Selasa, 24 April 2012

Menjadi Indonesia

     Sejujurnya saya katakan, saya paling kesal kalau ditanya orang yang baru dikenal mengenai suku. Kira-kira begini percakapannya;
"Asal kamu darimana?"
"Indonesia."
"Ow bukan, maksud saya sukunya?"
"Saya orang Indonesia."
     Memang terdengar sepele, namun sebenarnya mempunyai dampak yang besar. Harus diakui,  jika satu suku dengan penanya maka bukan tidak mungkin obrolan akan semakin hangat dan dekat. Tak jarang juga, kalau kita ke daerah dan melihat jelas semangat kesukuan tersebut.
    Misalnya saja, kalau anda ke Riau. Anda bisa lihat setiap suku memainkan perannya masing-masing, semacam ada sekat yang mereka buat sendiri. Jangan harap, anda bisa menjadi PNS kalau bukan asli Melayu, begitu juga jabatan strategis lainnya.

    Lalu perekonomian, mayoritas dipegang oleh Minangkabau di level menengah ke bawah. Memang ada beberapa, yang bermain di level atas tapi tidak banyak. Bisnis level atas dipegang oleh etnis Tiongha.
   Sedangkan suku Batak lebih banyak bermain dalam bidang keamanan dan kemudian Jawa di daerah perkebunan seperti sawit dan karet. Boleh dikatakan, otonomi memperparah semangat primodial tersebut.
   Belum lagi, sentimen negatif, misalnya Minangkabau cenderung pelit, Melayu cenderung pemalas, Betawi juga cenderung pemalas, Sunda genit, Jawa itu bermuka dua dan lainnya. Ampun deh...
    Tingginya nilai kesukuan atau kedaerahan juga membuat seseorang lebih mencintai daerahnya sendiri, bukan negaranya. Begitu juga bahasa daerah, juga sering digunakan meskipun tidak berada dalam ruang lingkup daerah.
    Saya sering mengalami hal itu. Beruntungnya, saya sedikit mengerti bahasa daerah, sehingga paham jika ada orang dari daerah lain sedang berbincang.
    Bayangkan, jika ada satu orang Papua dan dua orang Batak berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing. Pastinya, orang yang berasal dari Papua dan tidak memahami Bahasa Batak akan ternganga-nganga dan kebingungan. Lebih parahnya, kalau si Papua tersebut berpikiran negatif dan berpikir bahwa dua orang Batak tersebut membicarakan dirinya. Wah, bisa-bisa pecah perang dunia ketiga.
    Indonesia memang rumit, terdiri dari ratusan suku bangsa, bahasa, adat dan budaya, dan berada di wilayah yang terpisah-pisah satu sama lain.  Tapi ditengah kerumitannya itu, para "founding father" telah merancang sebuah negara yang utuh dan solid.
    Lihat bagaimana isi Sumpah Pemuda, yang mendeklarasikan bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu. Selesai permasalahannya. Itulah esensinya, bersatu padu membangun bangsa. Bangsa bukan daerah.
    Sulit memang menjadi Indonesia, yang benar-benar Indonesia yang tidak melihat semangat kesukuan.
    Sampai pada satu titik, saya berpikir bahwa menjadi Indonesia adalah menyarikan semua sisi positif setiap suku bangsa.
   Misalnya saja, orang Indonesia itu mempunyai sopan satun seperti halnya suku Jawa, tangguh seperti orang Bugis, demokratis ala Minangkabau, berbahasa santun seperti layaknya Melayu, mampu berargumen seperti Batak, belajar bertahan hidup dari suku Papua,  belajar keberanian dari orang Maluku , cinta alam dari masyarakat Bali dan banyak lagi. Itu baru Indonesia.

#iseng doank
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar