Minggu, 17 April 2011

Menyuapi Gajah Dan Eksotisme Hutan Tropis TNTN

   Riau, sebuah provinsi yang terkenal akan kekayaan sumber daya alam (SDA), ternyata menyimpan potensi besar untuk dikembangkan menjadi salah satu tujuan wisata alam yang menarik.
        Ya, salah satunya di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang terletak di Kabupaten Pelalawan. TNTN ini memiliki potensi SDA cukup potensi untuk dikembangkan.
        Sejak diresmikan pada 19 Juli 2004 menjadi Tesso Nilo yang mempunyai luas 38.576 hektare, kalah dengan hingar bingar objek wisata lainnya di Indonesia.
        ANTARA bersama rekan media lainnya beserta supporter kehormatan WWF, Nadine Chandrawinata berkesempatan mengunjungi kawasan tersebut selama dua hari, Rabu (13/4) dan Kamis (14/4) lalu.
        Taman nasional yang diapit sungai Tesso dan Nilo ini berjarak sekitar 180 kilometer dari ibukota provinsi Riau, Pekanbaru. Perlu waktu sekitar empat jam perjalanan menuju kawasan tersebut.
        Perjalanan tidak mudah karena tidak akses transportasi. Lokasi tersebut dapat ditempuh dari Pekanbaru ke Simpang Ukui dengan menggunakan bus lintas Sumatera atau menggunakan travel.
        Sepanjang jalan lintas timur yang mulus, anda akan disuguhkan dengan pemandangan sawit milik sejumlah perusahaan dan masyarakat di daerah tersebut.
        Memang Riau, yang terkenal dengan kandungan minyak bumi di bawah tanah juga terkenal minyak di atas tanah yakni kelapa sawit. Pohon sawit di daerah itu bagaikan "putri Melayu" berbapung di terik matahari.


        Dari simpang Ukui bisa disambung dengan ojek. Jarak dari simpang ke lokasi TNTN sekitar 25,3 kilometer. Memasuki jalan ini, anda harus rela terombang-ambing karena jalan yang dilewati tanah dan berbatu.
   Harus dimaklumi, meski daerah ini terkenal minyak bawah dan atas tanah melimpah, namun masih ditemukan jalan bebatuan karena jalan ini merupakan salah satu koridor milik perusahaan sawit daerah tersebut.
        Kalau tidak ingin repot bisa menggunakan agen perjalanan yang menawarkan paket wisata lengkap. Anda tinggal memilih, mau repot atau menggunakan agen perjalanan.
        Menurut catatan, ada enam desa yang harus dilewati sebelum menuju lokasi yakni desa SP (Satuan Pemukiman) I, SP II, SP III,SP IV Air Hitam, dan Lubuk Kembang Bunga.
 
Banyak akasia
   Empat desa yang disebut SP ini merupakan perkampungan transmigran asal Jawa pada era 80-an. Sedangkan dua desa lainnya yakni Air Hitam dan Lubuk Kembang Bunga dihuni masyarakat Melayu Riau.
        Setelah melewati desa Lubuk Air Hitam, anda akan menjumpai kantor Balai TNTN. Perwakilan dari Kementerian Kehutanan. Memasuki kawasan TNTN ini akan disambut dengan pohon akasia di kanan kiri jalan.
        ANTARA sempat heran dan bingung, mengapa pohon akasia yang menjadi bahan baku industri bubur kertas bisa terdapat di kawasan tersebut.
        Menurut Humas WWF Indonesia Program Riau, kawasan ini sebelumnya merupakan daerah Hak Penguasaan Hutan (HPH) milik PT Riau Andalan Pulp and Paper. Tidak heran, jika kawasan ini masih banyak ditemukan tumbuhan Akasia.
        Warga masyarakat yang tidak mengenal kawasan ini, cukup sulit karena tidak adanya petunjuk arah. Jadi, masyarakat yang melintasi di kawasan ini perlu pengetahuan sebelum memasuki wilayah tersebut.
        Baru satu kilometer menjelang kawasan TNTN ada petunjuk arah yang menginformasikan kalau anda berada di TNTN. Gapura yang tertata apik bertuliskan Selamat Datang di Flying Squad menandakan anda sudah sampai di tempat tujuan.
        Begitu sampai, rombongan jurnalis dari sejumlah media disambut gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) Rahman, Ria, Teso dan Nela.
        Rahman merupakan gajah jantan Flying Squad (gajah jinak) yang berusia 32 tahun. Sedangkan Ria, gajah betina berumur 30 tahun, dan Teso dan Nela gajah berumur empat tahunan.
        Gajah-gajah yang ditunggangi Mahout (pawang gajah) langsung mengalungkan bunga kepada setiap pengunjung, dan langsung disuguhkan minuman selamat datang khas TNTN, yakni Es Madu Sialang.
        Madu sialang merupakan madu alami yang berasal dari lebah yang hidup di pohon Sialang. Madu ini diproses secara higienis oleh penduduk lokal.
  
Flying Squad
   Semua tamu yang datang hari itu diberikan minuman Es Madu Sialang tanpa kecuali. Minuman ini menjadi pelepas dahaga setelah empat jam perjalanan yang melelahkan.
        Di kawasan itu terdapat enam bangunan, kantor, dua guest house, aula, klinik gajah dan dua rumah mahout. Pengunjung yang datang ke TNTN akan menempati dua rumah guest house.
        Untuk penerangan di kala malam, pihak pengelola menyediakan genset. Berada di kawasan ini, berarti anda harus rela melepaskan hubungan dengan dunia luar, karena sulitnya mendapat sinyal.
        Jika mendesak, berarti anda harus rela berjalan ke menara berjarak satu kilometer dan naik ke puncaknya. Menara yang dimaksud adalah menara pemantau titik api ketika terjadi kebakaran lahan.
        Memang pihak pengelola, yakni WWF menyediakan penguat sinyal tetapi hanya mampu memberi satu bar di telepon seluler.
        Usai beristirahat, pengunjung akan disuguhkan dengan atraksi lain yakni gajah Flying Squad. Flying squad merupakan gajah liar yang dilatih untuk mengusir gajah liar yang masuk ke perkampungan warga. Tim Flying Squad terdiri dari tujuh gajah yakni Rahman, Indro, Lisa, Ria, Teso, Nela dan Imbo.
        Imbo merupakan penghuni baru yang lahir pada 31 Januari 2011 lalu yang beribukan Lisa. Sedangkan ayahnya, merupakan gajah liar yang oleh Syamsuardi, Flying Squad Officer diberi nama si Begal.
        Menurut Syamsuardi, si Begal beberapa kali masuk ke perkampungan warga dan kemudian diusir oleh Flying Squad. Dasar Begal, begitu Flying Squad pergi, si Begal kembali masuk ke perkampungan.
        "Selidik punya selidik, ternyata si Begal jatuh cinta sama Lisa. Akhirnya mahout pun membiarkannya dan memberikan kesempatan pada Lisa dengan membawanya ke hutan dan menambatkannya di hutan untuk bertemu si Begal. Begitu setiap harinya hingga Lisa pun hamil," jelasnya.
        Gajah jantan yang sedang birahi, lanjutnya, mempunyai tingkah yang cukup agresif dan berbahaya ketika didekati. Untuk mengetahui sedang birahi atau tidak bisa dilihat dari minyak yang keluar diantara mata dan telinganya.
 
Gajah mandi
   Pengunjung pun diajak untuk memandikan Lisa dan Imbo. Berbeda dengan gajah lainnya, karena beranak kecil, Lisa dan Imbo dimandikan di tempat pemandian gajah. Biasanya, gajah flying squad dimandikan di sungai.
        Imbo, gajah kecil berumur sepuluh minggu berlari-larian ketika dimandikan Nadine Chandrawinata. Bahkan tak jarang mengejar pengunjung yang menyaksikan dirinya dimandikan.
        Tapi jangan takut jika menghadapi gajah kecil, cukup menghindar saja. Menurut Syamsuardi, karena masih anak-anak, Imbo masih senang bermain-main.
        "Berbeda dengan Tesso dan Nilo yang remaja dan lebih suka menyantap makanan," jelas dia.
        Nadine yang juga mantan Puteri Indonesia 2005 itu, tak sungkan-sungkan berbasah ria ketika memandikan gajah. Bahkan ia dengan sepenuh hati menggosok tubuh gajah dengan tangannya. Dan menepuk belalai gajah dengan penuh kasih sayang.
        Jangan bayangkan kalau Brownies yang dimaksud adalah kue bolu panggang berwarna coklat. Ataupun kependekan dari Berondong Manis, lagu duet vokal T2, Tika dan Tiwi. Brownies yang dimaksud adalah makanan tambahan yang diperuntukkan bagi gajah.
        Brownies berasal dari campuran jagung, dedak, irisan gula merah dan mineral yang dikukus. Brownies diberikan pada gajah ketika ada iven-iven tertentu. Usai dimasak, gajah langsung disuapi Brownies.
        Sesi penyuapan ini, langsung dimanfaatkan pengunjung. Mereka rata-rata belum pernah begitu dekat dengan gajah langsung di habitatnya. Biasanya, gajah hanya dijumpai di kebun binatang.
        Begitu menyantap Brownies, gajah-gajah Flying Squad tidak lagi peduli dengan sekelilingnya. Baru setelah selesai, baru kemudian perhatian gajah beralih mengikuti mahoutnya.
        Di TNTN, pengunjung pun dibekali pengetahuan mengenai gajah Sumatera yang saat ini hanya tersisa 350 saja. Mulai dari sifat hingga metode pengusiran gajah liar. Salah satu metode pengusiran dengan menggunakan meriam karbit.
        Pengunjung pun diajak untuk merakit dan memainkan meriam karbit. Meriam karbit terbuat dari pralon dan bisa dibawa kemana pun.
 
Mengaku takjub
   Cara menyalakannya cukup mudah, cukup dimasukkan api lubang sisi kanannya. Begitu dinyalakan, lubang kecil tersebut langsung ditutup dengan tangan. Dan DUARR...suara meriam karbit menggema hingga ke penjuru TNTN.
        Salah rekan media dari Jakarta, Catur Palupie, mengaku takjub dengan atraksi yang disuguhkan. Ia yang baru pertama kali berkunjung ke TNTN mengaku mendapat pengetahuan baru akan gajah Sumatera. Banyak hal-hal baru, lanjutnya, yang ia dapatkan di kawasan ini.
        "Tidak rugi jauh-jauh datang dari Jakarta. Walaupun disini susah sinyal," ujarnya sembari tertawa.
        Hari kedua, berada di kawasan TNTN, pengunjung akan diajak menyusuri sungai Nilo. Salah satu sungai yang mengapit taman nasional tersebut.
        Dengan menggunakan dua perahu bermotor yang disebut Pompong, pengunjung diajak menyusuri sungai yang masih terjaga itu. Disebut Pompong, karena bunyi yang ditimbulkan akan terdengar seperti Pong...Pong...Pong, sehingga penduduk lokal menyebutnya dengan nama Pompong.
        Sungai Nilo mempunyai lebar enam meter. Lebih kecil dibandingkan Sungai Indragiri yang mempunyai lebar hingga 25 meter. Hilir Sungai Nilo adalah Sungai Indragiri sedangkan hulunya ada di Sungai Kampar. Sungai Indragiri dan Kampar merupakan dua dari empat sungai besar yang ada di Riau.
        Menyusuri sungai Nilo, pengunjung akan menemukan hutan tropis yang alami.Hawa dingin dan udara segar langsung menyergap begitu pompong melaju.
        Pohon yang hidup di kawasan tersebut tingginya puluhan meter dan tidak beraturan. Salah seorang penduduk lokal,Dodo, mengatakan pohon yang tertingi disebut pohon Sialang, tempat hinggapnya lebah.
        Mayoritas pengunjung merasa takjub dengan keindahan alam yang masih terjaga. Di sisi kanan dan kiri sungai, akan terlihat monyet-monyet yang bergelantungan dan tanaman bakau yang hidup di sisi sungai. Kicauan burung yang beterbangan tersebut mengiring deru perahu motor yang membelah sungai Nilo.
        Tidak heran, karena di kawasan tersebut terdapat 360 jenis flora dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia yang hidup.
 
Eksotisme tropis
   Sungai Nilo bergelombang ketika dilewati empat pongpong yang membawa kami. Bahkan tak jarang air masuk ke dalam perahu. Mau tak mau, pengunjung harus rela berbasah-basah mengeluarkan air dari perahu.
        Masyarakat setempat masih menggunakan sungai ini sebagai sumber kehidupan. Masyarakat tempatan mandi, mencuci bahkan minum dari air sungai tersebut.
        Tidak heran, di pinggir sungai banyak kakus terapung milik warga. Mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani sawit, karet dan penebang kayu.
        Setelah dua puluh menit, perahu motor pun merapat dan langsung diajak untuk melihat langsung proses pengolahan madu Sialang. Madu Sialang diolah secara alami dan higienis.
        Berbeda dengan madu lainnya, madu sialang ditiriskan tidak diremas seperti proses pengolahan madu lainnya. Proses pengolahannya tergantung musim, karena lebah berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya.
        Usai melihat proses pengolahan madu, tahapan selanjutnya memandikan gajah di Sungai Nilo. Lima gajah Flying Squad mandi beserta pengunjung.
        Gajah masuk ke tengah sungai, menyemburkan air dan menyelam. Jika anda ingin terlibat, berarti anda harus merelakan pakaian anda basah kuyup.
        Tapi pengorbanan anda tidak akan sia-sia, karena pengalaman ini jarang didapatkan dimanapun.Pihak WWF mengklaim bahwa pengalaman ini hanya bisa didapatkan di TNTN.
        Begitu selesai memandikan gajah, pengunjung pun diajak menunggangi gajah selama satu jam untuk menuju guest house.
        Salah seorang pengunjung, Hesty, mengatakan pengalaman ini tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
        "Hanya disini, pengalaman ini bisa didapatkan dimanapun," katanya singkat.
 
Ekowisata
   Humas WWF Indonesia Program Riau, Syamsidar mengatakan bahwa kegiatan tersebut dikemas dalam paket Ekowisata yang diselenggarakan pihaknya.
        Selain kegiatan yang disebutkan diatas, paket ini juga ditambah dengan pemasangan camera trap atau kamera jebakan di hutan TNTN.
        Kamera ini bertujuan mengintai tanda-tanda kehidupan harimau di kawasan tersebut. TNTN merupakan salah satu habitat harimau di Riau.
        Baru setelah itu, melihat langsung proses penyulingan madu Sialang di asosiasi petani madu di desa Lubuk Kembang Bunga.
        "Paket ini ditawarkan dengan harga Rp7,5 juta," jelasnya.
        Menurutnya, paket ini sangat cocok bagi pengunjung yang berjiwa petualang. Tidak hanya pengunjung lokal, banyak pengunjung yang berasal dari Eropa dan Amerika yak takjub dengan kekayaan kawasan tersebut.
        "Permasalahannya hanya karena infrastruktur yang belum memadai. Kedepannya, diharapkan kerjasama dari pemerintah daerah setempat untuk membangun jalan di kawasan ini," kata dia.
        Sementara itu Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Kurnia Rauf, mengatakan bahwa gajah di Indonesia hanya hidup di Sumatera. Sedangkan gajah yang ada di Jawa berasal dari Sumatera.
        "Gajah yang saat ini tersisa 350 ekor ini patut dijaga kelestariannya," kata dia.
        Ia mengatakan pihaknya terbuka jika ada investor yang berminat membangun hotel maupun infrastruktur di kawasan tersebut. Menurutnya, ini akan sangat membantu pengembangan kawasan TNTN kedepannya.
        "Banyak pengunjung malas karena kawasan ini sulit dijangkau," ujar lelaki berkacamata itu.
        Infrastruktur memang menjadi salah satu kendala pariwisata di Riau. Banyak tempat wisata yang ada tidak tersentuh wisatawan karena sulitnya infrastruktur.
        Contohnya saja, fenomena Bono, gelombang pasang yang terdapat di Sungai Kampar yang terkenal hingga manca negara. Sayang, karena infrastruktur kurang memadai, wisatawan mengurungkan niat ke kawasan tersebut.
        Padahal jika dikemas dan infrastruktur memadai, masyarakat lokal pun bisa diberdayakan dengan menjadikan rumahnya sebagai homestay. Dan bisa menjadi mata pencaharian baru, tidak lagi mengandalkan kebun sawit ataupun illegal logging yang merusak tatanan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar