Jumat, 15 Juli 2011

Ulang-Ulang Poteh, Si Mujarab Yang Ditinggalkan

"Aku bersujud pada Allah berpedoman pada Nabi...Aku berwujud pada Allah bergantung pada Nabi."
    Lantunan syair khas Melayu Riau disenandungkan tak henti-hentinya oleh seorang lelaki berpakaian hitam-hitam. Memecah kesunyian malam di Pekanbaru pada akhir Juli lalu. Bau kemenyan semerbak ke udara bercampur dengan hawa sejuk malam itu.

         Mengenakan ikat kepala kuning, lelaki tersebut menutup bagian belakang tubuhnya dengan kain putih. Lelaki yang akrab disapa Bomo atau dukun besar tersebut memutar kepalanya dari ke kiri dan ke kanan. Sepuluh orang asisten yang berada di belakangnya sibuk meramuk racikan, tanda dimulainya pengobatan ala Sakai.

         Sakai merupakan salah satu suku asli Riau yang hidup di pedalaman Riau. Sakai mempunyai pengobatan pengobatan tradisional yang dinamakan "Ulang-Ulang Poteh" atau yang berarti elang putih.

         Menurut M Darus E (55), sang Bomo, Ulang-Ulang Poteh digunakan untuk pengobatan keteguran makhluk halus.

         "Semua jin dan manusia merupakan milik yang Maha Kuasa. Jadi semuanya diserahkan kembali kepada-Nya," ujar Darus yang merupakan salah satu Bomo terpandang di Desa Mandi Angin, Kecamatan Minas, Siak, Riau.

         Untuk melakukan ritual ini, memerlukan beberapa persyaratan yang dinamakan "Longkap Pakaro Tujuh" atau lengkap perkara tujuh. Tujuh yang dimaksud di sini adalah beberapa bahan seperti tujuh jenis kayu, tujuh jenis burung, tujuh buah tudung, tujuh tutup kepala maupun tujuh jenis jeruk.

         "Contoh saja limau seperti kasturi, limau biasa, nipis, purut, limau manis, limau pagar dan limau ketuih. Tak lengkap satu limau, tak bisa diobati," kata dia.

         Ritual ketika sang Bomo mulai membuka pelapah pinang dari tampuknya. Dan mempersiapkan beberapa syarat berobat seperti puan saleh atau bunga jengkol, mayang atau pelepah pinang, limau yang diiris jadi tujuh dan dimasukkan ke dalam air sulung atau air dari yang murni dari langit dan belum tersentuh sejak pagi.

         Irisan itu oleh Bomo memasukkan ke dalam piring yang berisi air sulung atau air yang belum disentuh sejak pagi buta. Tak lupa kemenyan, yang sudah dibakar sejak awal prosesi pengobatan.

         Setelah semua peralatan dipersiapkan, baru si pasien dipersilahkan duduk di sebuah kursi yang dipersiapkan. Kursi itu, dinamakan kursi pemandian dan terbuat dari rotan.

         "Sekurangnya satu jam waktu yang diperlukan untuk pengobatan ini," kata dia.

         Baru setelah pasien didudukkan, Bomo pun mulai beraksi. Diasapinya sekujur tubuh pasien dengan kemenyan, kemudian dipoleh dengan pelepah pinang.

         Kata Darus, jika si pasien adalah orang biasa, maka poleh yang dilakukan dari atas ke bawah. Sedangkan jika pasien tersebut seorang Bomo atau yang memiliki ilmu gaib, maka poleh dilakukan dari bawah ke atas.

         "Agar ilmu yang dipunyai orang tersebut tidak hilang. Jadi dipoleh dari bawah ke atas. Kalau dari atas ke bawah, maka ilmunya turun dan hilang," jelas dia.

         Usai dilakukan pemolehan, Darus mengelilingi pasien yang kemudian diikuti asistennya. Ajaibnya, badan asisten tersebut berkali-kali bergetar. Dan kemudian, disadarkan ketika mencium bau kemenyan.

         Pengobatan ini diakhiri Bomo dengan memegang panah yang ujung anaknya ditancapkan lilin dari sarang madu asli dan menembakkan ke beberapa sudut.

         "Kami meminta disembuhkan kepada Maha Kuasa melalui Soli. Soli merupakan guru besar suku Sakai yang hidup turun menurun di alam gaib," jelas Bomo Darus.

         Soli, lanjut dia, hidup di Kuala Gasit yang terdapat di Siak, dan Kuala Mandau, Duri, Bengkalis.

         Menurut kepercayaan Sakai, Soli di Kuala Gasit dan Mandau sebagai perantara, yang akan menyampaikan permintaan sukunya kepada yang Maha Kuasa.

         Darus yang sudah 40 tahun menjadi Bomo ini, mengatakan tak sembarang orang bisa melakukan ritual pengobatan ini.

         "Salah-salah, akan berbalik pada Bomo yang melakukannya," kata Darus.

         Selain berkewajiban menyembuhkan warga sukunya. Menjadi Bomo juga mempunyai keharusan untuk mewariskannya kepada anak-cucunya. Terlebih jika anak-cucu tersebut menuntut agar ilmu tersebut diwarisi.

         Darus menceritakan, dulu hampir seluruh warga Sakai berobat dengan menggunakan Ulang-Ulang Poteh. Namun seiring perkembangan waktu, Ulang-Ulang Poteh mulai ditinggalkan.  Masyarakat, lanjut Darus, sudah berpikiran realistis.

         "Sekarang banyak yang tak mempercayainya, akibatnya Bomo yang ada mulai berkurang. Dulu, gampang sekali mencari Bomo, sekarang hanya sisa segini," kata Darus sambil memperlihatkan jari-jarinya yang kurus.

         Lagipula, lanjut Darus, menjadi Bomo mempunyai kendala lainnya.

         "Sekarang, mencari syarat untuk obat sudah mulai susah. Hutan yang biasa dijadikan tempat untuk mencari semua persyaratan sudah mulai hilang. Berganti dengan pohon akasia," jelas Darus.

         Akasia, lanjut dia, tidak ada dalam kamus pengobatan suku Sakai. Ia hanya khawatir suatu saat, Ulang-Ulang Poteh tak hanya ditinggalkan, tetapi juga punah.

          Suku Sakai dari hari kian terjepit oleh izin yang diberikan pemerintah kepada sejumlah perusahaan kertas maupun pertambangan. Sakai tak hanya hidup di Minas, Siak tetapi menyebar di Duri dan Bengkalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar