin kebun.  Butuh modal besar. Tapi sekarang mereka memaksanya meminta dariku...