Sabtu, 14 November 2015

Berita, Opini Publik dan Komunikasi Politik




A.    PENDAHULUAN

Suatu komunikasi atau informasi yang dihantarkan melalui media massa tentunya baik secara sengaja maupun tidak akan berpengaruh atau menimbulkan efek bagi penerima/pemirsanya. Jika dilihat dari muatan informasinya, maka isi dari informasi di media massa secara garis besar dapat digolongkan menjadi berita dan komunikasi politik. Secara umum, kedua jenis informasi ini akan berpengaruh kepada tingkat pengetahuan, opini dan perilaku pemirsanya, baik secara sengaja maupun tidak. Secara sengaja artinya, efek telah direncanakan atau didesain oleh sang pembuat informasi agar pemirsanya memiliki pengetahuan, opini dan perilaku tertentu yang diinginkan. Secara tidak sengaja artinya, sang pembuat informasi murni memberikan informasi tanpa maksud untuk mengarahkan atau menciptakan pengetahuan, opini ataupun perilaku tertentu dari pemirsanya. Contoh efek yang disengaja adalah informasi yang bersifat propaganda, misalnya sang pemberi informasi ingin pemirsanya di dalam populasi tertentu memiliki kebencian terhadap praktik premanisme. Maka, informasi yang diberikan dibuat menampilkan berbagai hal negatif yang ditimbulkan premanisme dan bagaimana masyarakat akan dirugikan karenanya. Mendapat berbagai informasi tersebut, maka pemirsanya akan membenci praktik premanisme, persis seperti yang diinginkan oleh sang pemberi informasi. Sedangkan contoh efek yang tidak disengaja misalnya media massa murni memberitakan mengenai hasil riset bagaimana pola hidup tidak seimbang antara pekerjaan dan kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan tekanan dan tingkat stress tertentu yang akhirnya meningkatkan risiko terhadap penyakit kritis. Menerima informasi seperti ini, banyak pemirsa di dalam satu populasi akhirnya mulai memperbaiki pola hidup mereka supaya lebih seimbang dan terhindar dari stres.


Berita dan komunikasi politik inilah yang biasanya mendominasi isi informasi (konten) pada surat kabar konvensional. Hal inilah yang kemudian mendapat ‘tantangan’ dari kemunculan media baru yang berbasis internet.Dengan karakteristiknya, media baru ini menawarkan jenis dan sumber informasi yang lebih beragam, sehingga pemirsa dapat memilih informasi sesuai dengan preferensinya.Berbagai hal di atas merupakan hal-hal penting dan garis besar dari pembahasan mengenai efek media yang ingin dijelaskan oleh McQuail.


B.     PEMBELAJARAN DARI BERITA

Seperti dikatakan pada bagian pendahuluan, bahwa pengaruh dari informasi melalui media kepada pemirsanya adalah memberikan pengetahuan, membentuk opini dan menentukan perilaku tertentu.Lalu bagaimana sebuah berita dapat memberikan pengetahuan atau pembelajaran bagi pemirsanya?Pada dasarnya sebuah berita tidak diciptakan untuk tujuan pembelajaran.Malahan berita alaminya memiliki karakteristik ‘cepat menguap’ dan bersifat informasi sampingan.Namun, jika suatu berita dapat menjangkau pemirsa tertentu yang memiliki ketertarikan untuk memperhatikan, memahami dan mengingatnya maka efek pembelajaran bisa terjadi. Menurut McQuail, ada beberapa faktor yang dapat membuat pemirsa belajar atau memperoleh pengetahuan dari sebuah berita:

1.      Pemirsa harus memiliki pengetahuan dasar dan ketertarikan terhadap suatu informasi
2.      Pemirsa harus dapat melihat relevansi dari topik yang diterima
3.      Sumber beritanya harus kredibel dan terpercaya
4.      Pemirsa harus bisa membuat/memperoleh ilustrasi visual
5.      Subyek berita harus konkret dan memiliki karakteristik sebagai ‘berita murni’
6.      Berita harus dapat memenuhi berbagai kerangka interpretasi yang tersedia
7.      Berita harus dibuat berulang/repetisi
8.      Teks berita harus dibuat naratif

Untuk dapat memperoleh pembelajaran dari sebuah berita, pemirsa akan melakukan proses untuk mengolah informasi yang terkandung di dalamnya melalui sebuah schemata yang merupakan struktur kognitif yang terdiri dari pengetahuan dasar yang terorganisir mengenai situasi maupun individual yang terabstraksi berdasarkan pengalaman sebelumnya. Schemata digunakan untuk memproses informasi baru maupun menarik kembali informasi yang telah tersimpan. Berikut ini sebuah alur pemrosesan sebuah berita secara kognitif oleh pemirsanya yang dikemukakan oleh McQuail dan Windahl yang diadaptasi dari model milik Graber (Grafik 1)





























Grafik 1. Model alur pemrosesan informasi (McQuail dan Windahl; diadaptasi dari Gruber)

Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa schemata yang berhubungan erat dengan kerangka interpretasi merupakan perangkat kognitif individu yang menentukan apakah berita dapat menjadi sebuah pembelajaran.Lalu apakah hal ini mutlak seperti demikian? Menurut McQuail, daya tangkap masing-masing individu berbeda-beda. Dengan demikian schemata yang dimilikinya juga berbeda-beda.Oleh karenanya agar suatu berita dapat relevan terhadap schemata dari sejumlah besar individu, suatu berita disajikan dalam bentuk eksemplifikasi yang berguna untuk menghasilkan ilustrasi yang lebih konkret secara obyektif. Menurut Jensen, ada empat dimensi yang membuat pemirsa dapat memahami sebuah berita:

1.      Ruang; pemirsa memutuskan jika dan bagaimana suatu peristiwa yang terjadi pada jarak tertentu berpengaruh terhadap mereka.
2.      Kekuatan; bagi pemirsa, pengaruh berita akan lebih kuat jika hal itu dirasa dekat dengan kepedulian mereka.
3.      Waktu; pemirsa akan melihat suatu peristiwa dan menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu dan perkiraan masa depannya
4.      Identitas; pemirsa akan menghubungkan dirinya atau mengambil jarak dari peristiwa, tempat ataupun orang-orang di dalam berita.

