Sabtu, 26 November 2011

Hitam Putih Energi Jakarta

     Perlu energi besar untuk bisa bertahan di kota yang bernama Jakarta. Sebuah kota dengan segudang masalah mulai dari kemacetan, banjir hingga tingginya angka kriminalitas. Tak hanya energi yang dibutuhkan, tetapi juga optimisme untuk tetap menjalani hari-hari di kota besar itu.
     Setidaknya itulah yang ditangkap pelukis Aisul Yanto dan menuangkannya ke dalam kanvas. Hasilnya, sebuah lukisan abstrak hitam putih yang penuh dengan totolan melingkar yang diformasikan dalam bentuk lengkung yang dipamerkan di Taman Ismail Marzuki mulai 4-13 November.

     Pelukis kelahiran Sidoarjo 53 tahun silam ini melukis energi yang menjadi kekuatan makhluk hidup untuk tetap bertahan di bumi, pada suatu titik yang berputar. Dalam lukisan yang berjudul Energi Kehidupan, pengunjung akan menyaksikan bagaimana lengkung-lengkung hitam terpilin dalam latar putih yang seolah membentuk pusaran hitam putih. Aisul menampilkan energi sebagai gerak sambung-menyambung antara hitam dan putih.
    Dia juga terbukti mampu mengubah Jakarta yang penuh warna menjadi hitam putih. Kenapa hitam putih? Menurut Aisul, dengan melukis hitam putih secara pribadi akan menemukan kejujuran, kesederhanaan dan satu kekuatan di dalammnya.
     "Jujur mengeksperikan nilai-nilai kepurbaan secara utuh. Tanpa dibebani dengan nilai-nilai visua yang genit dengan berbagai tendensi dan kepentingan," ujar ayah dua puteri ini.
     Dia mengatakan dengan hitam putih pula, dia bisa menyampaikan gagasan dan ide dalam media yang praktis serta sederhana. Dimana dalam hitam putih, kata dia pula, dituntut pencapaian setara dengan nilai pada banyak warna yang mencakup seribu satu gradasi dan unsur artistik lainnya.
    "Bagaimana pun dari dalam lukisan itu memancarkan kekuatan," kata Aisul lagi.
     Dalam pameran kedelapannya, dia menyuguhkan 40 karya lukisnya sepanjang 2005 hingga 2011. Mulai dari ukuran yang terkecil 50x50 milimeter hingga ukuran yang terbesar 2x2 meter. Pamerannya ini mempunyai tema yang berkelanjutan dari pameran yang sebelumnya.
     "Mengapa memilih energi Jakarta, karena memerlukan kekuatan dari dalam manusia untuk bisa mensiasati hidup di kota besar ini. Tidak mudah bertahan di kota yang penuh tekanan dan "crowded" ini," jelas dia.
     Sebagai seniman yang sudah menetap di Jakarta sejak 1986 lalu, Aisul mengaku tidak mudah hidup di kota itu. Untuk itu, sebagai seniman dia terus menuangkan kegelisahan yang ada dalam dirinya dan memvisualisasikannya ke dalam sebuah karya lukis.
     "Orang harus merasakan dulu, bagaimana pergulatan hidup di Jakarta baru bisa memaknai lukisan itu," kata dia lagi.
     Aisul mengaku melukiskan energi bukanlah perkara yang mudah. Dia menjelaskan terkadang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa menuangkannya menjadi satu karya lukis, namun tak jarang jua hanya butuh lima hari untuk menyelesaikan satu lukisan.
     "Pelukis juga selalu dituntut untuk selalu gelisah dan menuangkannya dalam kanvas," kata mantan Ketua Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA) ini.
     Aisul juga memberi kiat agar bisa bertahan di Jakarta adalah dengan selalu berpikir kreatif. Menurut dia, kreatifitas dan kemampuan memetakan persoalan, sangat diperlukan di tengah masyarakat yang berlaku hedonis seperti sekarang ini.

Kritik Sosial
     Seorang pengagum yang juga rekan Aisul, Idris Brandy mengatakan karya lukis yang dihasilkan Aisul merupakan kritik sosial kepada pemerintah. Idris menjelaskan Aisul menggambarkan berlikunya kehidupan di kota itu dari kacamata seorang seniman.
     "Aisul mengkritik situasi Jakarta yang sudah carut-marut.Misalnya saja urusan satu atau dua jam di kota ini, tetapi karena macet bisa membutuhkan waktu berjam-jam," kata Idris.
     Meski demikian, kata Idris, selalu ada optimisme untuk mengimbangi semua persoalan itu. Oleh karena itu tidak heran, orang yang bisa bertahan di ibu kota negara ini merupakan manusia yang tangguh.
    Sebagai pengagum karya lukis Aisul, ia mengaku lukisan yang dihasilkan memiliki kekuatan dan mampu mewakili energi yang ada di kota itu.
    Sementara itu, pengamat seni rupa Sri Warso mengatakan lukisan-lukisan Aisul sangat berdekatan ke arah yang berbau etnik atau setidaknya lebih pas jika dikomprehensikan dengan temuan seni di berbagai pulai di Pasific seperti yang dikatakan ahli antropoloh David Simmons dan Gerbrand.
    "Lukisan Aisul ini memiliki kecenderungan sama yaitu non representasional, non figuratif dan bersumber pada naluri kepurbaan," kata Sri Warso.
    Menurut Warso, Aisul menggambarkan secara riil tema energi lewat karya hitam putihnya. Dalam kehidupan seni modern yang sejaman, lanjut Sri, lukisan semacam ini bisa disaksikan melalui karya lukis karya Rudi Isbandi dan Sardono W Koesoema.
    Pada lukisan Rudi, kata Sri, warna secara absolut menjadi tumpuan garap yang melumurkan warna terbuat dari darah binatang buruan atau getah pohon. Sementara Sardono W Koesoema mengekspresikannya spontan berbentuk cipratan titik dan leleran garis.
    "Aisul secara sadar ingin mengeksplor kekuatan bawah sadarnya secara jujur dan utuh," jelas Sri.
    Melalui lukisan hitam putih "Energi Jakarta" ini, Sri mengharapkan lukisan yang sarat kritik sosial ini mampu menggugah para pemangku kepentingan untuk terus membenahi kota yang dicintai itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar