Kamis, 19 Mei 2011
Si Gagap
Bagaimana jika seorang gagap menjadi raja? Untuk hal sepele, semacam berkomunikasi saja ia sulit. Apalagi mendapatkan kepercayaan sebagai raja.
Liburan selama empat hari di pertengahan Mei, saya habiskan dengan menonton film. Salah satunya yakni The King Speech. Bercerita tentang Raja George VI, si gagap yang mau tak mau harus menerima tahta.
Film yang di angkat dari kisah nyata ini memang tersaji dalam tampilan yang tidak membosankan. Cerita yang unik, gambar yang segar membawa para penonton dalam rasa lucu yang berubah menjadi haru.
Awalnya ketika mendengar seorang pemimpin berbicara gagap memang terasa lucu, tapi setelah penterjemahan cerita membawa penonton menelusuri sebuah pilihan hidup yang menjadi sulit karena gagapnya seorang pemimpin maka keadaan menjadi haru dan sangat menyentuh hati.
Adegan awal film dibuka dengan penampilan Pangeran Albert (diperankan Colin Firth), yang merupakan putra kedua dari Raja George V, dalam menyampaikan pidato yang di temani oleh istrinya Elizaberth (Helena Bonham Carter) di Stadion Wembley, 1925. Yang ternyata meresahkan ribuan rakyat yang mendengarkan pidato itu.
Pidato gagap yang terasa tidak meyakinkan itu terasa sangat lucu dalam kesedihan. Begitu aneh bukan seorang Pangeran yang merupakan calon Raja berpidato di depan ribuan orang dalam kondisi berbicara gagap!
Kegagalan pidato itu membuat sang Pangeran mencoba untuk mencari solusi agar dia bisa berbicara layaknya orang normal. Banyak dokter ditemuinya untuk menjalani terapi tapi hasilnya selalu nihil hingga rasa putus asa pun datang dalam dirinya.
Sang istri yang perihatin terhadap nasib yang ditimpa oleh suaminya itu pergi menemui Lionel Logue (Geoffrey Rush) yang ternyata ahli dalam terapi bicara. Pertemuan pertama pun memiliki kesan yang sangat unik, dimana Lionel ingin pertemuan itu dilakukan di rumahnya, dan ketika mereka bertemu Lionel meminta agar mereka saling sapa dengan nama mereka yang sebenarnya merupakan sebuah pelanggaran terhadap etika kerajaan.
Terapi pertama yang dilakukan oleh Lionel adalah meyakinkan Albert untuk membaca sebuah Hamlet. Jelas saja Albert yang merasa sebagai seorang yang terpandang tidak mau melakukannya hingga taruhan pun terjadi. Albert membaca dalam keadaan gagap dan berhenti dengan rasa putus asa.
Tapi Logue melanjutkan terapi itu dengan menyuruh Albert untuk mendengarkan sebuah musik dari sebuah piringan hitam dimana musik yang nyaring membuat Albert tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Suara Albert direkam dalam piringan hitam dan ketika Logue ingin memutarnya Albert menolaknya. Piringan hitam di berikan kepada Albert dan Albert pulang lagi-lagi dengan rasa putus asa.
Singkat cerita Albert memutar piringan tadi setelah sang Ayah menjelaskan bahwa pentingnya sebuah pidato untuk penyiaran kepada masyarakat. Semua bagaikan sebuah keajaiban dimana dalam rekaman itu Albert sedikit pun tidak gagap ketika membaca. Dia lancar seperti orang normal. Karena kemajuan yang tidak terduga itu akhirnya Albert kembali menemui Logue dan mulai menjalankan terapi selanjutnya.
Kedekatan mereka yang sudah seperti teman dekat membuat Albert akhirnya bercerita banyak kisah kehidupan kecilnya di kerajaan yang kebanyakan tidak pernah di ketahui oleh publik, cerita yang di sampaikan oleh Albert ternyata menjadi latar belakang mengapa dia bisa berbicara tergagap-gagap.
Pada tanggal 20 januari1936 George V meninggal dunia. tahta Raja pun jatuh ke pada Edward kakak dari Albert. Akan tetapi Edward memiliki keinginan untuk menikah dengan Wallis Simpson, seorang janda Amerika yang pernah bercerai dua kali.
Hal itu memicu krisis konstitusional.
Karena Edward memilih untuk menikahi Wallis maka tahta kerajaannya pun di berikan kepada Albert. Bagi Albert hal itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan, dimana dia hampir putus asa karena gagapnya yang membuat dia tidak bisa berpidato di depan umum. Hingga keluhan bahwa dia tidak pantas menadi seorang raja di karenakan gagap pun keluar dari mulunya sendiri.
Saat adegan itu rasa miris hati sangat kental, emosi yang begitu kuat ditunjukkan dengan sangat bagus.
Ketika keterpurukan itu semakin menjadi, Logue pun membantunya untuk bisa berpidato, walau sebelumnya ada konflik yang terjadi di antara mereka bedua yang menyebabkan persahabatan mereka retak.
Cerita ini terasa sangat singkat, padahal jarang sekali film drama yang padat dengan dialog terasa cepat berlalu, padahal durasi film ini tergolong cukup lama.
Penampilan Colin Firth sebagai Albert memang sangat cerdas, bicara gagapnya sangat terasa nyata dan berkesan tidak di buat-buat. Ekspresi emosi yang sering meledak-ledak juga sering bermunculan di dalam film ini.
Menampilkan sifat pantang menyerah dengan tekat yang berawal dari sebuah kewajiban yang menjadikan dirinya sebuah tanggungjawab besar yang patut dicontoh.
Bercerita soal gagap, saya juga mengalaminya. Sewaktu kecil, saya sempat mengalami trauma. Sama seperti Albert atau George semasa kecil, yang dibenci pengasuhnya.
Aku dibenci oleh ibu dan keluarganya. Wajah aku terlalu mirip Bapak, dan Ibu langsung merasa depresi setiap melihat wajahku. Mungkin perceraian adalah sesuatu yang sulit untuk diingat.
Pernah diseret sepanjang jalan oleh Ibu di jalanan beraspal ketika matahari sedang teriknya. Di pukul berkali-kali ketika aku salah. Dipaksa mengangkut beban kayu bakar diatas pundak. Padahal aku masih berumur 3 tahun. Ibu lebih sayang sama adikku. Hingga akhir hayatnya.
Karena tumbuh ditengah kebencian, aku jadi gagap. Beruntung aku langsung diasuh kakak bapakku yang kemudian hari ku panggil emak. Menyayangiku dengan sepenuh hati hingga gagapku pun hilang.
Lucunya ketika di sekolah guru selalu menganggap aku makan permen, ketika aku sulit untuk berkata. Apalagi ketika gugup, gagapku langsung timbul. Terakhir aku rasakan ketika duduk di kelas 3 SMP. Terimakasih Tuhan...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar