Ratusan remaja tanggung menjejali lapangan basket Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Beragam ekspresi tergambar.
Ada yang tertawa bersama teman sejawat. Tersenyum simpul melihat lawan jenis ataupun diam, karena tak satu pun yang dikenal. Hanya ada beberapa wajah yang ku kenal seperti temanku di sekolah menengah Abdul Muis, selebihnya asing.
Hingga kemudian, lelaki bertubuh bongsor memecah suasana. Dengan suara baritonnya, ia seakan memberikan shock therapy. Apalagi dengan nada suara menekan yang membuat ciut nyali yang mendengarnya.
Aku masih ingat, itu merupakan awal pertemuan kita. Tepatnya, pembagian kelompok untuk ospek fakultas. Salah satu kegiatan bodoh tapi wajib untuk diikuti.
Berbagai macam permintaan dilontarkan senior mulai tutup frestea yang berjumlah 30 (kalau tidak salah), kaos kaki bola, pita warna-warni hingga foto bersama.
Aku satu kelompok dengan Frans Budiman Suhud, Al Kausar, Aldin A M, Ahmad S, Tejo W, Intan, Yan Ferdian dan Gunawan. Ingatanku buruk akan nama-nama. Seingatku hanya mereka.
Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda. Frans berasal dari Sukabumi, Ahmad S atau Dede dari Riau dan lainnya Jakarta.
Dari situ awal kedekatan kita, tepatnya aku, Frans, Kausar, Aldin, Dede, Tejo dan Intan. Mulai dari mencari perlengkapan ospek bersama bahkan mengakali permintaan senior dengan biaya seminim mungkin.
Perlu diingat, kita hanya membeli coklat Ayam Jago seharga Rp250. Padahal saat itu, yang diminta adalah coklat Ratu Perak atau Silver Queen. Atau masih ingat, ketika kita berjalan kaki sepanjang jalan Cilegon mencari tutup botol Frestea. Bahkan ketika ibunya Intan membelikan kami jeruk, senang bukan kepalang.
Belakangan muncul Ebi dan Rusdi. Mungkin karena jiwa muda yang suka hura-hura. Bayangkan kita memilih liburan ke pantai, dibandingkan belajar. Padahal besoknya adalah Ujian Tengah Semester (UTS) Kalkulus.
Aneh memang. Semester awal adalah masa-masa kedekatan kami. Nonton hemat di bioskop setiap Senin sore, makan malam bersama ataupun jalan-jalan keliling Cilegon. Menyenangkan...
Memasuki semester kedua, kita mulai renggang. Mulai sibuk dengan dunia masing-masing. Aku menjalin kasih dengan kakak tingkat, dan itu menyita waktuku. Sedangkan yang lain, sibuk kuliah dan bermain.
Hingga pada suatu hari, Frans, mengatakan dia cuti karena harus bekerja. Dia pun cuti dan tak pernah kembali.
Kemudian pada lebaran tahun kedua, nasib sama menimpa Dede. Dia mengatakan akan pulang ke kampung halamannya di Bengkalis ketika lebaran. Karena uang saku yang minim, ia pun memilih pulang dengan bus. Itu pun dengan cara menumpang dan baru kemudian menyambung dengan kapal ro-ro ke kampungnya. Lebaran berlalu, ia tak pernah kembali lagi ke kampus.
Memasuki tahun selanjutnya, satu per satu mulai menghilang. Aldin sibuk dengan aktifitasnya, entah itu di organisasi, ngelayap, ataupun tidur di kosan.
Begitu juga dengan Tejo, yang semakin menunjukkan kiprahnya di kampus. Sedangkan Kausar, perlahan menghilang dari kampus. Walaupun kadang-kadang dirinya muncul.
Tejo mengatakan kalau itu menunjukkan, kalau Kausar atau Ucal sudah menemukan komunitasnya di Jakarta.
Ebi memilih sibuk bergelut dengan mata kuliah. Sedangkan Intan sama sepertiku, sibuk memadu kasih dan mulai jarang di kampus. Semuanya sudah mempunyai kehidupan masing-masing.
Hari berganti hari, bulan berganti tahun bahkan tahun pun berganti. Pada tahun keempat, aku memutuskan aku harus mengakhiri pendidikan di kampus. Sama seperti Ebi, aku menyelesaikan pendidikan sarjana tepat empat tahun.
Lebih dulu dibanding Tejo, Kausar, Aldin dan Intan. Aku memutuskan cepat-cepat keluar, karena tidak tahan dengan biaya hidup yang terus merangkak naik. Belakangan, aku menyesal mengapa terlalu cepat keluar.
Tejo terus berjuang menyelesaikan skripsinya. Dengan segala daya upaya, mencoba menghadapi kebijakan jurusan yang berubah drastis. Hingga akhirnya, ia pun menyelesaikannya pada semester ke sebelas. Itu pun, setelah dia sempat jenuh dari skripsi dan kemudian memutuskan untuk menuntaskannya.
Sedangkan Aldin maupun Kausar semakin terbenam dengan kesibukannya. Kausar menikmati dunia kerjanya dan Aldin sibuk dengan masa muda yang riang.
Sekarang....
Ebi sudah melepas masa lajangnya akhir pekan lalu. Intan dan Tejo tengah menikmati masa-masa kerjanya. Sedangkan aku, kembali lagi ke ibu kota untuk sebuah pelatihan.
Aldin, Kausar...
Ini sudah memasuki akhir tahun ketujuh. Suka atau tidak, kamu harus menuntaskannya. Mau tidak mau, kamu harus belajar lagi dan mengetik bab demi bab lembaran skripsi.
Semacam bentuk pertanggungjawaban atas rupiah demi rupiah yang dikeluarkan orangtuamu, yang diganjar dengan titel Sarjana Teknik (ST) dibelakang namamu. Omong kosong memang, toh pada akhirnya gelar ini hanya formalitas belaka.
Inilah saatnya, kamu harus mengakhiri masa-masa keemasan di kampus. Kamu harus mengakhiri apa yang dimulai tujuh tahun lalu. Masa-masa saat kita pertama bersua.
Berat memang. Berjuang ketika sebagian teman sudah tak terlihat lagi di permukaan. Kamu berpikir seakan berjuang sendirian.
Tapi percayalah kami (aku dan lainnya) selalu mendukung kalian, walau raga tak lagi berada di kota kenangan itu. Teruslah berjuang, untuk mengakhiri apa yang sudah kamu mulai.
Teruslah berjuang...
Hingga pada masanya nanti, kita akan bertemu kembali atas nama reuni...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar