Sabtu, 26 November 2011

Si Bundar Yang Menghipnotis

   Ada pemandangan tak biasa selama berlangsungnya pekan olahraga perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau yang dikenal dengan sebutan SEA Games XXVI ini. Terutama pada saat laga sepak bola Indonesia melawan negara lain. Mulai dari Singapura, Thailand, Malaysia hingga yang terakhir Vietnam.
   Pemandangan yang tak biasa juga terjadi pada laga Indonesia melawan Vietnam, Sabtu (19/11) malam. Dimana orang-orang yang biasa berlalu-lalang di stasiun atau terminal menghentikan langkah dan bergerombol memandangi kotak berwarna yang disebut televisi itu.
   Tukang ojek berhenti sejenak menawarkan jasanya dan memilih bergabung menonton aksi Titus Bonai dan kawan-kawan yang menjadi idola baru masyarakat Indonesia. Mereka berdiri, bergerombol bersama menatap layar kaca yang teronggok di atas rak yang biasa digunakan untuk berjualan.
   Sejenak mereka terlupa dengan kehidupan. Lupa dengan kerasnya hidup dan tingginya persaingan antara sesama tukang ojek. Sejenak melupakan dinginnya ubin stasiun bagi para tunawisma yang menghabiskan malam-malam dingin di stasiun. Atau bagi kaum urban yang bekerja di Jakarta, sejenak melupakan pulang cepat ke rumah dan memilih kereta terakhir.
   Di pinggir jalan pun demikian. Para pengguna jalan maupun pedagang asongan sejenak terhipnotis menatap sungguh-sungguh pada layar mungil televisi milik pedagang kaki lima. Tak ada yang bertanya satu sama lain, mereka seakan mafhum dengan kebersamaan yang tercipta.
   Pemandangan tak biasa juga, di bus-bus lintas kota yang biasa sunyi senyap berubah total menjadi hingar bingar. Lagi, lagi kotak berwarna yang tergantung di depan yang mencuri perhatian. Lincahnya liukan dan aksi-aksi Garuda Muda itu membuat mereka terlupa dengan kemacetan yang dialami. Mereka juga lupa dengan kekalahan Indonesia ketika berhadapan dengan Malaysia dua hari lampau.
   Sesekali terlontar ocehan, cemoohan, hingga pujian. Ocehan atau cemoohan kepada pemain Garuda muda yang gagal memanfaatkan peluang, hingga pada wasit yang dianggap berlaku tidak adil.
   "Wasit goblok," kata seorang penonton ketika wasit asal Korea Selatan yang memimpin pertandingan, Kim Jong Hyeok, menganggap aksi yang dilakukan pemain nomor delapan Vietnam,Nguyen Trong Huang , bukan sebuah pelanggaran.

   "Wasit bego," timpal penonton lainnya.
   Pujian pun terlontar begitu penyerang asal Papua Patrich Wanggai dengan liukannya melewati pemain Vietnam dan menjebol gawang Vietnam yang dijaga ketat Tran Buu Ngoc pada menit ke-60. Pujian juga terlontar ketika Titus Bonai juga berhasil menjebol gawang pada menit ke-89.
   "Udah bisa tenang nih, sekarang sudah bisa pulang ke rumah," kata seorang penonton lainnya yang mengaku bernama Asep, di stasiun Juanda, Sabtu malam.
    Asep mengaku deg-degan ketika kedudukan masih 1-0, terutama ketika pemain Vietnam dengan keagresivitasannya membawa bola mendekati gawang Indonesia. Namun dengan bertambahnya gol membuat tipis kemungkinan Vietnam menang melawan Indonesia.
    Pujian yang dialamatkan pada pemain muda Indonesia itu dalam sekejab berubah menjadi kecaman ketika Patrich Wanggai gagal memanfaatkan peluang pada menit-menit akhir.
    "Dalam sepakbola semua bisa terjadi dalam satu waktu. Detik ini pemain dipuji setengah mati, sedetik kemudian pemain juga dicaci maki," kata Yudi Setiawan, salah seorang karyawan swasta yang memilih pulang dengan kereta terakhir pada malam itu.
    Yudi mengatakan ada perbedaan yang berbeda ketika menonton bola bersama di luar dibandingkan sendiri di rumah. Menurut Yudi, nonton bareng lebih seru, bisa berteriak bersama-sama. Hal itu tidak akan terjadi di rumah, apalagi istrinya tidak mempunyai minat terhadap sepak bola.
   Apalagi, kata Yudi, tim yang bertanding adalah negara sendiri. Dimana atas nama satu Bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa , mereka (para penonton) membela tim yang sama. Tak peduli kaya ataupun miskin semua jadi padu menyaksikan bola bundar yang  diperebutkan itu.
   "Tak perlu ditanya dukung tim mana, pastinya Indonesia," kata Yudi bangga.
   Fenomena ini tak hanya terjadi di dunia. Di dunia maya pun khususnya di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter ramai diperbincangkan mengenai aksi pemain timnas. Para pemilik akun, secara serentak Kicauan maupun status terbarukan.
   Jika pemilik akunnya lelaki, ramai mereka menghujat pemain Vietnam yang dinilai kasar dan gol yang tercipta. Tapi jika perempuan, memilih berkomentar mengenai ketampanan wasitnya. Seperti pemilik akun Febryanti Sahara yang menulis di status Facebooknya "si unyu jd wasitnyaa...:D".
   Presiden Susilo Bambang Yudhoyono boleh saja mengatakan ini sebagai olahraga yang mempersatukan. Pejabat-pejabat tinggi menyebut hal ini sebagai nasionalisme. Namun bagi masyarakat golongan bawah seperti Edi Syaifulloh, tontonan ini hanya hiburan semata.   
   "Sepak bola itu kan olahraga rakyat, jadi kalau menonton bola seperti mendapat hiburan tersendiri," kata lelaki lulusan sekolah menengah pertama ini.
   Edi tak begitu paham akan makna nasionalisme. Dan Edi juga tak menggunakan kata itu untuk menjadi alasan untuk mendukung tim Indonesia. Semua baginya hiburan semata, sejenak melupakan rutinitasnya bergelut dengan sampah atas profesinya sebagai petugas kebersihan.
   Edi sangat bersyukur tim Indonesia bisa menang melawan Vietnam meski terseok-seok di menit awal. Lelaki berusia 45 tahun ini berharap Indonesia bisa menang melawan Malaysia di final nanti. Menurut Edi, ini saatnya Indonesia tampil sebagai juara.
   "Memang jarang sekali, Indonesia bisa menang. Tapi siapa tahu ada keajaiban," kata ayah dua orang puteri ini.
   Bagaimanapun, masyarakat patut memberi apresiasi pada Pelatih Timnas U-23, Rahmad Darmawan, yang berhasil membawa Garuda Muda ke final SEA Games kali ini. RD, sapaan akrab pelatih itu, membangkitkan mimpi masyarakat agar Garuda terus berjaya di angkasa dengan mengalahkan Singapura dan Thailand pada partai awal.
   Pelatih itu dengan tangan dinginnya dinilai berhasil membina bibit-bibit unggul sepak bola Tanah Air. Pujian pun mengalir deras pada mantan pelatih Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, dan Persija Jakarta itu.
   "Ini belum selesai, ini belum apa-apa. Kita belum menang melawan Malaysia. Saya mohon kepada media untuk tidak terlalu mengangkat tim ini," harap pelatih yang kerap mengenakan topi berinisialkan namanya itu usai mengalahkan Vietnam.
   Lain halnya ketika tim asuhannya kalah melawan Malaysia, RD meminta maaf karena gagal mewujudkan ekspektasi pencinta sepak bola di Tanah Air. Sepertinya RD benar-benar mafhum akan makna bola itu bundar, kadang berada di atas, kadang berada di bawah, tapi tak jarang jua lepas. Pelatih itu benar-benar paham, kadang mereka dipuji tapi tak jarang juga mereka dicaci.


(T.SDP-13/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar