Sabtu, 26 November 2011

entahlah

  Perempuan itu kini bersedih. Di sudut ruangan ia termangu. Tak bisa berucap satu katapun. Mulutnya bungkam. Namun kedua bola matanya menyiratkan kesedihan. Sorot pias yang melambangkan air matanya telah jatuh ke hati.
  Perempuan itu sedih bukan kepalang. Tak banyak orang tau akan penyebabnya. Tidak puan ataupun tuan. Perempuan itu merana, bukan karena suaminya, yang pergi bersama perempuan lain. Ataupun anak-anaknya yang menempatkan dia pada ruang yang dihuni oleh dia kini.
  Dia marah pada waktu yang merampas semuanya. Merampas satu persatu orang yang dikasihi. Lelaki dia yang pergi, anak-anak yang berubah, hingga sahabat yang raib entah kemana.
  Dia sadar, sadar sesadarnya jika semua mata memandang dia aneh. Dia yang sebelumnya suka meracau, kini tak pernah lagi mampu berkata hingga berucap. Kawan-kawannya menatap aneh akan dirinya. Tapi siapa yang peduli. Itu pilihan, ucapnya dalam hati.
  Perempuan itu lebih memilih diam seribu bahasa dan mengamati apa yang terjadi di sekeliling. Tidak berucap sepatah kata pun. Dia merasa jengah.
  Dia juga muak dengan kawan-kawannya, yang membicarakan sesama di belakang. Namun mereka mampu menutupinya dengan muka manis di depan orang yang dibicarakan. Dia mual, ingin muntah, namun seketika keinginan itu ditahan. Dan cepat-cepat menutup mulutnya rapat-rapat.
  Oh ya, satu lagi dia juga muak dengan si anu yang juga bermuka dua. Dulu si anu memiliki hubungan cukup dekat dengan perempuan itu. Namun sejak perempuan itu memilih diam, si anu berubah menjadi ular yang mendesis dan menyebarkan bisa ke sekeliling.
  Perempuan itu hanya bisa bungkam. Dia tahu benar, jika dia tidak memiliki kekuatan satu pun. Bibirnya kering, kulit berkeriput layaknya kerupuk kulit, tubuhnya pun tak sebugar dulu kali. Dulu, jangan kau tanya, gunung apa yang tak didaki oleh perempuan itu. Sekarang, untuk menopang tubuhnya pun sulit.
  Dia ingin sekali berteriak, tapi begitu sampai di tenggorakan mulutnya langsung mengatup rapat. Kini, seribu ton beban berada di pundaknya. Oh, amang oi...betapa rindunya dia akan dekap amang. Oh, inang oi, betapa ia merindukan tertidur di pangkuan inang..
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar