Senin, 24 Oktober 2011

Jalan Buntu Jaminan Sosial


Lelaki berumur 67 tahun ini berkali-kali menghela nafas, sebelum terucap kata dari bibirnya. Matanya terus menerawang, baru kemudian mulutnya terbuka.

"Andai saya tahu, mungkin banyak uang yang menjadi hak saya yang seharusnya diterima," kata Kadir, salah seorang pensiunan PT Kereta Api (Persero) yang ditemui ANTARA di Jakarta, Rabu.

Kadir yang mengakhiri masa tugasnya di PT Kereta Api terhitung 1 April 2007 itu paham benar bagaimana berbelitnya persoalan dana pensiun itu. Bahkan ribuan pegawai Kereta Api harus turun ke jalan selama dua tahun pada 2003 dan 2004 untuk menuntut hak mereka. Penyebabnya ketika itu, PT Kereta Api menyatakan hanya bisa membayar pensiun sampai 2006.

"Sebagai perusahaan umum, gaji kami berasal APBN dan perusahaan. Porsinya 68 persen dari APBN, lalu 32 persen dari perusahaan. Nah, ketika itu perusahaan hanya mampu membayar gaji dan pensiunan hingga 2006. Tentu saja, kami tidak bisa menerimanya," kenang Kadir.

Saat itu, jumlah pegawai dan pensiunan mencapai 10 ribu orang. Persoalan ini bermula beralihnya status perusahaan itu dari Perusahaan jawatan (Perjan) menjadi Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 57/1990, lalu pada 1998 PT KA resmi menjadi Persero. Peralihan ini membuat status pegawai berubah dari PNS menjadi pegawai perusahaan. Pengalihan ini melalui Keputusan Menteri Perhubungan KP304/2/1/17-PHB-92 tanggal 15 Januari 1992.

"Ketika itu saya tidak punya pilihan dan harus menandatangani peralihan status ini. Jika tahu akan merugikan, tentunya kami semua sepakat menolak," kata Kadir yang masuk ke PT Kereta Api pada 1978 itu.

Sejak itu, nasib pegawai perusahaan negara itu berubah drastis. Gaji yang diterima, berbeda ketika masih berstatus PNS. Begitu juga ketika gaji PNS naik, pegawai PT Kereta Api tidak otomatis naik.

"Dan lebih parahnya, dana pensiun yang kami kumpulkan selama sekian tahun tidak kami terima. Baru setelah demo besar-besaran ada perhatian dari pemerintah dengan mengeluarkan PP 64 Tahun 2007 tentang penyesuaian pensiun eks PNS. Tapi kabarnya, PP ini juga tidak baku," cetus dia.

Kini tampaknya sejarah akan kembali terulang dengan adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). RUU ini yang pembahasannya tak kunjung selesai ini didalamnya menyebutkan adanya transformasi empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Jamsostek (Persero), PT Asabri (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Askes (Persero) menjadi dua BPJS.

Jangka pendek yang dimaksud termasuk program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Sedangkan jangka panjang untuk mengelola program jaminan hari tua seluruh warga negara.

Ribuan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) berunjuk rasa pada Selasa (18/10) lalu, menentang disahkannya RUU BPJS itu.

"Kami khawatir jika empat perusahaan itu dilebur, maka dana jaminan hari tua yang dikumpulkan buruh sejak 34 tahun lalu di Jamsostek hilang begitu saja," kata Ketua DPP SPN Bambang Wirahyoso dalam orasinya.

Bambang mengaku khawatir jika dana Jamsostek yang nilainya mencapai Rp106 triliun hilang tak tahu rimbanya seperti yang dialami mantan pegawai PT Kereta Api itu. Kekhawatiran ini semakin kuat dengan wacana peleburuan empat BUMN itu.

"Kami tidak bisa membiarkan uang kami yang sudah dengan susah payah dikumpulkan, kemudian diserahkan pada badan yang belum jelas peraturan, badan hukum serta manfaatnya," ungkap Bambang.

Alasan penolakan lainnya, lanjut dia, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yakni pasal 28H ayat 1 yang menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, berhak mendapatkan tempat tinggal, lingkungan baik dan sehat serta mendapatkan pelayanan kesehatan.

"Anehnya dalam RUU BPJS, justru ada ancaman pidana bagi setiap orang yang tidak terdaftar di BPJS, dan setiap peserta juga wajib membayar iuran," kata Bambang lagi.

Para buruh, kata Bambang, trauma dengan UU yang nantinya malah mengorbankan para buruh, seperti pil pahit yang harus ditelan para buruh dengan disahkannya UU nomor 13 tentang Ketenagakerjaan yang melegalkan sistem "outsourcing".

"Kami trauma dengan janji-janji manis yang dilontarkan," ungkap Bambang.

Bambang juga mengancam akan menarik dana 25 juta peserta Jamsostek jika nantinya BPJS bisa merusak jaminan sosial yang sudah ada.

Sementara itu Dirut PT Jamostek Hotbonar Sinaga mengatakan jika penarikan dana dilakukan maka perekonomian di Tanah Air akan gonjang-ganjing.

"Tentunya, Kami akan terpaksa menarik sekitar 93 persen atau sebesar Rp 102 triliun dana pekerja di perbankan nasional, reksadana, SUN (Surat Utang Negara), saham, dan investasi lainnya," kata Hotbonar.

Terlebih lagi sejak beredarnya Surat Edaran Menteri BUMN bernomor S-374/MBU/2011 tertanggal 24 Juni 2011. Surat kepada tujuh menteri terkait jaminan sosial itu mengungkapkan risiko pengalihan aset empat BUMN pengelola jaminan sosial. Menteri BUMN ketika itu, Mustafa Abubakar menyatakan akan timbul gejolak ekonomi (rush) jika aset Rp 190 triliun milik Jamsostek diubah, terutama yang diinvestasikan di pasar modal dan perbankan.



Tarik Ulur

Permasalahan RUU BPJS ini bukanlah barang baru di DPR. RUU ini sudah menjadi pokok bahasan di DPR sejak periode lalu, namun kandas. Pembahasan mengenai persoalan ini kembali dibuka begitu anggota DPR periode 2009-2014 dilantik. Namun hingga kini nasib RUU ini belum juga disahkan.

Pembahasan RUU BPJS ini dilakukan berdasarkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, disahkan pada Oktober 2004. Dimana dalam UU itu disebutkan pemerintah menerima mandat untuk menjalankan amanah yang dikandung UU tersebut, dengan membentuk badan penyelenggara jaminan sosial.

Berdasarkan UU itu, jaminan sosial seharusnya sudah dilaksanakan paling lambat pada 2009 bagi seluruh warga negara tanpa kecuali dari sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun kenyatannya, hingga kini baru menghasilkan Dewan Jaminan Sosial Nasional yang dibentuk melalui Peraturan Presiden dan RUU BPJS yang belum disahkan.

Lambannya pengesahan RUU ini dikarenakan belum tercapainya kata sepakat antara DPR dan pemerintah. Setidaknya terdapat 62 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang masih menunjukan perbedaan tajam.

Beberapa perbedaan diantaranya adalah pemerintah bersikukuh UU BPJS hanya merupakan penetapan dan tidak mengatur, sedangkan DPR sebaliknya. Begitu juga DPR menghendaki BPJS berbentuk nirlaba sedangkan pemerintah menghendaki tetap berbentuk BUMN yang memberikan deviden.

"Undang-Undang ini nantinya akan melindungi seluruh rakyat, tidak hanya tenaga kerja formal tetapi juga informal. Berdosa kita jika kita tidak memikirkan jaminan sosial bagi rakyat," jelas Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

Priyo membantah keberadaan UU ini nantinya akan menggusur keberadaan empat BUMN itu dengan dibentuknya badan penyelenggara jaminan sosial itu.

"Kita tidak menggusur, tetapi kita menginginkan masyarakat yang hidup di pedesaan bisa terlindungi kesehatan maupun keuangannya mulai dari lahir hingga meninggal," jelas dia.

Tarik ulurnya permasalahan RUU ini juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menolak disahkannya RUU BJPS. Kubu ini dimotori mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari bersama sejumlah tokoh pada Juli lalu. Siti Fadilah berpendapat jika RUU ini disahkan maka hak pemerintah memberi jaminan sosial menjadi kewajiban bagi rakyat untuk membayar asuransi dengan alasan jaminan sosial.

"RUU ini mengubah hak sosial rakyat menjadi kewajiban rakyat. Artinya, pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam melindungi warganya," kata Siti Fadillah ketika itu.

Sejak itu gelombang unjuk rasa mulai menjalar ke seluruh negeri. Puncaknya ketika ribuan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional menggelar aksi unjuk rasa menentang disahkannya RUU BPJS karena dianggap merugikan rakyat kecil, Selasa lalu.

Tapi tak sedikit yang mendukung untuk disahkannya RUU itu menjadi UU seperti yang dilakukan ribuan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).

"Kebohongan besar apabila ada tranformasi Jamsostek, maka uang pekerja akan hilang," kata Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial, Said Iqbal.

Said menegaskan tak ada dana masyarakat yang hilang begitu juga dengan pelayanan-pelayanan kepada nasabah, tidak ada pengubahan aset. Menurut dia, isu itu sengaja dilontarkan untuk memancing gelombang penolakan terhadap RUU itu.

Apalagi, kata Said, ICW menemukan indikasi pengelolaan dana yang belum sepenuhnya transparan oleh empat BUMN itu.



Demi Kesejahteraan Rakyat

Wakil Ketua Pansus RUU BJPS Surya Chandra Surapaty, mengatakan UU ini pada akhirnya membentuk badan yang bertujuan untuk menyelenggarakan jaminan sosial dan melindungi seluruh warga negara dari lahir hingga meninggal dunia dari ancaman kehidupan seperti sakit, kecelakaan kerja, hari tua, dan dana pensiun.

"Agar kita tetap bermartabat, tidak jatuh miskin begitu menderita sakit," cetus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini.

Menurut dia, ini adalah fungsi negara bisa melindungi seluruh rakyatnya, tidak cukup melalui jaminan sosial seperti Jamsostek.

"Tidak cukup hanya dengan Jamsostek saja, karena bentuknya yang persero. Jika untung, maka diserahkan pada pemerintah. Namun jika rugi, maka pesertanya yang menanggung kerugian," jelas Surya.

Dia menjelaskan biaya program-program asuransi sosial ditanggung bersama di antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Iuran untuk pekerja sektor formal dan pemberi kerjanya ditentukan sebesar persentase tertentu dari upah mereka. Biaya tersebut ditanggung bersama antara pemberi kerja dan para pekerja.

"Untuk dana pensiun `sharing` antara pemberi kerja dan pekerja. Sedangkan jaminan kesehatan maupun kecelakaan kerja sepenuhnya tanggung jawab pemberi kerja," jelas dia.

Sedangkan untuk pekerja informal yang mampu diwajibkan membayar iuran sedangkan bagi yang tergolong miskin dibayarkan pemerintah.

Surya menilai munculnya penolakan ini dikarenakan belum samanya persepsi antara buruh dan DPR. Menurut dia, jika RUU ini disahkan maka akan ada jangka waktu untuk uji publik.

"Maka itu harus disamakan dan harus disosialisasikan. Karena jika tidak sama maka muncul penolakan," sebut Surya.

Politisi asal Sumatera Selatan ini juga menjelaskan dana jaminan sosial ini juga bisa digunakan pemerintah jika terjadi krisis, seperti yang dilakukan Malaysia pada krisis ekonomi pada 1998.

"Hingga kini, negara belum melindungi rakyatya. Pengesahan UU ini demi kepentingan rakyat juga," tegas dia.

Jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warganegaranya memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sesuai dengan isi deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952. Sistem jaminan sosial ini, berkembang di Eropa sejak diperkenalkan Kanselir Jerman, Otto von Bismarck, yang mengembangkan struktur dasar asuransi sosial yang dikelola oleh negara. Kemudian di Amerika Serikat dimulai pada pemerintahan Presiden Rosevelt pada 1935.

Berdasarkan data DPR, saat ini hanya 24 juta penduduk yang terlindungi jaminan sosial oleh empat BUMN itu. Selanjutnya 70 juta jiwa lainnya terdaftar sebagai penerima jaminan kesehatan masyarakat. Kemudian 164 juta jiwa sisanya tanpa perlindungan negara.***4***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar