Jumat, 26 Januari 2018

Bedanya Dokter Indonesia dan Dokter Malaysia, Ikhtiar Pengobatan Sindrom Nefrotik

Kembali ke ikhtiar saya, dalam pengobatan penyakit saya Sindrom Nefrotik atau yang dikenal dengan ginjal bocor. Sebenarnya bukan pengobatan sih alasan saya datang ke negeri jiran ini, tepatnya malah mencari pendapat kedua setelah tak mendapat penjelasan yang memuaskan dari dokter di Indonesia.

Pagi sehabis sarapan roti canai di kedai India, kami berangkat ke Mahkota Medical Center. Jaraknya paling sekitar 30 meter saja dari hotel. Dulu pas nganter emak berobat ke sini, belum ada hotel Hatten. Sekarang sudah ada hotel megah di kawasan ini.

Sesampai di lobby,liat yang antre di lantai dasar cukup ramai. Kami memutuskan naik ke lantai satu, dan benar hanya ada satu antrean saja. Di rumah sakit ini, pelayanannya ramah dan sangat membantu jika ada yang membutuhkan informasi. Nama-nama dokter dan keahliannya terpajang di layar yang ada di sudut ruangan.

Kami mendaftar, bayar RM4 saja. Saya memutuskan untuk bertemu dengan dokter endokrin dan dokter penyakit dalam dengan keahlian ginjal, atau yang disebut dengan nefrolog. Untuk endokrin, saya bertemu dengan Dr Lim Shiang Chin. Dokter perempuan, masih muda dan China Malaysia. Ia dokter lulusan Universiti Kebangsaaan Malaysia, yang kemudian mengambil spesialis di kampus bergengsi di MRCP di Inggris.

 Untuk nefrolog, saya bertemu dengan Dr Wee Tuang Hong yang juga lulusan Inggris. Umurnya mungkin diatas 50 tahun dan banyak pengalaman.

Jam delapan tepat, kami mulai antre. Di sini, praktik dokter tidak tersentralisasi di rumah sakit.. Namun dokter yang membuka praktik sendiri di rumah sakit. Jadi ada ruangan yang cukup luas untuk tiap ruang kliniknya. Ada bagian administrasi dan ada juga yang bagian farmasi. Pembayaran untuk konsultasi dan pengobatan cukup di ruangan itu saja. Kecuali untuk laboratorium, pembayarannya baru ke rumah sakit. Itupun ada di setiap lantai. Jadi tak perlu ke lantai dasar (biasanya kalau di Indonesia).


Dokter yang saya datangi dulu adalah Dr Lim Shiang Chin. Dokter praktik pukul 8.30, namun pukul 8.15 dokter sudah datang dengan langkah sambil menenteng tasnya. Dokternya masih muda, imut dan berambut panjang yang tergerai. Tapi jangan tanya pasiennya, membludak. 90 persen adalah orang Indonesia dengan keluhan beragam mulai dari diabetes, tiroid dan masalah lainnya.


Tak lama, setelah saya kasihkan form pendaftaran, suster panggil saya. Nanya hasil laboratorium terbaru dan kemudian cek berat badan dan tensi. Karena saya baru diopname dua minggu lalu, hasil lab saya masih bisa dipakai. Biasanya untuk tiroid cek darah per tiga bulan.

Setelah menunggu hampir satu jam setengah (pasiennya banyak), tibalah giliran saya. Dokter tersenyum melihat kami dan mempersilahkan duduk. Saya duduk di kursi yang ada di depan meja dokter. Dokter Lim suruh saya pindah duduk, ke dekat dia. Di ruangan itu juga ada tempat tidur.

Di dalam ruangan, tak ada suster yang menemani. Ia tanya bagaimana keadaan saya, kronologis penyakit saya. Saya ceritakan semuanya termasuk konsumsi obat apa. Saya bilang, saya nakal karena saya putus minum obat setelah satu tahun, kemudian pindah dokter lalu minum obat dan kemudian makan obat lagi.

 Saya divonis hipertiroid pada 2015, emak saya heran mengapa leher saya membesar. Saya juga merasakan cemas dan jantung berdegup kencang. Awalnya saya ke dokter di Awal Bross Tangerang, kemudian pindah ke Dokter Susilowati di Siloam Kebon Jeruk, kemudian ke Prof Slamet Suyono yang katanya ahli tiroid. Tapi dari semuanya saya kurang mendapat penjelasan dan ya itu harus minum obat seumur hidup.

Kembali ke dokter Lim, setelah mendapat penjelasan saya. Ia kemudian nanya sekarang minum obat apa. Saya bilang Thyrozol 10 mg, satu kali sehari. Itupun setelah saya diopname. Ia tersenyum dan kemudian berlutut di depan saya. Dia angkat kaki saya, dan kemudian mengecek setiap detil kaki saya, apa ada varises. Sumpah saya kaget. Kemudian tangan dikedepanin, untuk mengecek apa ada tremor. Dr Susilowati, juga detil seperti Dr Lim, tapi tetap dibantu perawat.


Dr Lim bilang, saya tak perlu khawatir dengan tiroid saya karena sudah mulai membaik. T4 bebas saya 1,28 nilai rujukan 0,7 hingga 1,48. Hanya TSH sensitif kurang dari nilai rujukan. Dr Lim bilang saya harus fokus pada pengobatan ginjal saya saja, untuk tiroid bisa cek darah tiap tiga bulan.

Ia juga tanya, apa saya sudah janjian dengan nefrolog? Saya bilang udah, habis ini saya mau ke nefrolog Dr Wee Tuang Hong. Ia tersenyum, sepertinya lega. Saya tanya, apa saya bisa hamil sekarang? Dia jawab, jangan dulu karena hamil akan bikin tiroid saya sembuh tetapi justru memperparah sindrom nefrotik saya. Jadi saya harus fokus terapi sindrom dulu.

Saya puji dia, saya bilang teman saya rekomendasikan dokter, karena dokter hebat. Tapi diam saja memasang wajah datar. Kata suami setelah keluar dari klinik, sepertinya dia tak suka dipuji.Sebelum pulang, saya tanya, apa ada obat yang harus saya minum? Dia jawab, cukup Thyrozol aja yang 10 mg satu kali sehari.  Pantangan apa dok? Untuk hipertiroid jangan makan rumput laut, makanan laut sekali-kali saja (tapi ikan boleh). Lalu saya tanya lagi, apa saya harus makan garam non yodium? Dia kaget, dia bilang tak perlu. Yodium penting buat tubuh kita, tak perlu diet non yodium. Oh my God, terbayang garam non yodium yang sudah terlanjur dikonsumsi sejak beberapa bulan lalu. hiks.

Untuk biaya konsultasi di Dr Lim, saya bayar RM150. Dokter tak kasih obat sama sekali. Ya berharga lah, karena dia periksa detail dan saya hampir setengah jam-an di ruangannya.

Selepas itu, saya ke lantai empat. Bertemu dengan Dr Wee. Nunggu satu jam-an karena pasiennya banyak banget dan sebagian besar dari Indonesia. Kami masuk, dia tanya nak cakap apa, saya bilang Melayu aja.  Dia baca hasil laboratorium saya, nanya kronologis penyakitnya, kemudian obat apa yang dikonsumsi saat ini.

Kemudian dia minta saya untuk ambil sampel urine. Begitu selesai diambil langsung balik lagi ke ruangannya dan jeng jeng,,, hasil cek urine langsung keluar seketika. Di Indonesia, saya harus nunggu dua jam dulu. Dr Wee baca hasil tes urine, dia bilang hasilnya sudah bagus dengan pengobatan selama satu minggu. Saya minum Methylprednosolone 16 miligram, dua tablet sekali minum di pagi hari. Masalahnya hanya dosisnya kurang, seharusnya untuk awal pengobatan dosisnya harus tinggi dan kemudian baru dikurangi.

Dr Wee kemudian nyuruh saya cek darah lagi di laboratorium, renal test. Dia bilang, kamu balik lagi nanti jam tiga. Tak perlu ambil hasil lab, karena diantar ke klinik. Jadi saya cukup datang ke klinik saja jam tiga. Saya turun ke bawah, walau sebenarnya males ambil darah karena bosan ditusuk-tusuk selama sakit, saya ambil darah juga. Biaya renal test di rumah sakit itu RM44, udah lengkap semuanya. Kalau biasanya saya di laboratorium rumah sakit sekitar Rp250-300 ribu. Jauh lebih murah lah.

Kami cari makan dan simcard di dataran pahlawan. Makan nasi padang dengan ikan asam pedas dan jengkol cabai hijau, prasmanan, cukup RM5 ja. Kemudian beli SIMCard Malaysia, pakai hotlink aja biar murah nelpon, cukup RM1 per lima menit nelpon ke Indonesia. Perdana harganya RM10 dan kemudian minta diisikan paket internet 2GB, hanya RM3. Isi pulsa RM10.

Jam tiga balik lagi, ke Dr Wee. Bilang ke suster saya sudah datang. Tak lama dipanggil, ternyata dokternya sudah ada. Dokter bilang secara kesuluruhan ga ada masalah, penyakit saya ini diperkirakannya karena Minimal Change Diseases (MCD), sekitar 70 persen penyakit ini karena ini baru yang lain. Dia bilang dari hasil tes, penyakit saya ini bukan karena lupus atau yang lainnya.

Dokter tanya, apa kata dokter di Indonesia. Saya jawab tingkat kesembuhan tergantung kondisi orang masing-masing, dia tersenyum dan menulis di belakang hasil lab saya sambil menerangkan pentingnya rencana pengobatan saya. Ini sesuatu yang baru buat saya. Ada lebih dari setengah jam, saya konsultasi. Bahkan sampai ditanya, apa lagi yang mau ditanyakan mumpung di sini, Saya tanya, apa saya harus balik lagi? Dokter jawab, tak usah Jakarta jauh, ikuti aja langkah pengobatan yang sudah diberikan. Nanti rencana pengobatan, akan saya tulis lagi...

Sebelum pulang dokter tanya, tahu dari mana tentang dia. Saya jawab, saya dapat dari internet.Dia tersenyum, sambil bilang "saya yakin kamu bisa mengobati diri sendiri  kalau kamu ikuti langkah yang sudah diberikan, lain-lain cari di internet saja". Tak ada obat yang dibeli disitu, cukup di Indonesia saja yakni Methylprednisolone. Biaya konsultasi dan cek urine RM130.

"Enjoy Malacca," kata sang dokter begitu kami beranjak pergi.

Oia, sebelum keluar dari rumah sakit suami mengeluhkan sakit pada punggung, ototnya seperti ketarik. Saya sarankan sekalian saja periksa, akhirnya setelah konsultasi suster dokter syara, Dr Khor Gim Thean, kami disarankan datang besok karena dokternya mau pulang. Saya bilang kami besok mau pulang, pesawat jam tiga. Dia bilang besok aja.

Pas saya ke luar, saya ke toilet. Ternyata dokter Koh nyamperin dan nyuruh suami daftar sekarang. Padahal sudah jam 4 sore, katanya ditunggu takut besok ga sempat. Akhirnya daftar, konsultasi, suami di cek detail di semua yang sakit. Dokter suruh USG Abdomen, karena penyakitnya ini sudah lama, besok datang. Akhirnya USG Abdomen, dan ternyata masih ditunggu sama dokternya. Dokter bilang, minum obat inflamasi sebulan, kalau tak ada perubahan cek darah dan ct scan abdomen. Saya tanya apa bedanya dok? dia pun menerangkan dengan baik, kalau USG ga detail kalau CT Scan detail sampai isi perut.  Sumpah ini baru pertama kalinya ditunggu dokter seperti ini, kami pulang dengan tenang. Biaya konsultasi RM180, kemudian USG Abdomen RM281 dan obat RM240. Malah lebih mahal biaya suami ya., hehe


Tulisan ini dibuat bukan untuk menggeneralisir seluruh dokter di Indonesia. Saya hanya kecewa dengan oknum dokter terutama di rumah sakit swasta dan besar, tapi tak menyediakan cukup waktu bagi pasien. Dua hari lalu, saya antar emak berobat karena perutnya sakit yang menjalar ke punggung dan bertemu internis di rumah sakit swasta besar di Permata Hijau. Emak disuruh tidur sebentar dan kemudian cek pakai stetoskop dan sambil bilang besok USG Abdomen ya. Beruntung saya sudah antisipasi, dokter bilang bagus dan langsung tulis obat. Saya tanya, apa penyakit emak saya, baru jawab Maag. Tanya lagi, trus dijawab dengan agak malas-malasan seperti makan sambel, jangan makan rendang dulu. Padahal kami konsultasi dengan Bahasa Minangraya, karena dokternya keturunan Minangkabau. Tapi semua proses tak lebih dari 10 menit. Biayanya Rp170 ribu untuk konsultasi dan Rp556 ribu untuk tiga macam obat.

Padahal kata emak, yang dibutuhkan orang sakit itu bukan obat tapi didengar keluhan sama dokter itu lebih dari obat sebenarnya. Saya tidak tahu apa penyebab dokter enggan meluangkan banyak waktu untuk pasien, apa karena kebanyakan "ngamen" di rumah sakit lain, berbeda dengan di Mahkota yang hanya satu dokter praktik dari pagi sampai sore.

Saya yakin, masih banyak dokter yang berdedikasi dan baik hati di Indonesia. Mereka yang berjibaku di rumah sakit umum dan melayani pasien BPJS Kesehatan dengan sepenuh hati adalah pahlawan sesungguhnya..

Besoknya, ketika mau pulang ke Jakarta. Kami ke Melaka Sentral untuk naik bus ke bandara. Di Melaka, ada tukang jualan kerudung nanya ke saya, kakak dari mana? Saya jawab dari Jakarta, ngapa kakak ke sini? saya jawab berobat, ke Mahkota ya? iya.

"Wah kak, bagi kami mahal tuh (karena swasta). Kalau rumah sakit kerajaan (punya pemerintah) biaya berobatnya cuma RM1."

Alamak....

Saya mati merasa murah berobat ke Melaka, orang sini malah bilang mahal....Hiks





Tidak ada komentar:

Posting Komentar