Yang terakhir, agar pemirsa dapat memperoleh pembelajaran maka berita harus memiliki kredibilitas dan terpercaya. Menurut hasil penelitan yang dilakukan oleh Gaziano dan McGrath (1987) mengatakan bahwa ternyata bagi pemirsa, sumber berita yang dianggap kredibel berarti menampilkan keadilan, tidak bias dan menunjukkan itikad baik, tanpa terlalu mementingkan akurasi maupun reliabilitas dari informasi yang diberikan. Dengan kata lain, sumber berita menjadi lebih penting untuk menentukan kredibilitas daripada muatan informasinya.

Contoh: suatu berita mengenai isu reshuffle kabinet di pemerintahan Jokowi diberitakan dengan muatan informasi yang sama di dua surat kabar berbeda, yaitu Lampu Hijau dan Media Indonesia. Tentu bagi pemirsa berita yang dianggap lebih kredibel adalah yang dimuat oleh Media Indonesia, karena editorial dari Lampu Hijau dianggap semata mengejar sensasionalitas saja.

Contoh lainnya adalah mengenai blog. Informasi yang ilmiah mengenai suatu jenis penyakit kritis namun dimuat di dalam blog milik seorang travel bloggerakan menjadi tidak kredibel bagi pemirsanya. Namun jika dimuat oleh seorang dokter spesialis penyakit dalam di dalam blog-nya, maka akan menjadi kredibel.





C.     PENYEBARAN BERITA

Penyebaran berita dan hubungannya terhadap bagaimana berita diserap dan berpengaruh sehingga melalui suatau berita individu dapat mengingat kembali suatu peristiwa. Ada empat variabel yang dianggap mendukung penyebaran berita:

1.      Adanya individu-individu dalam satu populasi yang tahu mengenai suatu peristiwa
2.      Seberapa penting atau menonjolnya sebuah peristiwa
3.      Banyaknya informasi mengenai suatu peristiwa yang terhantarkan
4.      Mana yang lebih dulu membuat suatu peristiwa terdengar, apakah melalui media atau melalui kenalan

Dalam proses penyebaran berita, ke-empat variabel tersebut dapat saling berhubungan dan menjadi sangat kompleks, namun ada satu model interaksi yang dapat dijelaskan melalui kurva J, yaitu hubungan antara proporsi dari individu yang mengetahui suatu peristiwa dengan proporsi dari individu yang mendengar mengenai peristiwa tersebut dari kenalannya.

Hubungan ini mengatakan bahwa jika suatu peristiwa diketahui (nyaris) semua orang (seperti misalnya peristiwa 9/11, atau meninggalnya Michael Jackson) maka semakin tinggi jumlah individu yang mendengar peristiwa itu dari kenalannya.Namun jika suatu peristiwa tidak banyak diketahui oleh orang, maka semakin besar kemungkinan individu mendengar peristiwa tersebut dari sumber berita.

Terkait dengan kecepatan penyebaran suatu berita, Chaffee (1975) mengatakan bahwa ada tiga pola penyebaran yang sering ditemukan: penyebaran yang tidak sempurna, akselerasi yang sangat cepat di awal, akselerasi yang sangat lambat.







D.    EFEK DARI ‘PEMBINGKAIAN’ BERITA

Pembingkaian berita biasanya dilakukan oleh sebuah media/jurnalisnya dengan tujuan untuk mengarahkan pemirsanya kepada satu bagian tertentu dari suatu peristiwa. Dalam hubungannya terhadap efek dari suatu berita, menurut Capella dan Jamieson pembingkaian dapat mengaktivasi kesimpulan, gagasan, penilaian dan perlawan terhadap isu tertentu yang mungkin saja tidak terjadi jika berita ditampilkan secara komprehensif atau menyeluruh.

Pembingkaian berita seringkali terjadi di dalam bentuk komunikasi politik. Di mana proses terjadinya efek pembingkaian melibatkan tiga pihak: sumber atau organisasi media ketertarikan, jurnalis dan pemirsanya. Pembingkaian sendiri dapat dilakukan oleh masing-masing pihak. Media melakukan pembingkaian dengan argumen bahwa suatu peristiwa memiliki ‘nilai’ dan ‘sudut pandang’ yang pantas dan menarik diberitakan, sedangkan pemirsa juga dapat melakukan pembingkaian berita sesuai dengan bagaimana ia ingin memproses berita tersebut sesuai ‘nilai’ dan ‘sudut pandang’ pribadinya.

E.     PENGATURAN AGENDA/ISI BERITA

Istilah pengaturan berita pertama kali dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1972, 1993) untuk menjelaskan fenomena mengenai isi berita ketika masa-masa terjadinya kampanye partai atau tokoh politik. Meurut mereka yang dimaksud dengan pengaturan agenda adalah bahwa media ‘menentukan’ apa yang kiranya menjadi berita utama pada situasi atau waktu tertentu. Pemirsa kemudian akan menerima topik berita tersebut dan mengaggapnya sebagai peristiwa penting atau perbincangan yang sedang hangat.

Sementara itu, Dearing dan Rogers (1996) melihat pengaturan agenda sebagai sebuah kompetisi di antara para pelaku sebuah isu untuk mendapatkan perhatian dari para profesional media, publik dan elit politik.Mereka membuat generalisasi yaitu yang pertama bahwa dalam pengaturan agenda terlihat bahwa beberapa media berbeda seakan-akan saling setuju untuk menonjolkan suatu topik tertentu di waktu tertentu.Kedua, pengaturan agenda tidak mendekati dengan indikator-indikator di dunia nyata.Bukanlah signifikansi isu yang yang penting, namun lebih kepada faktor-faktor yang ditampilkan agar pemirsa ikut mempromosikan suatu isu. Ketiga, posisi dari suatu isu di dalam pengaturan agenda akan menentukan isu yang menonjol di agenda publik.
Serupa dengan pengaturan agenda, di dalam bentuk komunikasi politik juga banyak ditemukan apa yang disebut sebagai priming, yaitu bentuk spesifik dari pengaturan agenda yang menempatkan individu atau tokoh tertentu di dalamnya. Contoh: pada waktu terjadi kebakaran hebat pada berbagai hutan di wilayah Indonesia yang menyebabkan berbagai daerah terkena dampak asap, maka media melakukan pembingkaian dan pengaturan agenda selama beberapa waktu untuk menyoroti berbagai tindakan penanganan terhadap bencana asap. Di dalam pengturan agenda, maka dimunculkanlah tokoh-tokoh politik maupun tokoh masyarakat tertentu yang memiliki opini mewakili publik dalam memandang bencana tersebut. Bagaimana media memunculkan tokoh tertentu di tengah-tengah perbincangan hangat suatu isu akan memberikan efek tertentu bagi pemirsa. Efek yang dimaksud dapat menjadi positif, maupun negatif.Namun dalam tujuan komunikasi politik, priming dilakukan agar publik menilai positif seorang tokoh.

F.     EFEK TERHADAP OPINI DAN SIKAP PUBLIK

Penelitian komunikasi massa dimulai dengan harapan menemukan pengaruh yang signifikan dari media massa terhadap opini dan publik. Opini dan sikap tidak dapat diamati secara langsung atau didefinisikan secara cukup tepat untuk memungkinkan adanya pengukuran yang pasti.Sikap merupakan kepribadian dasar atau perangkat mental terhadap beberapa objek yang secara umum diukur dalam kaitannya dengan respons verbal terhadap pernyataan evaluatif.Sikap adalah penilaian secara primer dan pelekatan atribut yang dibuat oleh individu meskipun mungkin untuk mengatakan mengenai ‘sikap publik’ sebagai sebuah penilaian dari kecenderungan utama dalam sebuah kelompok atau kumpulan.

Opini adalah sebuah pernyataan preferensi terhadap satu pihak argumen atau pilihan yang ada.Opini memiliki karakter yang spesifik dan sementara, dan seseorang dapat memiliki banyak opini atas topik-topik yang berbeda tanpa perlu adanya kohesi.Opini memiliki kekuatan yang beragam yang mana mereka dipegang dan dalam derajat di mana mereka didasarkan pada informasi yang benar.Opini juga bersifat individual walaupun dapat terkumpul, sehingga membentuk sesuatu yang disebut opini publik yang biasanya diambil untuk mengartikan kecenderungan dominan atau rangkuman dari pandangan dari populasi secara keseluruhan.Opini publik menjadi sebuah ‘fakta sosial’ objektif yang harus dipertimbangkan oleh politikus dan pihak lainnya.
Relevansi untuk ide mengenai efek media adalah sebagai berikut.Media diharapkan memiliki potensi yang cukup untuk mempengaruhi opini individual walaupun sebagian besar tidak sengaja dengan menyediakan informasi atas isu yang ada dan memberikan pilihan atas isu tersebut. Dengan mempublikasikan hasil poling opini atau dengan menyatakan pandangan publik atas isu tertentu melalui editorial, mereka menambahkan elemen lain dari pengaruh potensial. Media kurang lebih cenderung memengaruhi sikap daripada opini, bahkan ketika mereka membawa informasi evaluatif yang baru dan relevan.Salah satu dasar dari pengaturan, baik sikap maupun opini adalah dasar mereka pada keanggotaan dari kelompok sosial dan pengaruh latar belakang sosial di mana mereka bergerak.Prinsip kedua adalah konsistensi atau keseimbangan.Hal ini diungkapkan dalam gagasan yang disebut ‘konsistensi kognitif’.

Teori disonansi kognitif (cognitive dissonance) memprediksi bahwa kita akan cenderung mencari informasi atau gagasan yang memelihara konsistensi dan menghindari ketidaknyamanan atau opini yang tidak sesuai (Festinger, 1957). Hal ini juga berarti bahwa informasi baru dapat mengganggu sikap yang sudah ada dan mengarah pada penyesuaian kembali. Ini merupakan salah satu alasan mengapa pembelajaran yang mapan atau efek informasi dari media massa lebih penting dalam jangka panjang.

Berikut adalah faktor-faktor yang memengaruhi kesempatan efek media terhadap opini dan sikap:

1.      Otoritas, kewenangan dan kredibilitas yang dipersepsikan atas sumber; konsistensi konten pesan media; keterikatan dan kesetiaan terhadap sumber.
2.      Motif perhatian terhadap media; persetujuan terhadap konten dengan opini atau keyakinan yang telah ada; jumlah dan kualitas perhatian yang diberikan.
3.      Keahlian dan daya tarik pesan dan penyajian; dukungan dari kontak personal dan lingkungan.








G.    PENGARUH MODEL ELABORATION-LIKELIHOOD

Ada sejumlah model yang mewakili cara bagaimana informasi dan kesan diproses melalui berbagai upaya untuk memengaruhi atau mempersuasi, terlepas dari beragam varian perlakuan yang diberikan. Salah satu model pengolahan kognitif secara khusus yang sering kali diterapkan adalah elaboration-likelihood model (ELM) dari Petty dan Cacioppo (1986).Elaborasi merujuk pada batasan di mana seseorang berpikir mengenai suatu isu dan mengenai argumen yang relevan yang terkandung dalam pesan. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang termotivasi untuk memegang ‘sikap yang benar’ dalam artian mereka menjadi rasional, koheren dan konsisten dengan pandangan yang lain. Pada saat yang bersamaan, tidak semua orang memiliki waktu atau kapasitas untuk membangun sikap semacam itu dan kita selektif dalam perhatian yang kita berikan terhadap isu dan argument.Kita memberikan lebih banyak upaya untuk memahami dan mengevaluasi masalah dari kepentingan pribadi dan relevansi yang lebih besar.Hal ini tercermin melalui bagaimana kita mengolah informasi yang masuk baik secara terpusat (elaborasi tinggi) maupun secara periferi.

H.    THE SPIRAL OF SILENCE: PEMBENTUKAN IKLIM OPINI

Konsep ‘spiral of silence’ diambil dari badan teori yang lebih besar mengenai opini publik yang dibangun dan diuji oleh Noelle-Neuman (1974, 1984, 1991) selama bertahun-tahun. Teori yang relevan ini membahas interaksi antara empat elemen : media massa, komunikasi antarpribadi dan hubungan sosial, pernyataan opini individual, dan persepsi di mana individu memiliki ‘iklim opini’ yang melingkupi dalam lingkungan sosial mereka sendiri. Asumsi utama dari teori ini (Noelle-Neuman, 1991) adalah sebagai berikut:

1.      Masyarakat mengancam individu yang menyimpang dengan isolasi.
2.      Individu mengalami ketakutan akan isolasi secara terus menerus.
3.      Ketakutan akan isolasi ini menyebabkan individu untuk mencoba mengukur iklim opini sepanjang waktu.
4.      Hasil dari perkiraan ini memengaruhi perilaku mereka dalam publik, terutama kesediaan mereka untuk mengekspresikan opini secara terbuka maupun tidak.

Secara singkat teori ini mengajukan bahwa untuk menghindari isolasi dalam isu publik yang penting (misalnya dukkungan partai politik), banyak orang dipandu oleh apa yang mereka pikir sebagai opini yang dominan atau yang melemah dalam lingkungan mereka. Masyarakat cenderung menyembunyikan pandangan mereka jika mereka merasa sebagai minoritas dan akan lebih memilih untuk mengungkapkan opini jika mereka merasa memiliki pendapat yang dominan. Hasilnya adalah bahwa pandangan-pandangan tersebut yang dipersepsikan sebagai dominan mendapatkan lebih banyak pondasi dan pandangan alternatif akan semakin menjauh. Ini merupakan efek spiral yang dimaksud.

Dalam konteks masa kini, poin utamanya adalah bahwa media massa merupakan sumber yang paling siap diakses untuk mengukur iklim yang ada saat ini, dan jika pandangan tertentu mendominasi di media, maka pandangan tersebut akan cenderung ditingkatkan dalam tahap selanjutnya dari pembentukan dan pengungkapan opini.

Efek pihak ketiga

Berkaitan dengan teori spiral of silence adalah gagasan mengenai efek pihak ketiga dari media terhadap opini publik yang pertama kali diajukan oleh Davison (1983). Poin utamanya adalah banyak orang yang sepertinya berpikir bahwa orang lain dipengaruhi oleh berbagai jenis konten media, tetapi diri mereka sendiri tidak. Persepsi ini berlanjut dengan kecenderungan untuk mendukung sensor (MsLeod et al., 2001). Efek media yang dilebih-lebihkan juga dikaitkan dengan kecenderungan yang meluas dengan setara untuk yakin bahwa media berita melakukan bias terhadap sudut pandang dari mereka yang terlibat dalam isu tertentu (Gunther dan Christen, 2002) juga dengan sedikit atau tanpa dukungan bukti.










I.       MEMBENTUK REALITAS DAN BIAS YANG TIDAK DISADARI

Serupa dengan sebagian besar teori dalam wilayah ini adalah pandangan bahwa efek media jangka panjang terjadi tanpa disengaja sebagai hasil dari kecenderungan organisasi media, praktik pekerjaan, keterbatasan teknis dan penerapan sistematis dari nilai berita, kerangka dan format tertentu. Gagasan bahwa media ‘membentuk realitas’ dengan cara yang sering kali dibentuk oleh kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri telah sering kali diperlihatkan. Contoh awal adalah penelitian oleh Lang dan Lang (1953) terhadap peliputan televisi mengenai kembalinya Jenderal McArthur dari Korea setelah pemanggilannya. Hal ini menunjukkan bagaimana peristiwa yang skalanya relative kecil dan cenderung rahasia, diubah (dalam peliputannya) menjadi sesuatu yang mendekati demonstrasi massa atas sambutan dan dukungan oleh perhatian yang selektif dari kamera dan komentar untuk menunjuk pada sebagian besar aktivitas dan kepentingan. Khalayak mempersepsikan peristiwa kurang lebih sejalan dengan framing yang ada di televisi daripada bagaimana hal tersebut sesungguhnya terjadi.

Sebagian besar efek yang dirujuk disini barangkali diambil dari ‘bias yang tidak disadari’ dalam media, tetapi potensinya untuk mendefinisikan realitas sering kali dieksploitasi secara sengaja. Istilah ‘peristiwa semu’ (pseudo-event) telah digunakan untuk merujuk pada kategori peristiwa yang kurang lebih dibuat untuk mendapatkan perhatian atau menciptakan kesan tertentu (Boorstin, 1961; McGinnis, 1969). Teknik penyajian peristiwa semu ini sekarang merupakan taktik yang akrab dalam banyak kampanye pemilihan, tetapi yang lebih signifikan adalah kemungkinan bahwa presentase yang tinggi dari peliputan media mengenai ‘sifat aktual’ yang benar-benar membentuk peristiwa yang terencana yang ditujukan untuk membentuk kesan mendukung satu pihak ketimbang yang lain. Mereka yang mampu memanipulasi peliputan yang sesungguhnya adalah mereka yang paling berkuasa; sehingga bias; jika ada, dapat tidak disadari oleh media, tetapi tentunya tidak demikian bagi mereka yang mencoba membentuk ‘citra’ mereka sendiri (Molotch dan Lester, 1974).

J.      KOMUNIKASI RESIKO
Salah satu fungsi yang dikaitkan dengan media masa adalah untuk menyediakan peringatan publik mengenai kemungkinan adanya berbagai bahaya dan resiko.Ini adalah salah satu penjelasan (jika bukan justifikasi) yang diberikan terhadap perhatian dalam berita (dan fiksi) yang tidak seimbang dibandingkan dengan criminal, kekerasan, bencana alam, kematian, dan penyakit. Dalam momen tertentu, pelaporan media mengenai situasi berbahaya dapat berujung pada reaksi panik berjangka pendek., tetapi seringkali isu dari efek media muncul dalam bentuk lainnya:
Pertama, adanya kecenderungan media untuk menggambarkan dunia – setidaknya secara implisit – tampak lebih berbahaya dibandingkan keadaan nyatanya (dibuktikan oleh statistik). Perhatian dialihkan dari penyebab kematian yang sering terjadi, seperti kematian, penyakit, dan bencana (kecelakaan jalanan, malnutrisi, dan kemiskinan) dan menuju kehancuran yang lebih dramatis namun jarang terjadi (pecahnya teroris, kecelakaan udara, gempa bumi, dst.). Ini dapat dikatakan sebagai menyesatkan masyarakat mengenai sifat alami dari berbagai resiko yang dapat muncul. Kritik yang serupa berlaku untuk hubungan antara pelaporan kejadian criminal, aktivitas nyata kejatahan, dan ketakutan masyarakat terhadap kejahatan (Lowry et. Al, 2003; Rommer et al., 2003).
Kedua, adanya kegagalan media karena memberikan masukan kepada masyarakat dalam banyak resiko yang berkaaitan dengan inovasi sains, ancaman lingkungan, bioteknologi, genetika, dan masalah sejenis, meskipun sedikitnya kemampuan serta adanya ketidakpastian secara intrinsik dari sebuah kasus yang diberitakan oleh mereka (Priest, 2001).
Ketiga, media cenderung bertindak sebagai penerus berbagai jenis informasi dan argument dari semua jenis sumber yang dapat memperingatkan ataupun meyakinkan, akan tetapi tanpa adanya tanggung jawab editorial yang dapat dilakukan – Internet sebagai contoh paling nyata.
Pada akhirnya, media seakan terlihat sebagai sumber dari ketidakpastian dan bahaya yang masyarakat harus berhati-hati dalam menerima segala informasi yang ada.

K.    EFEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM DEMOKRASI
Terdapat hubungan intim antara komunikasi masa dengan pelaksanaan politik dalam berbagai jenis rezim pemerintahan.
Dalam masyarakat totaliter ataupun otoriter, elit berkepentingan menggunakan kekuatan media untuk memastikan kepatuhan dan kesamaan perilaku serta untuk menahan laju munculnya pendapat yang berseberangan dengan rezim yang berkuasa.
Dalam demokrasi, media memiliki hubungan yang kompleks dengan sumber kekuatan para penguasa serta system politik yang ada. Di satu sisi, mereka menemukan fungsi dasar mereka sebagai penyedia layanan bagi para konsumen mereka sesuai dengan penilaian dari kebutuhan akan hal-hal yang menarik. Untuk bertindak seperti ini, maka media harus independen dan bebas dari pemerintahan serta para pemangku kepentingan. Di lain sisi, mereka juga menyediakan moda bagi pemerintah serta pemangku kepentingan untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan sebagai wadah berbagi sudut pandang politik mereka dan kelompok kepentingan masyarakat lainnya. Mereka juga mempromosikan sirkulasi dari berita dan opini dalam ruang lingkup masyarakat yang mengikuti perkembangan politik nasional.
Ada kemungkinan ketiga yakni pemerintah memiliki pengaruh yang besar dan efektif secara Cuma-Cuma dengan media yang sudah ditentukan.Sebagai contoh, media jaman pasca-komunisme di Russia serta di Italia dalam masa kepemimpinan Perdana Menteri Berlusconi.

L.     BENTUK UTAMA KOMUNIKASI POLITIK BERTAJUK “EFEK”
Pertama, media digunakan secara intensif oleh para kandidat dan partai politik untuk berkampanye secara periodik untuk pemilihan umum.
Kedua, terdapatnya alur berita positif ataupun negative terhadap pemerintahan ataupun para pemain di panggung politik.
Ketiga, dalam berbagai tingkatan, adanya kesempatan beriklan politik oleh para pelaku yang sama. Percobaan yang lebih spesifik untuk memengaruhi pendapat dalam sebuah isu mewakili beragam kelompok penekan juga kadang dibuat.
Berkaca dari penelitian oleh Lazarsfeld dkk (1941) dan Semetko (2004) terhadap pemilihan presiden, terdapat beberapa penemuan penting dan konsisten:
Pertama, kampanye pemilihan biasanya pendek dan intensif, akan tetapi tidak memiliki dampak langsung dari sekedar keinginan untuk memlih hingga memilih orang tersebut. Media sangat digunakan oleh para pihak yang berkampanye, tetapi kurang mendapatkan respons bagus dari para pemilih.Sulit untuk mendapatkan bukti bahwa media memiliki pengaruh hebat dalam memengaruhi hasil dari sebuah pemilihan umum.Hanya memiliki sedikit efek langsung terhadap keengganan seseorang dalam memilih ataupun tidak.Sikap dasar berpolitik tidak jarang terlalu mengakar, sehingga sangat rentan terhadap banyak perubahan, walaupun berkembangnya pemisahan diri dari aliansi yang kuat membuka jalan untuk pengaruh yang lebih besar.Opini terhadap isu-isu tertentu dapat dipengaruhi oleh media; adapun terdapat bukti mengenai potensi untuk mempleajari isu dan kebijakan yang ada, terlebih oleh mereka yang pada umumnya acuh dan tidak tertarik.Penelitian oleh Norris dkk (1999) menegnai pemilihan umum di Inggris menunjukkan bahwa tayangan berita yang menunjukkan partai dapat memengaruhi sikap terhadap partai tertentu dalam jangka yang pendek secara signifikan.
Kampanye pemilihan umum menarik beragam jenis perhatian masyarakat (termasuk keacuhan) dengan motivasinya sendiri; seberapa besar penngaruhnya bergantung kepada disposisi dan motif dari pada pemilih, bukan kepada keinginan dari para pelaku kampanye.Blumler dan McQuail (1968) menemukan bahwa kampanye pemilihan umum secara intensif memiliki pengaruh yang lebih besar dan dapat menyentuh golongan masyarakat yang belum terafiliasi/pro ke pihak manapun serta yang kurang informasi tentang calon tertentu.Schoenbach dan Lauf (2002) menyebut ini sebagai sebuah efek perangkap”.Sebuah penemuan berikutnya mengatakan bahwa akibat dari fragmentasi audiens, kita sedang memasuki era baru akan efek minimal” (Bennett and Iyengar, 2008).Elemen kunci dari temuan mereka adalah matinya audiens yang tidak ingin terlalu memahami dunia politik” dan bangkitnya para simpatisan-partisan yang secara konstan mencari pemberitaan yang mendukung dan sejalan dengan paham pemikiran mereka terhadap badan atau partai politik tertentu.
Tidak adanya efek berpengaruh dari kampanye melalui media dapat dilihat dair beberapa faktor selain perhatian secara selektif dan keberagaman motivasi, yaitu tidak adanya ruang untuk perubahan dalam isu yang sudah familiar, efek pembatalan dari pesan yang berlawanan, efek dari hubungan pribadi, dan karakter kampanya yang minim dengan perbedaan. Dalam demokrasi di dunia Barat, skala dan kualitas dari perhatian yang diberikan terhadap para pemain kunci sebuah pemilihan umum seringkali serupa (Norris dkk. 1999; D’Alessio dan Allen, 2000; Noin, 2001) – kampanye cenderung hanya untuk menjaga status quo, bukan untuk menciptakan perubahan.Akan tetapi, jika salah satu pihak gagal dalam kampanyenya, maka adapun sebuah kejadian juga dapat memengaruhi keseimbangan secara dramatis.
Partai yang berkampanye beserta kandidatnya biasanya memilih strategi komunikasi mereka, tergantung dari keadaan dan sumber daya yang mereka miliki, serta tidak jarang melihat dari apakah calon mereka itu calon inkumben (sedang memegang posisi dan ingin mencalonkan kembali – lebih kuat) atau tidak.Mereka dapat memilih untuk mengkaitkan diri mereka dengan isu tertentu yang mereka sudah lebih paham ataupun punya jejak rekam di dalamnya.Disinilah kemampuan untuk menggambarkan sebuah isu dan menciptakan agenda pemberitaan sangat berpengaruh.Disinilah mereka dapat coba untuk menang melalui ideologi ataupun prinsip (cenderung lebih sulit dan lebih beresiko). Mereka juga mudah untuk mendapatkan imej menarik tentang mereka bukan melalui kebijakan, akan tetapi melalui gaya ataupun kepribadian badan mereka. Mereka juga dapat menyerang lawan mereka melalui titik lemah yang ada, meskipun perlu diketahui bahwa tindakan negatif seperti ini dapat memicu para pemilih untuk beralih.
Pertanyaan terkait moda apa yang lebih efektif dalam meraih hasil melalui kampanye merupakan fokus dari penelitian terdahulu, khususnya setelah kehadiran dari televisi. Akan tetapi, di lingkungan multimedia, itu bukanlah isu yang terlalu penting dan juga merupakan isu yang sulit untuk dicari tahu lebih lanjut. Norris dan Sanders (2003) menyimpulkan bahwa yang berpengaruh lebih adalah apa yang terdapat dalam pesannya serta disposisi dari para audiensnya. Dilihat secara consensus, tidak ada moda yang lebih baik, akan tetapi masing-masing memiliki kelebihan dan ciri khasnya tersendiri. Media yang berbeda antara satu dan yang lainnya memiliki fitur institusional yang memengaruhi dampak mereka (contoh: Koran cenderung lebih partisan dibandingkan televise) dan mereka menarik audiens yang berbeda-beda dengan motivasi yang beragam. Druckman (2005) melihat kembali temuan yang membandingkan televise dengan media cetak. Risetnya dalam sebuah pemilihan umum menunjukkan bahwa bukan televisi, melainkan koran lah yang memilik peran signifikan dalam memberikan informasi kepada para pemilih.
Komunikasi politik dari sudut pandang pemberitaan umum merefleksikan prosess berkelanjutan dari manajemen berita dan kompetisi untuk menentukan berita acara dan isu-isu yang akan diangkat atau didiskusikan. Semua pemain penting merekrut manajer berita professional untuk memastikan adanya akses secara konstan kepada berita sehari-hari dan juga untuk memastikan berita yang rilis adalah berita yang cantik dan seindah mungkin.Pengaruh seperti itu sulit untuk diukur dari aspek efektivitas, akan tetapi terdapat support bagus dalam teori yang mengatakan bahwa berita menyediakan lingkungan bagus untuk pesan berpengaruh, karena seringkali diwarnai dengan sumber yang independen, kredibilitas, dan tidak adanya keterikatan dengan asosiasi yang berpropaganda. Dalam prakteknya, dalam banyak demokrasi yang berjalan, kurang lebih akses ke berita dapat diraih oleh para pemain penting yang bertarung untuk memegang posisi tertentu dalam sebuah pemilihan – cukup untuk menghindari adanya imej tertentu yang terbentuk terhadap sebuah pemberitaan.
Iklan politik bergantung dari sumber daya yang dimiliki, akan tetapi efek potensialnya terbatasi oleh karakternya yang cenderung bersifat propaganda. Adapun terdapat kemungkinan bahwa iklan politik memiliki efek samping di luar perkiraan.Selain itu, bukti valid dari adanya nilai dibalik iklan politik sulit untuk ditemukan (Goldstein dan Freedman, 2002).Akan tetapi, efeknya mungkin terlihat sesuai dengan yang diinginkan jika dilaksanakan secara konstan dan berulang.
Setelah berjalannya debat yang disiarkan di TV antara Kennedy dengan Nixon pada tahun 1960, kampanye semacam ini dilihat sebagai cara untuk menghidupkan politik serta menguji kompetensi dan kemampuan persuasi dari para calon. Kampanye ini sudah dilakukan dalam berbagai bentuk (Kraus dan Davis, 1976). Rasa takut akan adanya kegagalan tidak dapat dilepaskan dari kampanye semacam itu. Akan tetapi, temuan yang ada (salah satunya Coleman, 2000) membuktikan bahwa pengaruh terhadap pemilihan tidaklah signifikan. Adapun kampanye semacam ini akan berujung pada perubahan dari persepsi tentang para kandidad dan juga pemahaman mengenai kebijakan para kandidat. Di lain sisi, para calon inkumben melihat debat semacam ini tidak memiliki pengaruh positif dan lebih baik dihindari karena terlalu rawan.

M.   PENGARUH DARI INSTITUSI POLITIK DAN PROSESNYA
Keberadaan politik menjadi bukti dari proses adaptasi sebuah institusi sosial terhadap kemunculan media massa, terlebih setelah mengetahui bahwa media menjadi sumber utama dari informasi serta opini untuk publik. Perlawanan terhadap politik dari berkembangnya pemusatan media masa digabung dengan meningkatnya media logic” – pembelajaran terkait penggunaan instrument media dan segala konsekuensinya terhadap dunia media – muncul dalam beberapa bentuk:
1.      Pengalihan waktu dari partisipasi politik menjadi menonton televise (video malaise)
2.      Efek negative dari marketing politik terhadap kepercayaan pemilih dan landasan niat baik;
3.      Meningkatnya negativitas dari kampanye dan pelaporan kampanye;
4.      Meningkatnya biaya dan birokrasi dari kampanye;
5.      Kehilangan yang dialami oleh para simpatisan kelompok tertentu dan peningkatan dari ketergantungan terhadap saluran media dan para gatekeepers (media yang bertindak sebagai pintu filter pesan yang akan diteruskan kepada audiensnya).

Ide mengenai pengaruh dari media logic” terhadap institusi politik (Mazzoleni, 1987) termasuk: pengalihan terhatian dari local-regional menjadi nasional; ketergantungan lebih terhadap kepribadian dan imej dibandingkan terhadap substansi serta kebijakan; berkurangnya kampanye politik tatap muka; ketergantungan yang berlebihan terhadap dan penggunaan dari polling opini masyarakat.
Para Penjaga Gerbang” media massa telah meningkatkan pengaruh mereka dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan akses serta peratauran yang mengikat akses para politisi kepada publik. Mereka (Penjaga Gerbang) inilah yang bertanggung jawab dibelakang ditentukannya agenda pemberitaan untuk debat politik. Selain itu, ujian oleh media” menjadi fakta bagi setiap politisi yang terkena skandal (Thompson, 2000; Tumber dan Waisbord, 2004).
Kemenangan logika media di atas logika politik menjadikan adanya pemilihan umum sebagai balap kuda” dibandingkan momen pembelajaran mengenai isu dan kebijakan (Graber, 1976). Akhir-akhir ini dideskripsikan sebagai kecenderungan untuk konsentrasi pada berita strategis”, yaitu momen naik dan turunnya sebuah kampanye dan strategi pemilihan menjadi pemberitaannya, bukan lagi substansi dari proposal kebijakan dan argument yang terkait. Kecenderungan ini diartikan sebagai peningkatan sinisme para pemilih yang semakin meningkat (Capella dan Jamieson, 1997) serta pengurangan dari elemen informative (Valentino dkk, 2001).
Sudut pandang bahwa kampanye politik modern adalah tindakan yang tidak membantu terhadap tujuan dasarnya untuk menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi menjadi tidak terbantahkan. Norris (2000) mempelajari ulang bukti bahwa interaksi dengan politik demokratik secara terus-menerus diasosiasikan dengan banyaknya perhatian yang jatuh kepada media massa. Pasek dkk (2006) juga menyimpulkan bahwa penggunaan media, baik untuk informasi ataupun hiburan, memfasilitasi partisipasi publik dan kesadaran berpolitik.Moy dkk (2005) mengeluarkan pernyataan serupa.Efek signifikan dari sinisisme pemilih juga dipertanyakan. De Vreese (2005) menemukan bahwa laporan strategis tidak mendukung sinisisme dan sinisisme pun tidak terhubung dengan non-voting per se (secara intrinsic-dengan dirinya sendiri) karena itu merupakan kualitas dari mereka yang secara politis lebih memiliki kualitas. Adapun kehebatan logika media juga dilebih-lebihkan.Bennet dan Iyengar (2008) mengutip kampanya presiden Obama, ditambah dengan laporan politik dari sebuah pemilihan umum yang membandingkan logika media dengan logika partai, menunjukkan bahwa tidak cukup bukti yang menandakan logika media sudah mengalahkan logika partai (Van Aelst dkk, 2008).
Sedikit keraguan menyelimuti apakah kampanye pemilihan telah berubah menjadi acara yang di manage secara terlatih dan professional – serupa dengan iklan, acara PR dan marketing dibandingkan politik tradisional (Blumler dan Gurevitch), 1995). Menurut Esser dkk (2000), istilah spin doctor” diartikan sebagai babak baru dalam perkembangan komunikasi politik, dengan jurnalisme menyediakan meta-komunikasi” terkait manipulasi media yang didefinisikan sebagai refleksi referensi terhadap diri sendiri mengenai sifat alami hubungan antara PR dengan jurnalisme politik.
Cappella (2002) menyarankan agar tidak menganggap media sebagai penyebab, melainkan sebagai pencipta dan merefleksikan sudut pandang tertentu.Istilah mediatisasi (mediatization) digunakan secara luas untuk menjelaskan adaptasi para politisi terhadap kriteria sukses para media, beserta bertumbuhnya kepentingan dari politik secara simbolis (Kepplinger, 2002).

N.    KONSEP MEDIATISASI: KUTIPAN KUNCI
Keempat poses perubahan merepresentasikan aspek berbeda-beda mengenai mediatisasi (Schulz, 2004:98):
1.      Media meluaskan jangkauan dari komunikasi manusia;
2.      Media menggantikan aktivitas sosial dan institusi sosial;
3.      Media melebur dengan beragam aktivitas non-media di kehidupan sosial;
4.      Para pemain beserta organisasi dari berbagai sector komunitas mengakomodir diri mereka dengan logika media
Meyer (2002) menjelaskan proses diatas sebagai kolonialisasi sebuah ruang lingkup sosial (politik) oleh si penguasa (media). Menurutnya: Para politisi merasa ditekan untuk mendapatkan akses ke media. Bagi mereka, jika mereka memahami peraturan yang mengatur akses maka mereka dapat meningkatkan aksesibilitas mereka melalui media untuk mengenalkan diri mereka lebih jauh ke masyarakat.”Ini berujung pada penyerahan diri kepada teatrikal dan simbolisasi dari memperkenalkan diri sendiri. Kritik juga mengatakan mengenai adanya peningkatan dari tingginya kebohongan (superficiality) dan hilangnya keikhlasan dan spontanitasStromback berargumen bahwa proses seperti ini melalui 4 (empat) babak:
1.      Mediasi simple mengenai informasi politik dan ide dengan cara media cetak dan penyiaran.
2.      Otonomi media meningkat dan ketergantungan kepadanya mengikuti.
3.      Para pemain menginternalisasikan logika media, sehingga politik menjadi kampanye permanen. Media menjadi dominan dalam hubungan media-politik.Akan tetapi, Internet belum memiliki pengaruh besar dalam kasus ini.

O.    PROPAGANDA DAN PEPERANGAN

Berita juga dapat digunakan sebagai sebuah propaganda.Menurut Jowell dan O’Donnel (1999:6), propaganda didefinisikan sebagai sebuah upaya yang cermat dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi dan mengarahkan perilaku untuk memperoleh respon lebih jauh yang diinginkan oleh pihak yang melakukan propaganda.Meskipun istilah ini memiliki konotasi yang negatif dan memiliki keterkaitan yang erat dengan peperangan, namun sebenarnya propaganda dapat diaplikasikan pada situasi apapun, di mana sebuah komunikasi memang ditujukan untuk mempengaruhi individu.

Media massa memiliki fungsi yang sentral dalam sebuah upaya propaganda. Sesuai dengan penjelasan mengenai efek dari pemberitaan, maka media seringkali menjadi sasaran utama untuk dikuasai pihak yang ingin melakukan propaganda.Agar sebuah propaganda dapat berhasil, maka suatu informasi harus sebisa mungkin dimonopoli baik dari sisi isi, maupun penyebarannya.Oleh karena itu, propaganda memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi jika diarahkan kepada suatu populasi yang memiliki kesamaan baik dari sisi latar belakang maupun kerangka interpretasi. Di samping itu, media penyebarannya juga akan berpengaruh terhadap penerimaan dari pemirsanya. Jika suatu propaganda dilakukan melalui media yang memiliki kredibilitas dan terpercaya, maka penerimaan (kepercyaan) dari pemirsa akan lebih besar, dibandingkan propaganda yang dilakukan melalui media yang kurang kredibel.

P.     EFEK DARI PEMBERITAAN DI INTERNET

Semenjak kehadirannya, internet membawa warna baru terhadap sebuah pemberitaan.Baik dari sisi penyebaran dan penerimaan berita, internet menawarkan kecepatan, keleluasan dan kenyamanan bagi pemirsanya.Internet memiliki ruang yang lebih terbuka dan bebas dalam mempresentasikan dan menempatkan berita, oleh karenanya berpengaruh terhadap kredibilitas dan kepercayaan pemirsanya terhadap suatu peristiwa.Lebih dari itu, pemirsanya juga memiliki demografi yang berbeda dengan pemirsa dari media konvensional.Bahkan menurut Scheufele dan Nisbet (2002) pada tahapan sekarang ini, peranan internet dalam mempromosikan kemasyarakatan yang aktif dan terinformasi, masih minimal. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Althaus dan Tewkesbury (2002) kepada pembaca The New York Times versi cetak dan versi digital, menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda dari sisi agenda publik. Pembaca versi cetak rata-rata memiliki eksposur yang lebih tinggi di ranah publik dan memiliki perspsi yang lebih sistematis terhadap permasalahan yang dihadapi oleh suatu negara, terutama hal-hal terkait isu internasional.


Q.    KESIMPULAN DAN KOMENTAR

Dalam penjelasannya mengenai Berita, Opini Publik dan Komunikasi Politik, McQuail memberikan gambaran komprehensif dan terstruktur mengenai bagaimana produksi suatu berita memiliki tujuan, pengaruh dan agenda kepentingan di dalamnya. Dalam penjelasannya ini, McQuails seakan ingin menggambarkan bahwa dalam perkembangannya, berita yang diinformasikan melalui media berubah menjadi sebuah komoditas.Berita tidak lagi merupakan gambaran faktual, objektif dan bebas nilai dari suatu peristiwa, seperti yang didefinisikan pada awalnya.Berita kini memiliki motif di baliknya, baik yang positif seperti untuk memberikan pembelajaran, untuk memberikan pengetahuan sampai kepada motif yang konotatif seperti propaganda.

Namun demikian, perkembangan ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh transformasi media menjadi badan usaha sehingga upaya komersialisasi mempengaruhi bagaimana media mengorganisasi isi dan penyebaran berita. Dari sisi penerimanya (pemirsa) juga membawa pengaruh, karena menurut teori Elaboration Likelihood Teori bahwa individu secara kognitif akan memproses informasi yang relevan secara lebih rinci dan cermat dibandingkan informasi yang tidak memiliki cue tertentu. Oleh karenanya, pembuat berita akan mengupayakan agar berita menjadi relevan terhadap pembacanya, sehingga akan diproses di central processing system dari individu.

McQuail mengemukakan bahwa berita di internet memiliki posisi dan pemirsa yang berbeda dibandingkan berita di media cetak. Hal tersebut memang saat ini masih relevan, namun jika kita lihat pada 10-20 tahun ke depan, bisa jadi anggapan tersebut akan salah. Memang benar bahwa pada saat ini agenda publik masih lebih banyak dikuasai oleh individu yang berada pada generasi sebelum millenials.Generasi pendahulu ini berada pada posisi yang berpengaruh di dalam masyarakat, sehingga preferensi mereka terhadap media cetak masih lebih besar seingga pemberitaan di dalamnya memberikan efek yang lebih besar kepada agenda publik. Namun pada akhirnya generasi ini akan tergantikan oleh para millenials yang lebih terbiasa dengan berita yang berkembang di internet dan memberikan efek yang lebih tidak terduga oleh karena adanya beragam informasi mengenai suatu peristiwa. Agenda publik di masa depan akan memiliki heterogenitas yang lebih besar dan upaya-upaya untuk melakukan pembingkaian, pengaturan agenda maupun priming akan menimbulkan efek yang kurang signifikan dibandingkan saat ini.


R.    DAFTAR PUSTAKA

McQuail, Dennis. 2010. “McQuail’s Mass Communication Theory”. 6th edition. London: SAGE Publications, Inc.

Holbert, R.L., Garrett, R.K. & Gleason, L.S. (2010).“A New Era of Minimal Effects?A Response to Bennett and Iyengar”.Journal of Communication Vol. 60,15-34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar