Selasa, 16 Agustus 2011

Sehari Bersama Pius Pope

  Ada yang berbeda pada materi pelatihan Kursus Dasar Pewarta (Susdape) kali ini, Selasa . Kali ini pemateri yang dihadirkan adalah Pius Pope, pengajar pendidikan penyiaran di Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS). Awalnya, saya ogah-ogahan, karena materi ini sebelumnya sudah diberikan oleh Rinto Navis pada sesi televisi.
 Pius Pope datang terlambat setengah jam, dari jadwal seharusnya. Begitu datang, ia langsung otak-atik komputer. Perawakannya kecil, sebagian rambutnya mengalami penipisan. Usianya kemungkinan diatas 60-an (dia mengatakan datang ke Jakarta pada 1959 untuk kuliah).
  Pius bukan orang yang suka berbasa-basi. Ia langsung ke topik dan mengajar dengan sepenuh hati. Pertama-tama disuruh mengucapkan kata AAAaaaaaa...mulai dari nada tinggi hingga rendah. Saya yang setengah mengantuk, pun mengikutinya. AAaaaa....
  Dia mengatakan, untuk menjadi penyiar harus menggunakan suara rendah. Apa sebab?  karena penyiar membutuhkan hubungan emosional yang sangat dekat dengan pemirsanya. Jadi tidak perlu dengan menggunakan nada tinggi. Menurutnya cukup dengan suara rendah saja.
  Dalam pengucapannya pun, Pius mengatakan tidak sembarang ucap. Perlu bantuan tangan untuk mengatur tinggi rendahnya. Kata dia, tinggi rendah suara dapat diatur dengan menggunakan tangan. Semula, saya tidak percaya hal itu. Tapi setelah dipraktikan..Wow...
  Coba deh, anda angkat tangan tinggi-tinggi dan kemudian menurunkannya sembari mengucapkan kata AAAAA...maka secara otomatis, tinggi rendahnya suara yang dikeluarkan pun akan mengikutinya.
  Dia juga mengatakan bahwa tidak perlu belajar diafragma atau pernapasan perut. Kata dia, suara yang ada saat ini adalah suara yang paling indah. Hanya saja, perlu latihan untuk mencari nada yang sesuai.   
  Pius juga mengatakan kalau selama ini, kita terbelengu oleh basa-basi sehingga tidak berani mengeluarkan ekspresi. Dan anda tahu apa yang membelengu itu? sekolah ya sekolah yang membuat kita menjadi robot. Datang pagi, duduk, melipat tangan dan kemudian mengucapkan salam. 
   Selain meminta siswa untuk ekspresif, ia juga mengatakan jangan menganggap beban belajar ini. Kata Pius, anggap aja sebagai sebuah permainan verbal, tanpa beban. Dengan demikian, anda dapat mengekspresikan diri anda.
   Tapi tidak buat saya. Bagi saya, duduk di kelas selama sehari seakan duduk selama berbulan-bulan. Apalagi tiba giliran saya. Saya sudah menghapal dengan susah payah, tapi ketika diucapkan gagap saya yang sudah lama hilang pun datang kembali (baca Si Gagap) . Kembali saya sulit berkata-kata. 
  Dan anehnya, Pius seakan tidak bosan-bosan mengajari saya. Padahal, saya udah lelah, ditambah lagi teman-teman sudah lama menunggu. Bahkan dia tidak segan-segan memegang tangan saya sambil berkata "kamu bisa".
  Ini berat bagi saya. Bayangkan, saya merasa kembali ke masa 20 tahun yang lalu. Saat abang saya, mengajarkan saya membaca. Cuma bedanya, kalau dulu abang saya mengajarinya sambil marah-marah, tapi ini tidak.
  "Ayo, kamu pasti bisa," katanya.
  Saya terus berusaha, tak peduli keringat dingin mengucur deras di pundak saya. Sama seperti kisah saya stand up di depan kamera, saya pun berkali-kali mengulanginya. Bahkan, ketika akhirnya saya sukses mengucapkannya, dengan spontan teman-teman langsung bertepuk tangan. Rasanya, seperti menaklukan rubah ekor sembilan. Parah memang.
  Pius seakan punya banyak energi. Terus melatih. Bahkan tak segan marah-marah, kalau tidak ada yang memperhatikan. Dan lagi-lagi, selalu macet ketika tiba giliran saya. Padahal saya udah menghapalnya, tetapi ketika diucapkan selalu saja mandek.Sumpah, saya rasanya ingin lari saja kalau tiba giliran saya mengucapkannya.
  "Semua bisa, asalkan punya keinginan," kata dia memotivasi.
  Entahlah, yang pasti saya akan berusaha...Semangat
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar