Selasa, 05 Juli 2011

Ketika Cinta Bicara

Untuk sahabatku Febryanti Sahara


Ketika Cinta Bicara


  Masih setengah tak percaya, aku menyaksikan pemandangan di depanku. Sepasang kekasih yang bersanding di pelaminan. Si perempuan tampil menawan dengan mengenakan baju kebaya coklat muda. Sesekali ia tersenyum sumringah ke pengunjung yang hadir. Sedangkan pasangannya, lelaki muda tegap, memeluknya dengan penuh kehangatan. Seakan tak peduli dengan puluhan pasang mata yang menatap iri dengan adegan itu.
  Aku masih tertegun, sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat. Ketika temanku, Retno, mengajakku untuk melangkah jauh ke dalam. Dengan perlahan, aku mencoba menggerakkan kedua kakiku. Tetap saja, ada perasaan yang aku tak mengerti apa itu. Aku seperti bermimpi saja rasanya.

  Yah, pasangan itu adalah sahabatku Febryanti Sahara dan suaminya Mudji Budi Santoso. Mereka baru saja resmi menjadi sebagai sepasang suami istri.
  Febryanti atau aku biasanya memanggil dengan sebutan Ebi merupakan sahabatku sejak kuliah di jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aku kenal dirinya, sejak ospek jurusan sekitar September 2004. Dia lulusan sekolah menengah favorit di Tangerang. Jadi cukup mencengangkan, ketika dirinya memutuskan kulian di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang tergolong baru.

  Hampir setiap pagi aku, Ebi dan Intan berangkat kuliah bersama. Kebetulan kosan kami berada tak jauh dengan Ebi. Aku pun tidak tahu pasti apa yang menyebabkan hubungan kami bertiga menjadi dekat, yang pasti kami selalu mengerjakan tugas ataupun bolos dari kuliah bareng.
  Sampai suatu ketika, seorang senior bertanya apakah kami berasal dari sekolah yang sama? tentu saja tidak. Aku dari sekolah menengah di kabupaten Tangerang sedangkan Intan dan Ebi berasal dari kota Tangerang. Pastinya kami tidak saling kenal.
   Saking dekatnya, kami sampai membuat grup yang bernama Forum Cewek Gombal (FCG). Sebuah perkumpulan yang berasal dari kegemaran kami menggunakan kata-kata merayu terutama pada kaum lelaki.
  Saban Jumat, Ebi selalu pulang ke rumah orang tuanya di Kotabumi, Tangerang. Mengambil jatah uang saku untuk satu pekan ke depan atau pun perbaikan gizi selagi di rumah. Tapi Ebi adalah Ebi, dia selalu punya agenda lain selain mengambil uang saku dan perbaikan gizi. Jadwal pulang, setiap akhir pekan selalu digunakan untuk bertemu dengan Mudji Budi Santoso alias Budi.
  Budi tak lain adalah tetangganya. Mereka sudah kenal sejak Ebi duduk di sekolah menengah pertama. Awalnya hanya saling pandang, kemudian berubah menjadi saling mengagumi.Dan hingga mereka memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.
  Ketika Ebi duduk di bangku kuliah, Budi bekerja di salah satu pabrik dekat rumahnya. Meski sudah bekerja, Budi masih kerap nongkrong bersama teman-temannya. Hal ini kurang disenangi oleh Ebi. Tapi Ebi selalu senang, kalau Budi datang ke Cilegon menemuinya.
  Awalnya, aku pesimis dengan hubungan mereka karena pada mulanya orang tua Ebi kurang setuju dengan hubungan mereka. Apalagi hubungan itu selalu dipenuhi dengan pertengkaran. Bahkan karena hal sepele, seperti datang telat ketika hendak kencan.
  Mereka pun sering putus dan kemudian bersama kembali. Bahkan hubungan mereka penuh drama. Aku ingat benar, suatu ketika Ebi ingin berpisah dari Budi. Alasan pastinya aku tidak tahu. Tapi saat itu, Ebi benar-benar ingin pisah. Tapi Budi tak bisa menerima, bahkan berencana ingin bunuh diri jika Ebi meninggalkannya. Menurut Budi, berpisah dari Ebi sama saja dengan kehilangan separuh jiwanya. Entahlah, terdengar sedikit melankolis memang. Tapi itulah cinta...
  Hubungan mereka tetap bertahan, walaupun diterjang ombak dan badai kehidupan. Hingga kemudian, kekerasan hati orangtua pun mampu diluluhkan oleh cinta mereka.
  Aku jadi terkenang akan kisah Plato, seorang filsuf Yunani. Begini kisahnya.

Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?
  Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta"
  Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
  Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"
  Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)"
  "Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"
  Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"
  Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
  Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
  Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar / subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
  Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?"
  Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya"
  Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan"
  Ya, cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Ketika cinta semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan.
  Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan.
  Tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.
  Perkawinan adalah kelanjutan dari cinta. Proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya. Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia2lah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu, karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

  Aku melangkah tegap. Ini bukan mimpi. Ini pernikahan Ebi, sahabatku. Ketika cinta sudah berbicara, semua kekuatan seakan menjadi lemah. Tak ada yang tidak mungkin, semua bisa terjadi atas nama cinta. Selamat menikah Ebi, semoga berbahagia selalu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar