Senin, 17 Oktober 2011

Bemo Disayang Bemo Dibuang


Deru mesin kendaraan saling berpacu memecah keheningan di perempatan Grogol, Jakarta Barat, Rabu siang. Matahari bersinar terik. Beberapa pejalan kaki yang tengah menyeberang terengah-engah setengah berlari menghindar dari serbuan kendaraan yang berdatangan.

Berjalan sedikit ke arah Jalan Prof Dr Latumeten terdapat puluhan bemo, parkir sejajar di pinggir jalan. Kendaraan roda tiga yang pernah menguasai jalan ibu kota ini terlihat tua dan lusuh, dengan cat yang mengelupas dan karat di hampir setiap bagian.

Para penumpang mulai berdatangan dan duduk teratur di dalam kendaraan asal Jepang itu. Sementara tak jauh dari bemo, sejumlah lelaki memenuhi sebuah warung. Ada yang menghirup kopi tetapi tak sedikit juga yang memandang lurus ke jalan raya yang dijejali kendaraan.



Mereka sebagian besar sopir bemo yang tengah menunggu penumpang. Perempatan itu menjadi pangkalan bemo-bemo yang akan membawa penumpang ke sejumlah tujuan. Bemo merah untuk jurusan Grogol- Duta Mas, bemo kuning untuk jurusan Grogol- Fajar dan bemo biru untuk jurusan Grogol- Pedana.

Para pengemudi bemo itu sudah berpuluh-puluh tahun mencari nafkah di kawasan yang terkenal padat penduduk itu. Bahkan ada yang menjadi sopir bemo dari generasi ke generasi.

Sekarang, bemo bekas bisa dibeli dengan harga Rp5 juta. Kendala utama yang dihadapi para sopir adalah suku cadang karena tidak diproduksi lagi oleh pabriknya. Bemo di Jakarta masih mampu bertahan hingga kini berkat bengkel-bengkel di Indonesia mampu membuat suku cadang tiruannya.

"Maaf ye mba, ada maksud apa datang ke sini," tanya seorang perempuan berdialek Betawi memecah kerumunan.

ANTARA yang tengah bercakap dengan sejumlah sopir bemo tersontak kaget. Perempuan itu memperkenalkan diri bernama Mumu. Walaupun perempuan, Mumu bukan sembarangan. Di kalangan sopir bemo, dirinya cukup dihargai.

Mumu menjadi ketua semacam perkumpulan pengemudi bemo di kawasan Grogol. Mumu sudah mengurus para sopir bemo sejak 26 tahun yang lalu.

Mumu tidak terlalu menanggapi ketika ANTARA menerangkan maksud kedatangan. Dia mengaku sudah bosan dengan kedatangan para wartawan. Mulailah dia menyebut beberapa wartawan surat kabar terkenal, radio bahkan televisi pernah mewawancarai dirinya perihal keberadaan bemo.

"Tapi kenyataannya apa, bemo tetap saja digaruk (dirazia, red)," keluh ibu dua anak ini.

Dia menerangkan di kawasan itu sudah 61 bemo yang dibawa oleh Dinas Perhubungan untuk dimusnahkan sejak 2008. Mumu ingat benar, pertama kali sejumlah bemo diangkut pada Agustus 2008 dan terakhir Januari 2010.

Tak terhitung sudah berapa kali aksi demo yang dilakukan para sopir menentang kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu.

"Kami bukannya tidak mau mengikuti peraturan. Kalau memang mau musnahkan, tolong beri solusi. Jangan main garuk aja," ujar Mumu.

Dia mengatakan jika bemo-bemo diangkut, bagaimana para sopir bisa memberi makan anak dan istri mereka. Menurut perempuan berkulit sawo matang ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan, namun tidak memberi solusi.

"Tolong bilangin ama pemerintah mba, kasih jalan keluarnya," ujarnya.

Selama ini, kata dia, Dinas Perhubungan enggan untuk duduk satu meja untuk menyelesaikan persoalan yang sudah ada sejak bertahun-tahun lalu ini.

"Sebenarnya jalan keluarnya mudah, buka saja rute angkot untuk rute bemo ini. Tapi sayangnya, Dishub tak pernah mau membicarakannya dengan kita," katanya.

Razia bemo itu dilakukan Dinas Perhubungan karena pengoperasian angkutan lingkungan roda tiga itu dinilai ilegal, karena melanggar Instruksi Gubernur (In-gub) No 33 tahun 1996 tentang Peningkatan Pelayanan dari Angkutan Bemo menjadi Bus Kecil. Bemo dihapuskan karena dianggap sudah terlalu tua, tidak aman dan asapnya menyebabkan polusi. Bemo digantikan oleh mobil penumpang tanpa hidung berkapasitas mesin 1.300 cc.

Sejak keluarnya instruksi itu, jumlah bemo yang beredar di ibu kota semakin menciut. Dari angka 1.800 turun drastis menjadi 800 pada saat ini.



Bemo Sayang

Kata bemo berasal akronim dari becak motor. Kehadiran kendaraan bermoncong ini diperkenalkan di Jakarta oleh pemerintah Jepang sebagai bantuan kemanusiaan bencana alam pada 1962. Bemo dengan cepat masuk ke sejumlah kota yang ada di Tanah Air, karena praktis dan mampu menjangkau jalan-jalan yang sempit, dan dapat melaju jauh lebih cepat daripada becak.

Hampir satu dekade kemudian, Pemprov DKI meresmikannya sebagai moda angkutan pengganti becak. Sejak itu keran impor bemo dari pabrikan pembuatnya Daihatsu di Jepang mulai dibuka. Namun umur bemo dibatasi hanya seperempat abad.

Kendaraan roda tiga yang berbentuk unik dan lucu ini dengan mudah diterima masyarakat. Walaupun berada di dalam bemo terasa sempit. Hal ini mengingat di negeri asalnya, Jepang, bemo hanya dimanfatkan sebagai angkutan barang. Maka begitu dipasangkan tempat duduk, ruangan yang tersedia terasa sempit.

Bemo digunakan untuk mengangkut maksimal delapan penumpang. Bahkan saking populernya bemo, pelawak Warkop Wahyu Sardono alias Dono menyamakan dengan bentuk mukanya.

Bagaimana dengan sekarang? Di saat berbagai transportasi yang ditawarkan, bemo tetap mempunyai pelanggan setia. Masyarakat tetap memilih bemo sebagai moda transportasi karena murah dan menjangkau gang-gang sempit di ibu kota.

"Lebih murah dan langsung sampai di depan rumah," kata Ririn (15), siswi SMK Dewi Sartika, Jakarta Barat.

Ririn mengatakan dengan bemo, ia hanya cukup mengeluarkan kocek Rp2.000. Berbeda jika menggunakan ojek atau bajaj yang mencapai Rp10.000.

"Kalau angkot tidak masuk sampai ke dalam gang. Jalan kaki juga jauh, kan capek habis pulang sekolah," kata siswi kelas X ini.

Ungkapan serupa juga dilontarkan pengguna jasa bemo lainnya, Wahyu (23). Karyawan di salah satu perusahaan swasta ini mengatakan masyarakat masih membutuhkan bemo karena aksesnya yang bisa masuk hingga ke gang sempit.

"Mengapa masyarakat masih memilih bemo? Karena ongkosnya yang murah," kata Wahyu yang mengeluarkan uang Rp2.500 untuk ongkos bemo ke rumahnya di Jelambar.

Wahyu sangat menyayangkan jika bemo tidak boleh lagi beroperasi. Menurut dia, bentuk bemo yang unik bisa dijadikan daya tarik wisatawan untuk datang ke ibu kota.

Seorang sopir bemo, Wardi (65), mengatakan, masyarakat Jakarta masih membutuhkan kehadiran bemo.

"Kalau bajaj atau ojek ongkosnya kemahalan, mending mereka naik bemo," kata lelaki yang menjadi sopir bemo sejak 26 tahun yang lalu ini.

Untuk ongkos penumpang bemo ini, kata Wardi, disepakati Rp2.500. Namun bagi anak sekolah diberikan harga khusus Rp2.000.

"Anak-anak orang kaya yang sekolah di dekat sini juga memilih naik bemo ketimbang bawa mobil. Jadi intinya masyarakat masih membutuhkan bemo," ujar Wardi lagi.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, mengatakan, bemo yang beroperasi saat ini ilegal, karena izinnya sudah dibekukan 15 tahun lalu. Namun sayangnya, penertiban yang dilakukan oleh Dishub selalu terkendala karena para sopir bemo itu dibekingi oleh preman.

"Kita terus berupaya agar bemo bisa secepatnya dihapuskan," kata Udar.

Penertiban bemo telah berlangsung sejak 1996. Pada saat itu telah didata sebanyak 1.096 izin bemo dibekukan untuk dilakukan peremajaan dengan angkutan pengganti bemo (APB). Namun angkutan itu kembali marak terutama di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh angkutan umum lainnya.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh para supir bemo untuk kembali beroperasi di Jakarta. Jumlah bemo yang beredar di Jakarta terus melonjak hingga 1.144 armada. Dengan rincian Jakarta Pusat sebanyak 276 armada. Jakarta Utara (398), Jakarta Timur (258), Jakarta Barat (42), dan Jakarta Selatan (179).

Meskipun telah lama dilarang, mereka tetap saja nekad beroperasi karena memang masih dibutuhkan, dengan risiko terkena razia, dan lantas dibuang. ***4***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar