Sabtu, 19 Maret 2011

Ketika Pembungkaman Menjadi Sebuah Monolog

  Gelap semakin mengakap, ketika seorang lelaki bertelanjang dada terbangun dari tidurnya. Tegak dan meracau tak tentu arah. Berkisah tentang tiga lelaki berbadan tegap dan berambut cepak membawanya ke dalam ruang gelap.

  Ia mereka-reka perkara musabab dirinya berada di tempat gulita. Apakah laku dirinya yang membuat dirinya terjebak dalam suasana tak semestinya?


Lelaki gempal itu terus mengira-ngira, apakah tulisannya yang mengantarkannya.  Yah, ia baru sadar satu hal, kalau beberapa waktu lalu, dirinya membantu Kahar, perwakilan warga yang mengadukan tentang pencaplokan tanah oleh perusahaan besar. Dan menuliskannya di media tempatnya bekerja.
Ia tak habis pikir dan terus meracau.




   Rasa sakit yang tertahankan membuatnya mati suri. Imajinasinya menjadi tak terarah dan emosinya membuncah. Terbayang wajah istrinya yang resah menanti di rumah. Terlintas kecemasan di pelupuk matanya.


   Khayalannya melayang, bertingkah seakan bermain dengan anaknya. Menembus tabir zaman ke masa Kerajaan Riau Lingga lewat mimpi anaknya bercerita ketika tidur.
Badannya terasa sakit, seluruh tubuhnya remuk. Dan tiba-tiba saja, ia merindukan cahaya. Cahaya yang mampu memberi pencerahan bagi umat manusia.
  
  Itulah penggalan pentas monolog teater Selembayung yang berjudul Gelombang Sunyi, pada Sabtu dan Ahad malam lalu di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru.
Pentas itu diangkat dari roman karya Taufik Ikram Jamil yang berjudul Gelombang Sunyi (2001).
Bercerita tentang pewarta yang disekap dalam ruang gelap yang mengakap akibat mengungkap pencaplokan tanah masyarakat oleh masyarakat.
  
  Tentang perlawanan orang Melayu akan haknya yang tercerabut oleh kekuasaan dan terusir dari tanahnya sendiri. Tanpa disadari usahanya justru membuat dirinya tersekap. Novel itu seakan menjadi curahan hati Taufik tentang kondisi terkini Melayu.
Pesan dari Novel 164 halaman tersebut diterjemahkan secara apik oleh sutradara muda Fedli Aziz ke dalam monolog yang berdurasi 90 menit.
  
   Fedli menjelaskan monolog yang intensitasnya lebih kecil lebih berorientasi pada proses kematangan dan jam terbang seorang aktor. "Tidak banyak aktor yang bisa bermain seorang diri. Hanya aktor yang matang yang mampu memainkannya," jelasnya.

  Pentas itu untuk menguji kematangan berteaternya selama ini. Fedli tak hanya mampu menyajikan sebuah novel ke dalam media yang lebih dinamis. Tetapi juga mampu membuat anjungan seni Idrus Tintin usai Festival Film Indonesia (FFI) 2007 lalu, yang biasanya sunyi senyap menjadi bergemuruh.
Ekky Gurin Andika (22) melakonkan tokoh utama, Aku, secara apik. Ia mampu membuat ratusan pasang mata penonton teater tak berkedip dan tertuju kepada dirinya. Juga membawa penonton hanyut ke dalam suasana.
  
  Ia mengaku cukup kesulitan karena harus memerankan diri sebagai seorang wartawan yang mengalami tekanan dari penguasa.
  
   Salah seorang penonton, Widya, mengatakan pertunjukan tersebut yang mengajak penonton berpikir bahwa penjajahan belum sepenuhnya berakhir khususnya di tanah Melayu.
"Monolog yang ditampilkan benar-benar mengedukasi. Hanya saja, durasi yang terlalu lama dan alur cerita yang lambat membuat penonton bosan," jelas dia.


2 komentar: