Selasa, 24 April 2012

era baru

     Orang bijak mengatakan bahwa hidup ini adalah pilihan. Dengan kata lain, hidup ditentukan oleh kemana tangan menjangkau maupun kemana kaki yang akan membawa pergi. Dirimu sendiri yang menentukannya. Dengan seyakin-yakinnya saya katakan ya.
     Saya tidak punya alasan kuat untuk membantahnya. Apalagi Tuhan telah mengatakan dalam firmanNya tidak akan merubah nasib suatu kaum jika mereka tidak merubahnya sendiri. Siapa yang berani melawan. Tuhan bukan, nabi juga bukan.
     Tapi saya punya hak untuk berpendapat sebaliknya, bahwa hidup hanya menjalani apa-apa yang ditentukan oleh Tuhan. Sulit untuk menjelaskannya, namun dunia sampai manapun dicari hanyalah kehampaan. Bekerja keras siang dan malam, sikut kiri kanan, lalu serta merta jadi kaya raya. Toh, pada akhirnya juga akan menghadapi kematian. Entah kapanpun itu.Hanya kain kafan yang akan dibawa.
     Semu, memang semu. Dunia hanyalah fatamorgana yang menyilaukan mata dan membuat lupa daratan. 


kos-kosan tercinta, 1 Muharram 1433 H

Menjadi Indonesia

     Sejujurnya saya katakan, saya paling kesal kalau ditanya orang yang baru dikenal mengenai suku. Kira-kira begini percakapannya;
"Asal kamu darimana?"
"Indonesia."
"Ow bukan, maksud saya sukunya?"
"Saya orang Indonesia."
     Memang terdengar sepele, namun sebenarnya mempunyai dampak yang besar. Harus diakui,  jika satu suku dengan penanya maka bukan tidak mungkin obrolan akan semakin hangat dan dekat. Tak jarang juga, kalau kita ke daerah dan melihat jelas semangat kesukuan tersebut.
    Misalnya saja, kalau anda ke Riau. Anda bisa lihat setiap suku memainkan perannya masing-masing, semacam ada sekat yang mereka buat sendiri. Jangan harap, anda bisa menjadi PNS kalau bukan asli Melayu, begitu juga jabatan strategis lainnya.

Sabtu, 21 April 2012

Selamat jalan pak Wamen, tempat terindah untuk mati...

    Pendaki gunung asal Inggris George Mallory pernah ditanya, mengapa dia sangat ingin mendaki Gunung Everest, yang merupakan atap dunia. Mallory hanya menjawab "Becaus its there", dan tiga kata itu menjadi kata yang terkenal di dunia pendakian gunung.
    Memang tak ada alasan yang pasti, mengapa banyak orang yang menghabiskan waktunya mendaki gunung yang tentu saja membuat seluruh badan letih. Tapi tentu saja, bagi mereka yang mencintai alam, hal itu tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang didapat ketika mendaki gunung.   
    Dan hari ini, saya setengah tak percaya ketika membaca berita tentang meninggalnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Widjajono Partowidagdo, yang meninggal ketika mendaki Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu pukul 15.00 waktu setempat.
    Tak habis pikir, karena beberapa hari sebelumnya saya bertemu dengannya pada acara pertambangan di Jakarta. Dia terlihat bugar dan sigap menjawab berbagai pertanyaan dari wartawan kepadanya. Memang, kementerian tersebut tengah disorot terkait wacana kenaikan BBM hingga pembatasan BBM yang belum jelas hingga saat ini.
    Saya memang tidak kenal dekat dengan Wamen. Saya pertama bertemu dengannya pada awal Februari, ketika ada perayaan hari revolusi di kedutaan Iran. Dalam pandangan saya, pak wamen adalah orang yang ramah, hangat dan cuek pada penampilan.
     Dia yang datang bersama istrinya, tak peduli dengan kumisnya yang dicukur kurang rapi ataupun dengan rambut gondrong. Dia sangat cuek sekali dengan penampilan. Waktu itu, saya mendekatinya dan mengajak ngobrol dan obrolan semakin hangat ketika berbicara tentang pendakian. Malah, dengan ramahnya dia mengajak saya bergabung pada pendakian ke Gunung Gede. Sayangnya, saya tidak bisa ikut karena kesibukan yang luar biasa di kantor (halah lebay).
     Beberapa hari yang lalu, ketika bertemu saya ingat dia, dan ingin menghubunginya. Sejujurnya, saya ikut dalam pendakian bersama dengannya. Namun sayang, hari ini saya mendapat kabar dia telah menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Tambora.
     Memang tak seperti George Mallory dan Andrew Irvine yang hilang di Everest, Widjajono meninggal di gunung tersebut dan berhasil di evakuasi.  Tapi setidaknya Widjajono telah memilih tempat yang terindah untuk mati...bukan dalam keadaan sakit-sakitan di dipan.
     Kalau begini, saya jadi teringat perbincangan dengan sahabat saya Een, tiga tahun yang lalu. Yah, Een ingin sekali mati di gunung, ketika dia tengah bercinta dengan alam...Selamat jalan pak wamen, surga pastinya lebih indah dari dunia....