Kembali ke ikhtiar saya, dalam pengobatan penyakit saya Sindrom Nefrotik atau yang dikenal dengan ginjal bocor. Sebenarnya bukan pengobatan sih alasan saya datang ke negeri jiran ini, tepatnya malah mencari pendapat kedua setelah tak mendapat penjelasan yang memuaskan dari dokter di Indonesia.
Pagi sehabis sarapan roti canai di kedai India, kami berangkat ke Mahkota Medical Center. Jaraknya paling sekitar 30 meter saja dari hotel. Dulu pas nganter emak berobat ke sini, belum ada hotel Hatten. Sekarang sudah ada hotel megah di kawasan ini.
Sesampai di lobby,liat yang antre di lantai dasar cukup ramai. Kami memutuskan naik ke lantai satu, dan benar hanya ada satu antrean saja. Di rumah sakit ini, pelayanannya ramah dan sangat membantu jika ada yang membutuhkan informasi. Nama-nama dokter dan keahliannya terpajang di layar yang ada di sudut ruangan.
Kami mendaftar, bayar RM4 saja. Saya memutuskan untuk bertemu dengan dokter endokrin dan dokter penyakit dalam dengan keahlian ginjal, atau yang disebut dengan nefrolog. Untuk endokrin, saya bertemu dengan Dr Lim Shiang Chin. Dokter perempuan, masih muda dan China Malaysia. Ia dokter lulusan Universiti Kebangsaaan Malaysia, yang kemudian mengambil spesialis di kampus bergengsi di MRCP di Inggris.
Untuk nefrolog, saya bertemu dengan Dr Wee Tuang Hong yang juga lulusan Inggris. Umurnya mungkin diatas 50 tahun dan banyak pengalaman.
Jam delapan tepat, kami mulai antre. Di sini, praktik dokter tidak tersentralisasi di rumah sakit.. Namun dokter yang membuka praktik sendiri di rumah sakit. Jadi ada ruangan yang cukup luas untuk tiap ruang kliniknya. Ada bagian administrasi dan ada juga yang bagian farmasi. Pembayaran untuk konsultasi dan pengobatan cukup di ruangan itu saja. Kecuali untuk laboratorium, pembayarannya baru ke rumah sakit. Itupun ada di setiap lantai. Jadi tak perlu ke lantai dasar (biasanya kalau di Indonesia).
Dokter yang saya datangi dulu adalah Dr Lim Shiang Chin. Dokter praktik pukul 8.30, namun pukul 8.15 dokter sudah datang dengan langkah sambil menenteng tasnya. Dokternya masih muda, imut dan berambut panjang yang tergerai. Tapi jangan tanya pasiennya, membludak. 90 persen adalah orang Indonesia dengan keluhan beragam mulai dari diabetes, tiroid dan masalah lainnya.
Tak lama, setelah saya kasihkan form pendaftaran, suster panggil saya. Nanya hasil laboratorium terbaru dan kemudian cek berat badan dan tensi. Karena saya baru diopname dua minggu lalu, hasil lab saya masih bisa dipakai. Biasanya untuk tiroid cek darah per tiga bulan.
Setelah menunggu hampir satu jam setengah (pasiennya banyak), tibalah giliran saya. Dokter tersenyum melihat kami dan mempersilahkan duduk. Saya duduk di kursi yang ada di depan meja dokter. Dokter Lim suruh saya pindah duduk, ke dekat dia. Di ruangan itu juga ada tempat tidur.
Di dalam ruangan, tak ada suster yang menemani. Ia tanya bagaimana keadaan saya, kronologis penyakit saya. Saya ceritakan semuanya termasuk konsumsi obat apa. Saya bilang, saya nakal karena saya putus minum obat setelah satu tahun, kemudian pindah dokter lalu minum obat dan kemudian makan obat lagi.
Saya divonis hipertiroid pada 2015, emak saya heran mengapa leher saya membesar. Saya juga merasakan cemas dan jantung berdegup kencang. Awalnya saya ke dokter di Awal Bross Tangerang, kemudian pindah ke Dokter Susilowati di Siloam Kebon Jeruk, kemudian ke Prof Slamet Suyono yang katanya ahli tiroid. Tapi dari semuanya saya kurang mendapat penjelasan dan ya itu harus minum obat seumur hidup.
Kembali ke dokter Lim, setelah mendapat penjelasan saya. Ia kemudian nanya sekarang minum obat apa. Saya bilang Thyrozol 10 mg, satu kali sehari. Itupun setelah saya diopname. Ia tersenyum dan kemudian berlutut di depan saya. Dia angkat kaki saya, dan kemudian mengecek setiap detil kaki saya, apa ada varises. Sumpah saya kaget. Kemudian tangan dikedepanin, untuk mengecek apa ada tremor. Dr Susilowati, juga detil seperti Dr Lim, tapi tetap dibantu perawat.