Kamis, 19 Mei 2011

Mengilir, Membayar Utang Setiap Tahun

                                           "Hidup nak jaya, mati nak sempurna.
                                            Josiah nak panjang, buang sekalian bala. 
                                            Hanung mukmin seselang, 
       Ampuni dosa dan piala, nan tepebuat di dunia.
       Karena tangan menjangkau, dan mulut berbicara."
 

   Petatah-petitih permintaan pengampunan dalam dialek Talang Mamak tersebut keluar lancar dari mulut lelaki muda berkopiah.

        Hari itu adalah perayaan Idul Adha Rabu (18/11) malam.  Patih Majuan (23), pria muda itu, mengenakan kemeja kotak-kota dan bersarung, sementara mulutnya berbicara, tangannya menyembah Tuk Tumenggung yang duduk di atas sofa.

        Sementara rekannya sibuk membakar kemenyan dan membawa ayam dan persembahan lainnya.

        Patih Majuan (23), baru saja diangkat menjadi pemimpin adat tertinggi masyarakat Talang Mamak yang hidup di pedalaman Indragiri Hulu. Ia menggantikan Patih Gading, dua bulan lalu.

        Ia tengah melakukan kegiatan mengilir yang rutin dilakukan dua kali dalam setahun. Setelah menyembah, sambil beringsut ia mundur dan kemudian menyerahkan hewan ternak dan hasil bumi pada Tuk Tumenggung.

        Kemudian diikuti para Batin (setingkat kepala desa) Talang Mamak yakni Batin Talang Gedabu, Talang Parit, Talang Perigi, Talang Durian Cacar, Talang Sei Limau dan penghulu Anak Talang.

        Setelah melakukan sembah selama tiga kali, kemudian para Mangku (wakil dari Batin) melakukan persembahan. Hingga akhirnya Tuk Tumenggung berbicara dan menerima persembahannya.  Setelah tradisi "mengilir" itu selesai, rombongan melanjutkan acara itu dengan makan bersama.

        Mengilir dalam bahasa Melayu Riau mempunyai arti berjalan ke hilir. Bagi masyarakat Talang Mamak mengilir tak hanya mempunyai arti berjalan ke hilir tetapi juga menyembah raja untuk membayar utang.

        Ini dilakukan dua kali dalam setahun yakni pada perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Puncak perayaan tersebut dilakukan pada Idul Adha.

        Masyarakat Talang Mamak dikenal sebagai masyarakat darat dan dua hari sebelum hari raya tiba, Patih, Batin dan Mangku berjalan ke hilir menuju pusat kerajaan Indragiri di Rengat.

        Para petinggi adat Talang Mamak datang ke Rengat dengan membawa hasil bumi berupa padi dan sayur-mayur serta hewan ternak berupa ayam dan kambing yang dipersembahkan kepada raja Indragiri.

        Patih Talang Mamak, Majuan, mengatakan hasil bumi dan hewan ternak tersebut merupakan utang yang harus dilunasi. Sama halnya dengan zakat dalam Islam, hasil bawaan tersebut dikumpulkan di rumah raja dan nantinya raja yang memberikan kepada masyarakat miskin yang terdapat di wilayah sekitar.

        Menurut Patih Majuan, utang tersebut harus dibayarkan dua kali dalam setahun. Selain membayar utang, mengilir juga bertujuan untuk memohon keselamatan kepada raja agar panen pada masa yang akan datang berhasil.

        Jika kegiatan ini tak dilakukan, masyarakat Talang Mamak percaya keselamatan tidak ada padanya pada tahun mendatang.

        "Seperti petatah petitih lainnya yakni ke atas ndak bepucuk ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang artinya tidak akan selamat hidup, apapun yang dilakukan tidak berhasil," jelas dia.

        Menyadari hal tersebut, masyarakat Talang Mamak berusaha untuk tidak melepaskan tradisi itu setiap tahunnya. Walaupun diakuinya, saat ini masyarakat adat Talang Mamak tidak lagi sekompak dulu.

        "Biasanya perayaan ini dilakukan di Istana jika Tuan Sultan dan Raja Muda ada. Namun jika beliau tidak ada, maka perayaan dilakukan di tempat lain. Karena masyarakat biasa tidak diperkenankan duduk diatas kain kuning yang diperuntukkan Sultan dan Raja.

        Tahun ini,tradisi mengilir tidak dilakukan di Istana Indragiri yang terletak di Danau Raja, Rengat. Hal ini karena keturunan raja Indragiri atau biasa disebut Tuan Sultan Tengku Arif berada di Jakarta.

        Sementara Raja Muda Thamsir Rahman yang ditunjuk sebagai perwakilan Tengku Arif tidak menunjukkan batang hidungnya lagi. Terutama sejak kasus korupsi yang menyangkut mantan Bupati Indragiri Hulu tersebut mencuat ke permukaan.

        Begitu juga dengan Tuk Mendehara Mangkubumi yang mengundurkan diri empat tahun lalu. "Jadi untuk tahun ini, acara mengilir dipusatkan di rumah Tuk Tumenggung yang mempunyai nama asli E Ali Syafrizal di Rengat."
   "Begitu juga acara makan-makan usai menyembah, jika ada Tuan Sultan dan Raja maka namanya menjunjung dulih. Tetapi karena hanya ada Tuk Tumenggung, maka makan-makan ini disebut dengan kenduri," lanjutnya.

        Usai kenduri baru dilanjutkan dengan salam-salaman atau maaf-memaafkan seperti layaknya umat muslim usai Shalat Idul Adha.

        Majuan mengatakan memang rumah ibadat Talang Mamak adalah rumah sultan, raja atau tumenggung.

        Baru kemudian, patih, para batin dan mangku bersiap untuk pulang untuk merayakan hari raya bersama keluarga.

        Menurut Batin Talang Parit, Irasan, ini merupakan resiko seorang patih, batin atau mangku yang tidak akan pernah merayakan hari raya bersama keluarganya.

        "Bahkan saya belum pernah melihat anak saya yang baru lahir pada Selasa (17/11) kemarin," jelas dia.

        Mereka percaya bala akan datang, jika tradisi tersebut tidak dilaksanakan.

        "Ini memang sudah tradisi kami sejak zaman dahulu kala, apapun resikonya maka kami akan melaksanakannya," jelas Irasan.

        Tuk Tumenggung E Ali Syafrizal mengatakan ia sudah melakukan tradisi ini sejak diangkat menjadi tumenggung empat tahun yang lalu. Ia bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan masyarakat Talang Mamak sebagai pengganti Tuan Sultan dan Raja Muda.

        "Memang adatnya seperti itu, mau tidak mau harus diikuti. Walaupun saya saat ini Sultan, Raja Muda maupun Tumenggung sudah memeluk Islam," jelasnya.

        Ia mengharapkan tradisi ini patut dilestarikan karena merupakan peninggalan budaya. Terutama perlunya perhatian dari pemerintah setempat akan kebudayaan Talang Mamak ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar