Minggu, 17 April 2011
Kisah Mengharukan Si Gajah Liar
"Tuk...bangun Tuk," teriak Ilham (8 tahun) bocah siswa kelas II salah satu SD negeri di Duri, Bengkalis, Riau di tengah kerumunan.
"Bangun Tuk, kasihan anakmu," teriak Ilham terus memanggil tetapi Tuk hanya diam tak beranjak dari tengah jalan dan menjadi tontonan banyak warga.
Tuk atau Datuk merupakan panggilan kehormatan bagi gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumteranus) di Riau.
Induk gajah liar itu mencoba bangkit tetapi sia-sia.
Ia tak kuasa mengangkat badannya yang berbobot lebih dari satu ton. Belalainya hanya mampu bergerak perlahan. Panas terik menjadi salah satu penyebab dia sulit bergerak.
Melihat kondisi induknya yang tak berdaya, anak gajah liar pun tak tinggal diam. Anak gajah yang diperkirakan berumur empat bulan itu berjalan mengelilingi induknya.
Ia terus menjaga induknya dan mengejar siapa saja yang mendekati induknya bahkan beberapa jurnalis yang mengambil foto pun dikejar oleh anak gajah.
Tak lama berselang, salah seorang warga melemparkan makanan berupa dedaunan, batang pisang, tebu, dan kelapa muda.
Oleh anak gajah tersebut, kelapa muda tersebut diinjak dan dengan belalai ia memasukkan air kelapa ke mulut induknya itu. Anaknya dengan setia juga memeraskan tebu untuk ibunya, begitu seterusnya.
Mendapat asupan minuman itu, induk gajah terus mencoba bergerak, memutar-mutar tubuhnya, berusaha bangkit.
Warga yang berada di Perumahan Cendana, Desa Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Bengkalis pun tak ketinggalan dengan menyiramkan air ke tubuh gajah agar induk dan anak gajah tidak kepanasan.
Ajaib, pada putaran keempat induk gajah dapat bangkit walaupun sekujur tubuhnya luka-luka akibat gesekan di aspal dan dilempari benda keras bahkan bom molotov oleh sebagian warga.
Induk gajah tersebut bangkit, walau hanya bisa berdiam diri. Dari sudut matanya, keluar bulir-bulir air mata. Melihat itu, sang anak langsung mendekat dan berlindung di balik ibunya.
"Gajah merupakan hewan dengan tubuh besar dan penampangnya juga besar. Makanya mudah kepanasan dan salah satu upaya penyelamatannya dengan menyiramkan air ke tubuhnya," ujar Ayang Basri, salah seorang warga
Rumah Ayang, hanya berjarak lima meter dari lokasi gajah. Ayang yang sehari-hari bekerja sebagai guru di SMA Cendana, tak menyangka bunyi benda jatuh pada Rabu(23/3) dini hari adalah pertanda pingsannya gajah.
Menurut dia, warga di perumahan guru itu sudah terbiasa dengan kehadiran gajah.
Hampir setiap dua bulan sekali, gajah liar datang dan memakan tanaman di sekitar perumahan.
"Bahkan kami sengaja menanam makanan gajah di luar pekarangan. Tidak masalah bagi kami, gajah liar itu kan hanya mencari makanan, tidak mengganggu," katanya menjelaskan.
Warga pun tak ketinggalan bahu membahu mengumpulkan sumbangan untuk membeli makanan gajah.
Bahkan pihak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) juga menurunkan petugas pemadam kebakaran untuk menyiram tubuh gajah.
Induk dan anak gajah liar terpisah dari kawanannya yang berjumlah 40 ekor. Sudah dua pekan lamanya, induk dan gajah memblokir jalan di perumahan guru itu.
"Malah sebelumnya gajah berada di belakang perumahan tetapi karena orang sana melempari gajah terpaksa kami menggiringnya kemari. Kami tak kuasa, melihat gajah itu disakiti," timpal Didi, warga lainnya.
Ia menyebutkan gajah liar kadang mendapatkan perlakukan yang tak semestinya dari masyarakat khususnya yang berada di belakang perumahan.
Semula ia memaklumi mengapa sebagian warga tersebut begitu anarkis pada gajah karena gajah memakan hasil pertanian mereka.
"Memang gajah memakan hasil pertanian mereka, tetapi seharusnya jangan begitu memperlakukannya. Apa salahnya memberikan makan mereka dengan menanam tanaman di luar pagar," katanya menyesalkan.
Lagipula, lanjut Didi, gajah lebih dahulu menetap di daerah itu dibandingkan warga yang mayoritas berasal dari Sumatera Utara.
Bahkan tak jarang, kata Didi, warga melemparkan bom molotov ke gajah.
"Lihat saja, kuping induk gajah itu. Banyak bekas luka, besar kemungkinan dianiaya orang belakang. Tadi ada juga warga yang melihat mereka menyiapkan bom molotov untuk mengusir gajah," kata Didi.
Ia menyebutkan bahwa daerah tersebut merupakan lintasan gajah dalam mencari makan.
Di daerah yang merupakan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja sering terjadi konflik antara manusia dan gajah.
"Karena sebelumnya gajah diganggu. Coba kalau tidak, pasti warga tidak akan diganggu kawanan gajah. Kalau sudah seperti itu, yang disalahkan juga gajah. Gajah itu ingatannya kuat dan terkenal pendendam," kata lelaki gempal itu.
induk mati
Usai kejadian Rabu lalu, induk gajah terus menunjukkan perkembangan positif.
Jika usai pingsan, induk gajah hanya bisa berdiam diri di tengah jalan, hingga sudah bisa berjalan mengelilingi kompleks perumahan.
Apalagi tim medis dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau memberikan suplemen kepada induk gajah melalui buah-buahan.
Petugas BBKSDA dan warga pun kesulitan menggiring induk dan anak gajah liar ke hutan.
Tak jarang, gajah bukannya ke hutan malah berjalan ke jalan raya dan membuat jalan macet hingga akhirnya bisa dipindahkan ke hutan yang berada di area pemukiman CPI, Duri.
Namun sayang, pulihnya kondisi gajah tak berlangsung lama.
Berselang tiga hari usai pingsan yang pertama, Sabtu (26/3) malam induk gajah menghembuskan nafas terakhir setelah pingsan kembali pada siang hari dan dipisahkan dari anaknya.
Petugas terpaksa melakukan evakuasi anak gajah untuk bisa memberikan penangan medis kepada induknya.
Tim medis pun sudah berupaya maksimal dengan memberikan infus dan memeriksa sampel darah gajah.
Entah kenapa, usai ditinggal mati induknya, di pelupuk anak gajah keluar bulir-bulir air mata terus mengalir.
Anak gajah itu seakan tahu, induknya akan meninggalkan dirinya untuk selamanya. Beberapa petugas yang tengah melakukan otopsi pun tak kuasa menahan haru melihatnya.
Samsuardi, dari "World Wildlife Fund" (WWF) Riau menyebutkan besar kemungkinan gajah tersebut diracun. Salah satu pertandanya adalah belalainya yang gemetar dan geraknya yang lemah.
"Dari tanda-tanda tubuhnya, memang induk gajah dalam keadaan teler," kata Samsuardi yang merupakan salah seorang staf "Human Elephant Conflict Mitigations" itu.
Sementara itu, drh Rini Deswita dari BBKSDA Riau, menyebutkan bahwa gajah tersebut mengalami gangguan pencernaan karena selalu memuntahkan apa yang dimakannya.
"Selain itu juga mengalami dehidrasi. Untuk kepastian, apa penyebabnya akan diketahui setelah dilakukan otopsi," kata dia.
Kondisi lemah tersebut, katanya, juga dipicu karena menyusui anaknya.
Menurut dia, ketika usia anak berumur kurang dari setahun yang mengasuh anak gajah adalah gajah betina lain sedangkan induknya fokus mencari makan.
"Tetapi ini, kan, tidak, induknya langsung memegang peranan ganda," kata Rini menambahkan.
Hutomo, Kepala Seksi Wilayah III BBKSDA Riau, menyebutkan pihaknya telah berupaya maksimal untuk menyelamatkan gajah.
Sejak kejadian pingsan yang pertama, lanjut dia, pihaknya terus memantau perkembangan gajah.
"Kami sudah berupaya maksimal untuk menyelamatkan gajah bahkan sudah mendatangkan gajah jinak untuk membantu pemberian perawatan medis kepada induk gajah," ujar dia.
WWF Riau mencatat di kawasan SM Balai Raja masih terdapat 40 ekor gajah liar.
Pada tahun 1990, SM Balai Raja mempunyai luas 16 ribu hektare tetapi saat ini hanya tersisa 120 hektare karena sudah beralih fungsi menjadi pemukiman dan perkebunan kelapa sawit.
Akibat alih fungsi itu, konflik antara manusia dan gajah pun menjadi sulit dihindari, khususnya warga yang berprofesi sebagai petani.
Pemerintah daerah dalam hal ini harus mengambil peran, agar konflik ini tidak berlarut-larut dan memakan korban nyawa baik manusia ataupun gajah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar