Aku berdiri di tengah, diantara 20 pasang mata yang memandangku. Mereka menatapku dengan penuh keyakinan. Akupun begitu, menatap optimis mereka.
Terkadang bergerak kesana kemari, memenuhi sudut ruangan. Berbicara panjang lebar, tentang jurnalistik, tentang hidup atau tentang apa saja yang membuat mereka berminat.
Tak jarang, mereka mengacungkan tangan. Mengeluarkan apa yang ada di kepala mereka. Mereka siswa Kursus Dasar Pewarta (Susdape) XXV sangat kritis. Aku bangga pada mereka.
Yah, aku berada di gedung Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA). Menjadi salah seorang staf pengajar di sekolah jurnalistik tersebut.
Padahal 20 tahun lalu aku satu diantara mereka. Duduk di kursi yang sama dan belajar yang sama pula.
Selama 20 tahun pula, aku telah kaya akan pengalaman. Tidak terlalu kaya sebenarnya. Tapi cukuplah untuk dibagi.
Sebelumnya, aku hanya pewarta. Tertarih-tatih membangun karir mulai dari nol. Bukan kerabat dari siapa-siapa atau anak siapa. Aku berjuang dengan diriku sendiri.
Aku sadar, bahwa diriku ditakdirkan sebagai pejuang. Sedari kecil, sudah berjuang mempertahankan hidup, berjualan kesana kemari. Ataupun menjadi pekerja serabutan demi membiayai kuliah. Perjuangan yang tak kenal lelah, walaupun terkadang membuat letih.
Sebagai pewarta,aku terus berjuang. Memperjuangkan hak masyarakat yang terbelengu. Banyak ketidakadilan di negeri kaya Sumber Daya Alam (SDA) dan masalah ini. Hak masyarakat yang tercerabut dari tanahnya sendiri. Permainan kotor para politikus hingga korupsi yang merajalela mulai dari kelurahan, pemerintah daerah hingga pemerintah provinsi.
Aku mengelilingi negeri. Mulai dari Eropa hingga Amerika. Ditugaskan oleh kantor berita, tempatku bekerja baik sebagai pewarta atau kepala biro.
Aku melihat peradaban manusia modern di Eropa, kelaparan dan perang saudara di Afrika, kearifan timur di Asia maupun manusia bekas buangan yang berlindung dibalik demokrasi dan HAM di Amerika dan Australia.
Namun diriku selalu merindukan tanah airku, Indonesia. Negeri kaya tempat diriku dilahirkan dan dibesarkan. Aku akan merasa bersalah jika tidak berbuat apa-apa.
Mengabdi, menjadi pilihan yang tepat diantara semua pilihan. Mencurahkan perhatian pada pendidikan anak Bangsa dan menjadi pengajar di tempat yang membesarkan diriku. Walaupun banyak menawarkan untuk terjun ke politik praktis, sama seperti senior-senior lainnya.
Suamiku pun mendukungku. Ia lelaki yang tak banyak bicara. Walau terkadang protes, jika aku terlalu sering dinas luar.
Dia bekerja di salah satu pembangkit listrik yang menerangi gelapnya malam kota. Sama seperti diriku, ia juga seorang pejuang. Ia mencapai puncak karir, diusia genap 40. Aku bangga padanya dan aku juga selalu mendukungnya.
Sementara dua anakku, Fadil dan Sasa, duduk dikelas 1 SMA dan 2 SMP. Mereka anak yang membanggakan, ilmu agama yang kubekali sejak kecil membentuk akhlak mereka. Di sekolah pun, ia mendapatkan prestasi yang membanggakan. Aku tak pernah memaksa mereka untuk berhasil tapi selalu mendorong mereka untuk terus mencoba. Aku bangga pada mereka.
Ada hal-hal yang tak bisa aku kendalikan seperti keriput yang sudah mulai tampak di wajahku. Gerakan yang tak segesit dulu lagi, dan yang pasti aku harus minum susu kalsium setiap harinya.
Susu yang rasanya tidak enak itu, kata dokter bisa mencegah osteophorosis, ataupun arthitisphorosis. Sama-sama penyakit yang disebabkan kekurangan kalsium pada tulang.
Tubuhku juga sudah melar, beda ketika masih menjadi siswa Susdape XVI dulu. Banyak yang bilang, karena keenakan jadi jurnalis. Kadang benar juga, karena setiap hari selalu ada saja undangan makan.
Aku juga semakin takut menantang bahaya. Benar kata orang, semakin tua, semakin hilang keberanian.hahaha
Terimakasih ya Alloh, atas semua rahmat yang diberikan. Sesuatu yang hanya angan-angan, yang mungkin sulit tercapai bagi anak kampung. Terimakasih emak, emak terhebat sedunia, yang terus mendorongku untuk terus maju.
"Tok...tok...tok"
Terdengar ketukan berirama dari pintu kamar kosku. Aku beranjak dari tempat tidurku, rupanya si Ida, teman susdape yang mengajakku berangkat ke kampus.
Akh, ternyata semua yang diatas hanya imajinasiku saja. Tepatnya tugas yang diberikan oleh Direktur Utama LKBN ANTARA, Ahmad Mukhlis Yusuf sehari sebelumnya.
"The real voyage of discovery not seeking a new land, but in having new eyes," ujarnya mengutip Marcel Proust.
Jadi, dirimu tak perlu seperti Columbus yang menemukan benua, Amerika baru disebut sebuah penemuan. Tapi penemuan abad ini, ya itu melihat sesuatu dengan cara yang berbeda dan bagaimana menjalaninya. Dirimu dimasa depan, tergantung hari ini.
Pada awalnya diriku, atau mungkin juga Ida, berat pindah ke Jakarta untuk pendidikan. Menurutku, Jakarta tidak memanusiakan manusia dan tentu saja macet.
Paparan lelaki matang berusia 44 tahun itu, menggugah diriku dan Ida. Aku mulai melihat dari perspektif berbeda.
Salah satunya banyak lelaki tampan ataupun nyeleneh, yang nongkrong di cafe Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Kenikmatan baru bagi para perantau atau tepatnya perempuan lajang yang mendekati umur seperempat abad.
Di cafe yang banyak foto-foto itu juga ada tulisan Carpe Diem, atau kalimat lengkapnya Carpe Diem Quam Minimum Credula Postero, yang artinya petiklah hari ini dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok.
Aku percaya, bahwa hidup itu adalah hari ini dan bagaimana menjalaninya. Bukan kemarin ataupun esok.
Aku tersenyum,mengambil tas, mematikan lampu dan kemudian mengunci pintu kamar. Berjalan dengan riang gembira, menyapa warga disekitarnya dan sesampai di kampus akan bertemu dengan perempuan cantik bernama Maria Andriana.
Dia adalah manajer LPJA, bertindak sebagai guru juga. Bicaranya lemah lembut,khas perempuan Jawa. Dia sudah keliling dunia. Perempuan hebat, sama dengan kepala biroku di Riau, Evy Ratnawati.
Beda dengan diriku, mungkin mereka, kartini modern yang menginspirasiku mengapa dimasa depan aku akan kembali ke kelas ini.
Masa depanku tergantung apa yang dilakukan hari ini. Melakukan yang terbaik. Dan tentu saja, aku dan Ida akan kembali nongkrong di cafe GFJA. Melihat keindahan dari sisi yang berbeda...hehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar