Kamis, 14 Juli 2011

Photography Clinic, Man Behind The Gun




  If your pictures aren't good enough, you're not close enough - Robert Capa



  Dua pekan belakangan ini, siswa Susdape XVI memiliki semangat baru. Seperti baterei telepon seluler yang dicharge kembali.
  Ada energi dan semangat baru. Setelah hampir dua bulan hanya berada di kelas yang kerjanya hanya mendengarkan dan mendengarkan.
  Yah, mulai awal Juli lalu, kami belajar tentang fotografi. Instrukturnya, tak jauh-jauh. Para fotografer yang bekerja di Antara Foto.
  Ada Pak Hermanus, Mas Maha Eka Swasta, Mas Prasetyo, Mas Himawan, Bang Ismar Paritzki, Mas Saptono dan Mas Andhika Wahyu.
  Belajar fotografi, seakan membuat adrenalin terpacu. Penasaran akan hal-hal baru. Termotivasi untuk mendapatkan gambar-gambar unik dan bagus.
  Buatku sendiri, ini sangat membantu. Punya kamera digital, tapi tidak bisa mengoperasikan (selalu saja auto). Tak mengerti apa itu diafragma, kecepatan dan iso.

  Awalnya, aku mengira teorinya akan membosankan. Ternyata tidak. Instruktur memberikan contoh sederhana untuk memahami istilah.
  Mas Andhika, mengatakan diafragma adalah bukaan dari kamera tersebut. Ia menganologikan sama seperti mata kita ketika melihat telunjuk yang berdiri.   Jadi, ketika kita mata fokus pada telunjuk, maka bayangan yang dibelakang menjadi blur atau samar. Begitu juga dengan diafragma, ketika menginginkan fokus pada satu objek, maka menggunakan diafragma yang bukaannya besar misal 2,8 atau 3,5.
  Sedangkan untuk fokus pada keseluruhan maka menggunakan diafragma kecil misalnya  diatas 12.
  Begitu juga dengan kecepatan atau speed. Speed tinggi digunakan untuk membekukan atau freeze objek yang bergerak. Sehingga bisa terlihat objek yang semula bergerak menjadi diam.
  Kecepatan sedang digunakan untuk objek yang bergerak dan tidak bergerak sehingga terlihat jelas. Istilahnya moving.
  Sedangkan kecepatan rendah digunakan untuk objek yang bergerak sehingga terlihat jelas. Istilahnya panning.
  Pak Hermanus menekankan pentingnya mengukur cahaya. Hal ini sangat penting, bahkan fotografer sekelas James Nachtwey pun masih menggunakannya.
  Dia mengisahkan ketika itu, terjadi kerusuhan di depan sekolah Santa Ursula, Jakarta Pusat pada 1998. Dia datang duluan, sebagai fotografer muda, dia langsung jepret sana-sini.
  Begitu kerusuhan selesai, James Nachtwey datang. Dia tidak langsung jepret sana sini, tapi mengeluarkan lightmeter (pengukur cahaya) baru jepret.
  "Hasilnya, luar biasa. Jauh dibandingkan saya. Jadi jangan sepelekan urusan cahaya," imbuh dia.
  Selain itu, mas Maha Eka Swasta atau yang akrab disapa dengan Mekos memperkenalkan dengan istilah EDFAT yakni:

-ENTIRE (E) . Dikenal juga sebagai established shot, suatu keseluruhan pemotretan yang dilakukan begitu melihat
suatu suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain untuk mengintai bagian-bagian untuk dipilih sebagai objek.

-DETAIL (D). Suatu pilihan atas bagian tertentu dari keseluruhan pandangan terdahulu (entire), tahap ini
adalah suatu pilihan pengambilan keputusan atas sesuatu yang dinilai tepat sebagai “point of interest”nya.

-FRAME (F). Suatu tahap dimana kita membingkai suatu detil yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang
calon foto jurnalis mengenal arti komposisi, pola, tekstur dan subjek pemotretan dengan akurat. Rasa artistik
semakin penting dalam tahap ini.

-ANGLE (A). Tahap dimana sudut pandang menjadi dominan, memotret dari ketinggian, bawah, sejajar.

-TIME (T). Tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara difragma dan kecepatan. Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih ruang tajam adalah salah satu persyaratan yang sangat diperlukan.

  Tak hanya sampai disitu, para instruktur juga tak pelit memberikan ilmu. Seperti mas Saptono, yang terkenal sebagai fotografer daerah konflik.
  Awalnya, aku tak mengira. Pasalnya, mas Saptono orangnya tidak berbadan besar seperti bang Oscar Matuloh. Kecil malah untuk ukuran cowok.
  Tapi pengalamannya luar biasa. Dia satu-satunya fotografer pertama yang masuk Kandarah, tempat dimana TKI dan TKW tidur di kolong jembatan di Arab Saudi.
  Dia juga yang bertahun-tahun meliput daerah konflik seperti Aceh, Sampit, Poso dan Timtim.
  Wow...aku merasa tak percaya. Dengan pengalaman sedemikian hebat, dia sangat rendah hati. Berpakaiannya juga biasa-biasa saja. Tidak berlebihan dan tak pernah sesumbar. Berbeda dengan instruktur tulis yang sombong minta ampun, padahal hanya sekali meliput daerah konflik. Benar kata orang, padi yang berisi itu semakin menunduk, bukan jumawa.
  Nah, dari sekian teori yang diberikan. Ada satu pertanyaan yang mengganjal dihatiku.
  "Apakah dengan kamera saku bisa mendapatkan hasil yang maksimal?" tanyaku.
  Mau tau jawabannya seperti apa?

  "Bisa. Kamera saku sekalipun bisa mendapatkan hasil maksimal. Kecuali untuk foto olahraga, karena kita mengambil fotonya hanya dipinggir lapangan. Jadi diperlukan kamera yang sepadan," kata mas Prasetyo.
  Hampir senada dengan mas Prasetyo, mas Andhika juga menjawab bisa. Asalkan mengerti tentang teknik pengambilan manual.
  "Kamera canggih sekalipun kalau tidak bisa menggunakannya juga percuma. Yang paling penting adalah penggunanya. Man behind the gun," tukas dia.
  Wow...
  Ternyata selama ini aku salah. Terlalu berpatokan pada kamera. Padahal kamera canggih pun diberikan akan percuma jika tak mengerti.
  Sama dengan humas kementrian yang punya kamera canggih hanya untuk jepret acara seremoni.
  Saatnya jepret...jepret...

Pedagang uang kuno di Pasar Baru, Jakarta/Indriani.

Kapal Sentosa Jaya di Pelabuhan Sunda Kelapa
gereja katedral/ indriani
Pantulan Gereja Katedral dari kaca mobil/Indriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar