Minggu, 13 November 2011

Dwi

  Rasanya aneh...sungguh-sungguh aneh. Setelah sekian lama tak bersua, akhirnya aku kembali bertemu dengan sahabatku. Ya, Dwi. Nama lengkapnya Dwi Puspitasari. Sekarang namanya agak lebih panjang karena ditambah titel, menjadi Dwi Puspitasari Amd Keb alias Ahli Madya Kebidanan.
  Semuanya berawal, ketika Om Tatam mengirim pesan singkat padaku. Om Tatam adalah adik ibu tiriku. Kira-kira isinya begini "Indri, kamu dimana? ada undangan dari Dwi di rumah, mau diantar kemana?". Aku sungguh-sungguh terkejut membaca sms itu.
  Kenangan membawaku kembali ke masa silam. Tujuh tahun yang lalu. Ketika aku duduk di bangku SMA dan tinggal bersama Om Tatam di Meruya Selatan. Aku tak mempunyai teman dan baru pertama kali hidup di ibu kota. Aku memutuskan bergaul dengan lingkungan sekitar. Orang-orang mengenal aku sebagai keponakan Pak Haji, nama lain Om Tatam.
  Aku mulai mengenal anak-anak tetangga yang sepantaran denganku. Mulai dari Mariana, Dwi, Riki, Marpuah, hingga Slamet. aku cukup dekat dengan Mariana dan Dwi. Aku sering main bersama mereka usai pulang sekolah atau mereka yang menyambangiku ketika aku menunggu wartel milik om.
  Kalau aku dan Mariana pergi sekolah dengan menggunakan angkutan  umum, Dwi menggunakan motor. Sekolahnya tak jauh dari rumahnya, tepatnya di Joglo.Maklum, orang tua Dwi tergolong mampu. Orang tuanya walaupun pedagang jamu dan bakso namun dengan kegigihannya mampu bertahan di Jakarta. Bahkan memiliki banyak kontrakan.

  Aku ingat betul kalau dua sahabatku itu punya kebiasaan unik. Mariana, suka bernyanyi ketika berada di jalan dan kemudian berteriak memanggilku. Berbeda dengan Dwi yang sering duduk-duduk bersama adiknya di lantai dua rumahnya.
  Bersama Dwi, aku sering belajar bersama untuk menghadapi Ujian Nasional. Walaupun kami beda jurusan, aku IPA sedangkan dia IPS. Hingga kemudian, selesai UN dan kami pun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
  Terakhir aku bertemu dengan Dwi, adalah ketika mengantarkannya ke sekolah kebidanan yang ada di Cibubur. Sejak pagi, kami berangkat dan mencari-cari dimana letak sekolah itu. aku masih ingat betul, ketika itu terjadi kecelakaan kecil. Motor kami disenggol hingga jatuh. Ada luka kecil di kaki Dwi.
  Dwi ingin melanjutkan sekolah di kebidanan, persis seperti keinginan orang tuanya.Sedangkan aku, harus mengubur semua impian untuk menjadi bidan maupun dokter karena biayanya yang tinggi. Bayangkan, ketika itu untuk masuk sekolah kebidanan harus mengeluarkan uang minimal Rp10 juta. Uang darimana? Bapak hanya sopir truk yang tidak jelas penghasilannya. Hingga kemudian, aku memilih Universitas Sultan Ageng Tirtayasa karena pertimbangan beasiswa.
  Sejak itu, aku tidak mendengar kabarnya lagi. aku juga jarang main ke rumah Om Tatam. Jika pun main, Dwi tidak ada di rumah karena dia harus tinggal di asrama.
  Ada beberapa kali aku kirim pesan singkat, menanyakan kabarnya. Dwi membalas dan mengatakan semuanya berjalan baik dan sesuai rencana. aku tidak pernah tahu siapa pacarnya. Terakhir Dwi pacaran dengan Slamet, tukang ketoprak yang kemudian menjadi pegawai Bank Mandiri.
  Sampai akhirnya undangan berwarna putih yang dibalut pita biru (warna keakungan aku) itu sampai ke tangan aku. Di halaman depan, ada inisial nama "Dwi dan Bima". aku buka, ada foto Dwi bersama Bima dalam berbagai gaya. Samar-samar, aku ingat siapa lelaki itu. Lelaki yang mengontrak di depan rumah Om, bersama dua temannya.
  aku masih penasaran. Baru, ketika Pak Giman, ayah Dwi membenarkannya. Pak Giman sekarang terlihat lebih tua, walau perutnya masih buncit seperti dulu. Kerut-kerut semakin terlihat di wajahnya. Begitu juga Bu Sri, ibu Dwi yang semakin terlihat tua. Ah, waktu mengubah segalanya.
  Mereka memberi tahu aku, jika Dwi akan menikah Senin (14/11) mendatang. Kemudian dilanjutkan resepsi pada Minggu (20/11). Ah Dwi, aku masih tak percaya kamu akan menikah. Masih terekam dalam ingatanku kita bermain bersama, kini kamu akan menikah. Ah (sekali lagi), begitu cepatnya waktu, begitu lambatnya aku.

*Kamar kosku yang berantakan,Pintu Air, 12/11/11

1 komentar:

  1. wah terharu saya membaca paragraf demi paragraf ini mengingatkan sahabat yang menghilang begitu saja cuma gara2 wanita tapi saya bersyukur punya sahabat baru di berbagai penjuru ... saya nantikan cerita lainnya ...

    BalasHapus