Senin, 22 Januari 2018

Pengalaman Pengobatan Sindrom Nefrotik (1)

Saya baru mengetahui, saya menderita Sindrom Nefrotik atau kelainan pada ginjal ketika dirawat inap selama lima hari di rumah sakit swasta besar di bilangan kebon jeruk. Salah satu milik taipan l*PP*, yang menurut saya menang fasilitas doank tapi kalah dalam pelayanan dan kualitas dokter.
Sindrom Nefrotik itu sebenarnya kelainan pada ginjal, jadi ginjal seharusnya bisa menyaring protein dan menyalurkannya ke seluruh tubuh, ini malah ga. Ginjal ga bisa menyaring protein dengan baik dan keluarlah lewat urine. Kondisi ini disebut dengan proteinura.
Jadi sehari dirawat, dokter penyakit dalam yang menangani yakni dokter Chandra W*g*n* vonis saya kena penyakit yang dikenal dengan masyarakat awam ginjal bocor ini. Gejalanya badan saya bengkak penuh air, kadar albumin dalam darah amat rendah, kolestrol tinggi, dan urine sy mengandung protein.
Berat badan saya normalnya 43-45 kg, naik menjadi 56 kg. Perut saya gendut seperti orang hamil. Untuk jalan aja susah, apalagi solat. Saya sampai solat sambil duduk karena kaki ga bisa dilipat.
Dengan penuh keyakinan itu dokter dan masuk sambil bilang kondisi saya cukup parah karena empat kondisi itu ada pada saya. Penjelasan singkat lima menit kemudian dia pergi dan kembali besok lagi. Begitu seterusnya.  Dia bilang ada hubungannya dengan riwayat penyakit saya sebelumnya hipertiroid, yang katanya harus minum obat seumur hidup. Oke deh.
Hampir semua informasi yg sy dapatkan dari dokter ini bisa ditemui di Google, misalnya sakit ini kalau tidak ditangani bahaya bikin gagal ginjal. Penyakit ini disebabkan oleh autoimun. Ia juga bilang, dalam hitungan bulan saja bisa bikin gagal ginjal. Kalau menurut saya dan suami , lebih tepat disebut dokter google.
Dokter itu kemudian meminta bantuan dokter T*ga Simatupang, seorang nefrolog di rumah sakit itu. Nefrolog itu dokter internis yang ambil spesialisasi ginjal.
Dokter yang ini sungguh tidak banyak bicara dan hanya sebentar di kamar. Tak banyak bicara kondisi saya, padahal pada saat itu sebagian tes darah, ronsen dan USG sudah keluar.
Dirawat empat hari tidak ada perubahan. Pihak RS hanya fokus mengurangi demam dan mual saya.
Hari keempat baru disuntikkan lasix cair, semacam obat pengurang cairan dalam tubuh. Itu juga harus menunggu hingga setengah hari karena menunggu obatnya ga ada di RS itu.
Di rumah sakit, berkali-kali jarum infus berpindah karena tangan saya bengkak penuh air.
Setelah disuntik lasix, saya pipis hampir tiap dua jam dengan banyaknya air sekitar 600 mililiter setiap kalinya. Sehari disuntik lasix berat badan saya berkurang lima kilogram.
Hari kelima saya minta pulang, suasana rumah sakit tidak kondusif. AC sentral bikin saya kedinginan dan batuk saya menjadi-jadi. Dokter bilang hasil USG abdomen, cairan udah masuk ke rongga paru makanya batuk batuk.
Awalnya dokter tak mengizinkan, apalagi saya demam paginya dan dikasih obat demam. Tapi saya maksa, di sini malah bikin saya tambah sakit dok. Akhirnya dia ngalah, dan saya harus tanda tangan karena memaksa pulang. Ga masalah.
Dokter Chandra bilang saya harus kontrol hari Selasa. Dikasih obat Lasix Fumoside cair, kemudian obat antibiotik, antikolestrol, obat tidur dan lectonal buat ginjal.  Ia juga bilang saya ga usah makan garam dan batasi air seliter aja sehari. Kurangi makan protein dll.

Hari Selasa saya disuruh balik lagi buat kontrol. Dari sini semua keilfilan saya semakin menjadi, dia cek kondisi saya yg waktu itu beratnya udah kembali ke 45 kg. Katanya okay, tapi saya ga dikasih obat apa apa, dia malah rekomin ke dokter T*ga. Ga ada kasih obat, dan parahnya saya harus bayar biaya konsultasi Rp350 ribu hanya itu. Waktu dirawat , saya kena Rp18 jutaan untuk lima hari. Sedih.
Kemudian , saya ke dokter T*ga, yg selanjutnya disebut dokter ginjal. Setelah mendaftar dll, saya antre ketemu dia. Dokternya ga banyak bicara mengenai kondisi saya, padahal saya ingin tahu bagaimana sebenarnya pada diri saya.
Ia kemudian nyuruh saya cek urine lagi dan juga cek darah. Saya sebel, karena baru seminggu lalu saya tes segambreng dan semua itu ga dipakai. Malah disuruh cek urine dan darah lagi. Rasanya bagaimana gitu.
Dokter suruh saya balik lagi begitu hasil lab keluar. Hasil lab keluarnya hampir tiga jam. Si Nana, anak saya sampai tertidur di kursi menunggu. Kasihan anak saya.
Udah dapat hasil, nunggu dokter. Hampir jam tiga, dokter datang. Hampir setengah jam di dalam ruangan, dokter lebih banyak mempelajari hasil lab saya. Tak banyak bicara.
Saya bertanya, dokter bagaimana kondisi saya, apa ada kemungkinan untuk sembuh? Terus dia jawab, macam-macam tiap orang ada yang sembuh dua bulan ada yang dua tahun belum sembuh-sembuh. Habis bicara diam.
Saya kemudian desak lagi, dokter apa yang mempengaruhinya, apa gaya hidup dll? Terus dia jawab, tiap orang beda beda. Saya mendapat jawaban yang kurang memuaskan. Lalu dia nulis resep obat yang harus saya minum, nama obatnya methylprednosolone 16 mg. Sekali makan dua butir sehari. Katanya ini obat pengaruh sama kadar gula dan kolesterol jadi saya harus cek darah dan urine lagi tiap dua Minggu kontrol sama dia.
Keluar dari klinik, saya kesal tidak mendapat jawaban memuaskan dari dokter. Padahal saya udah menunggu lama dan tentu saja saya udah bayar biaya konsultasi.
Penyakit ini sebenarnya sudah saya rasa sejak November atau dua bulan sebelumnya, gejalanya kaki saya bengkak . Teman saya menyarankan saya periksa ginjal, saya ke urolog dr Charles Hutasoit. Di USG semua normal, ureum kreatinin okay, cuma pas cek urine +3. Tidak terdeteksi karena kebocorannya mikroskopis sekali. Lalu saya sibuk dengan pekerjaan dan cuti hingga akhir tahun. Gitu deh ceritanya. Tapi yg saya pasti saya kapok ke rumah sakit itu, begitu juga dokternya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar