Memasuki pertengahan tahun, wajah perpolitikan di negeri Lancang Kuning semakin sulit dimengerti. Kemunafikan dan kerakusan semakin terlihat.
Mulai dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pilkada ulang kota Pekanbaru. Hingga penunjukan mantan Bupati Bengkalis, Syamsurizal, sebagai Plt wali kota Pekanbaru.
Banyak yang bersorak, tapi tak sedikit yang putus asa. Semakin apatis terhadap reformasi di negeri itu.
Keputusan MK itu menyentil sisi humanis masyarakat yang tersinggung dengan keputusan itu. Seakan suara mereka tak pernah didengar oleh lembaga konstitusi tertinggi di negeri ini. Tapi siapa yang peduli? Toh, kemenangan hanya milik penguasa.
Dengan demikian hasil keputusan KPU yang menetapkan pasangan Firdaus-Ayat dibatalkan. Pilkada diulang kembali, dengan dua pasangan Firdaus-Ayat dan Septina Primawati Rusli (yang tak lain adalah istri gubernur)- Erizal Muluk.
Kemudian, pada Senin (18/7), terjadi dua peristiwa politik penting. Dua peristiwa politik penting terjadi kemarin di Kota Pekanbaru.
Wali Kota Pekanbaru Herman Abdullah yang berakhir masa jabatannya, digantikan oleh Syamsurizal. Siapa yang tak kenal dengan Syamsurizal. Bekas bupati Bengkalis, yang merupakan tangan kanan Gubernur Riau, Rusli Zainal.
Rusli tak pernah bisa melepaskan Syamsurizal. Orang kepercayaan, yang selalu berada di dekatnya kemanapun dia pergi.
Tak menjabat lagi sebagai bupati, Rusli mengangkatnya sebagai kepala inspektorat. Heran, keputusan ini seakan menunjukkan tak ada orang yang berkualitas di negeri itu. Bukan syak wasangka, tapi tentulah ada maksud semua ini.
Di hari sama, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pekanbaru Yusri Munaf dipecat karena pelanggaran kode etik.
Padahal, siapa yang tak kenal dengan Yusri Munaf. Ia terkenal akan komitmen yang kuat untuk melaksanakan Pilkada jujur dan adil.
Saya ingat betul, pada pemilu 2009. Salah seorang caleg membawa uang ratusan juta, hanya ingin dirinya ditetapkan sebagai anggota DPRD dari partainya. Saat itu, sang caleg hanya selisih puluhan angka dengan saingannya tersebut.
Tapi Yusri adalah Yusri. Ia bersama rekannya, menolak godaan ratusan juta tersebut.
Ah, betapa kekuasaan menggelapkan mata. Kekuasaan yang mematikan nurani.
Gubernur sangat ingin sekali mendudukkan istrinya sebagai wali kota. Tak jadi soal, berapa biaya yang dikeluarkan. Toh, itu menggunakan uang rakyat yang diambil dari satker dan proyek-proyek.
Merekayasa semuanya, sehingga lawan tak berkutik. Saya harus diakui, kalau gubernur saya yang ramah senyum itu piawai dalam berpolitik.
Dan pers? tak bisa apa-apa. Diam seribu bahasa. Semua berita bisa dibeli. Siapa yang dibeli? ya itu para penguasa.
Bodohnya lagi, para insan pers yang dibanggakan itu mau. Menerima lembaran rupiah yang tak seberapa. Mengharap dekat dengan kekuasaan bakal menambah pundi-pundi.
Ada juga yang tidak. Tapi itu tak seberapa. Tak ada bukti, semua hanya bisa menggerutu dalam hati.
Otonomi yang digaungkan pada awal reformasi hanya omong kosong. Malah menciptakan raja-raja kecil di tiap daerah, yang mau disembah dan mentitah.
Mengutip Pramoedya dalam Anak Semua Bangsa.
Tapi jabatan- dia segala dan semua bagi pribumi bahkan petani dan bukan tukang. Harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, tapi jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan di dalamnya juga ada kehormatan, kebenaran, harga diri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, menfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali.
Masih adakah harapan? Entahlah....kasihan rakyat
entah lah terkadang saya bingung dengan arti politik ... mungkin saya menganggapnya berpolitik indonesia lebih hina darri b*bi dan ##jing!
BalasHapusItulah Kekuasaan......
BalasHapusizin copast....
@abayamin : setuju gan..
BalasHapus@subrata : sile..sile...
politik oh politik
BalasHapus