Sabtu, 22 Oktober 2011

Bodohnya Saya

   Kadang saya suka keki kalau bertemu seniman entah itu penyair, sastrawan, pelukis atau apalah namanya. Salah-salah pilih kata saya bisa diusir hingga dipermalukan. Bagi saya, seniman itu adalah manusia dengan ego yang amat sangat besarnya. Dan juga mempunyai pribadi yang kompleks. Ucapannya menyakitkan hati, walaupun niatnya baik. Tidak semua memang.
   Saya ingat benar, dulu ketika masih kuliah sekitar 2008, saya bermain ke Rumah Dunia di Serang. Saya sudah beberapa kali main di komunitas itu. Nah, suatu ketika saya melihat mas Gola Gong dan tanpa pikir panjang, saya mendekati. Mulailah saya bertanya ini itu. Hingga akhirnya, dia berjalan ke arah perpustakaan dan memberikan saya sebuah potongan koran yang dibingkai dalam pigura.
   "Lebih baik kamu membaca semua tentang saya di sini," kata mas Gong.
   Saya hanya bisa tersenyum keki. Kemudian suatu waktu lagi, saya kembali ke Rumah Dunia dan bertemu penyair Banten, Toto ST Radik. Setelah bertanya ini itu tentang puisi, saya pun hendak menanyakan pendapatnya tentang puisi saya. Tapi sebelumnya saya berkata.
   "Mas, ini puisi saya. Tapi ini bukan puisi terbaik saya," kata saya sambil memberikan buku saya.
   Mendengar hal itu, Toto ST Radik langsung marah dan melempar buku saya. Lalu dia berkata.
   "Pergi kamu!!!!" usir dia.
   Saya hanya terdiam, tak tahu harus bagaimana.
   "Pergi kamu, saya tidak mau melihat kamu di sini," kata dia lagi.
   Saya pun mengambil buku yang dilempar dan memasukkannya ke dalam tas. Seingat saya, sebelum meninggalkan tempat itu saya sempat mengatakan saya akan mengalahkan dia suatu waktu nanti.
   Begitu juga di Riau, kampung halaman saya. Ketika mulai menjalani profesi jurnalistik, saya pun wawancara beberapa seniman. Ada yang baik sambutannya, tapi ada juga yang ngejengkelin seperti di atas.
   "Karya-karya bapak sulit dimengerti oleh awam," kata saya pada Yusmar Yusuf.
   Tanpa tedeng aling, Yusmar pun berkata :
   "Makanya jangan jadi orang awam,"
   Saya hanya terdiam, dalam hati misuh-misuh alias maki-maki, pukimak bapak ni.
   Begitu juga dengan senior saya, yang juga seniman teater, Fedli Azis. Awalnya saya hanya bertanya liputan dimana, hingga pada suatu kesimpulan dia berkata kalau saya menyuruh dia.
   "Apa hak kau menyuruh aku," oala..ampunlah.
   Ketika dari Jakarta pun, peristiwa memalukan terus terjadi. Contohnya ketika wawancara pelukis Agoes Jolly. Dia dengan seenaknya menyuruh saya mencari lukisannya dan suruh mencari maknanya sendiri.

   Tak hanya sampai disitu, kemarin malam saya bertemu Goenawan Mohamad di Salihara. Usai minta tanda tangan saya bercerita tentang mantan bos saya yang merupakan teman dia semasa di Tempo. Lalu dia berkata :
   "Ada penyair dari Riau lagi baca puisi di bawah, kamu tidak lihat?" tanya dia.
   "Iya pak, nanti. Saya mau wawancara bapak dulu," kata saya.
   "Tidak...Tidak...Saya tidak mau diwawancarai!," tegas dia.
   "Plis pak," saya mengiba. Tapi dia tetap keukeuh
    Akhirnya saya ke bawah dan melihat penampilan penyair itu. Usai pertunjukan, saya bertemu Ayu Utami, penulis novel terkenal itu. Saya berbincang ini itu, hingga akhirnya teman saya, Lintang bertanya tentang buku-bukunya. Hingga pada percakapan.
   "Kamu tahu novel Bilangan Fu terbit tahun berapa?" tanya dia ama Lintang.
    "Waktu saya kuliah," jawab Lintang.
    "Emang kamu kuliah tahun berapa?" tanya Ayu lagi.
    "Sekitar tahun 2004," sebut Lintang.
    "Saya tidak mau berbicara dengan kamu lagi," kata Ayu sambil berlalu pergi.
    Tinggallah Lintang yang bengong dan saya yang tidak bisa menahan tawa melihat adegan itu. Lintang akhirnya memutuskan pulang, sementara saya mencari Goenawan Mohamad.
    Saya bertemu dia, di jalan keluar dari ruang pertunjukan. Saya katakan, saya sudah melihat pertunjukan dan ingin wawancara.
    "Apa yang ingin kamu wawancarai?" tanya dia.
    Saya jawab, bagaimana puisi dia melengkapi buku foto itu. Dia balik bertanya apa saya udah baca puisinya, saya bilang belum. Trus disuruh baca, dan kemudian ketika dia seibuk tanda tangan, saya membaca salah satu puisinya dan bertanya maknanya.
    "Puisi jangan ditanya maknanya," ketus dia.
    Saya diam. Kemudian berkata :
    "Ok, saya akan baca puisi bapak, kapan saya bisa kembali lagi?"
    "Besok," kata dia.
    "Ok. thank you," kata saya sembari melebarkan telapak tangan. Saya pun berlalu. Dalam perjalanan saya bersemangat, namun pagi ini ketika bangun saya ragu untuk kembali ke sana. Uh, bodohnya saya di mata para seniman.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar