Sabtu, 10 Maret 2012

Merajut damai di tanah Papua

Begitu banyaknya pulau yang indah
Inilah Papuaku
Permata hijau laut dan seninya
Begitu banyak langkah jiwa

Banyak pujian dan kekaguman
Budaya dan alammu
Kamu dan aku sama-sama suka
Cinta padamu Papuaku


   Lirik di atas adalah beberapa bait syair dalam lagu terbarukan dari musikus Parlin Burman Siburian atau yang akrab disapa Pay, Papua Dalam Cinta. Lagu itu dinyanyikan bersama dengan grup pendatang baru Aco, Felly, Boy, dan Michael Jakarimilena.
   Lagu yang baru diluncurkan awal Januari tahun ini menceritakan mengenai keindahan alam Papua yang tak lagi diragukan. Papua, provinsi terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini memiliki pesona alam yang memukau mata, kaya sumber daya alam, kental akan nuansa budaya.
   Namun sayangnya, keelokan alam yang dimiliki Papua tidak berkorelasi dengan situasi yang ada. Hampir setiap saat kekerasan yang menelan korban jiwa menghantui Papua. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di Papua.Pay pun sengaja mendedikasikan lagu itu untuk kedamaian di tanah Papua.
   Awal Februari lalu, seorang tukang ojek bernama Daeng Yonri tewas ditembak kelompok bersenjata di Kampung Kurilik, Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Sebelumnya, seorang tukang ojek asal Probolinggo, Jawa Timur, Abdul Kholik, 40 tahun, juga tewas ditembak kelompok bersenjata di Puncak Jaya, Ahad, 18 Desember 2011 lalu. Belum lagi peristiwa lainnya yang juga menelan korban jiwa seperti bentrok TNI dengan kelompok bersenjata.
   Tak hanya kekerasan, Papua juga identik dengan keterbelakangan dalam segi pendidikan dan kemiskinan, meski beberapa putra-putri daerah itu menghiasi kancah perpolitikan nasional. Tak heran banyak kalangan yang kecewa dengan pemerintah pusat menggaungkan Papua untuk merdeka.
   Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terdapat empat hal yang menjadi akar masalah terjadinya konflik di Papua.
   "Empat faktor yang menjadi pemicu konflik di Papua adalah masalah marginalitas dan diskriminasi, masalah kegagalan pembangunan, persoalan HAM, kegagalan politik di Papua yang kerap diideologikan dengan Papua merdeka," kata peneliti LIPI Andriana Elisabeth.
   Pendapat tersebut dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, yang mengatakan persoalan yang terjadi di Papua sangat rumit karena persoalan ini sudah terjadi sejak 1963.
   Persoalan bermula dari perebutan antara Indonesia dengan Belanda yang menyebabkan kontak senjata. Higga pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963.
   Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan New York Agreement untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu. Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat atau Papua setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia
   "Persoalan ini sudah lama berlangsung dimulai dari banyak pihak yang tak setuju dengan hasil Pepera. Sayangnya, pada zaman Soeharto malah dilakukan operasi militer," ujar Poengky.
   Bahkan, pemerintah Orde Baru sampai menetapkan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) untuk meredam aksi kekerasan di daerah itu yang konon dilakukan oleh kelompok separatis, Organisasi Papua Merdeka (OPM).
   "Baru pada zaman Abdurrahman Wahid baru mulai terbuka, dengan mengembalikan nama menjadi Papua dan memberikan otonomi khusus," kata Poengky.
   Dia bahkan mengatakan persoalan yang ada di Papua semakin rumit, karena banyaknya pihak-pihak yang berkepentingan di kawasan itu. Termasuk TNI dan Polri yang juga mempunyai bisnis di kawasan itu.
  

UP4B

   Berbeda dengan era Orde Baru yang melakukan pendekatan keamanan untuk mengatasi konflik Papua, saat ini pemerintah lebih memilih pendekatan dialog untuk merajut damai di Papua. Untuk itu dibentuklah Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang bertujuan mengatasi konflik berkepanjangan itu.
   Unit itu diketuai Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono yang sukses menangani konflik di Aceh itu terdapat perbedaan signifikan antara konflik yang terjadi di Aceh dan Papua. Dia menggambarkan jika konflik yang terjadi di Aceh seperti piramid sedangkan di Papua bentuknya transpesium.
   Persoalan yang terjadi di Papua, kata Bambang, berbeda dengan yang terjadi di Aceh. Jika di Aceh, bisa diketahui siapa tokoh yang bisa diajak untuk berdialog, sementara di Papua tidak ada.
   "Kalau di Aceh kita bisa tahu siapa yang akan diajak untuk berdialog yakni Hasan Tiro, sementara di Papua berbeda karena kita tidak ada tokoh seperti itu," ujar Bambang.
   Untuk menyelesaikan persoalan yang ada di tanah Papua, UP4B telah melakukan berbagai dialog seperti generasi muda Papua, tokoh Operasi Papua Merdeka (OPM), tokoh masyarakat maupun agama.
   "Terdapat setidaknya delapan persoalan yang terjadi di Papua," sebut Bambang.
    Delapan persoalan itu adalah hubungan antara peraturan yang berlaku tidak harmoni, kontroversi sejarah, tidak berjalannya kepedulian terhadap lingkungan sekitar, indeks pembangunan sumber daya manusia yang rendah.
    Selain itu persoalan kekerasan dan penghormatan HAM, keterbatasan infrastruktur, korupsi selama otonomi khusus dan separatisme dan pengelolaan keamanan. Selama tiga tahun UP4B akan memberikan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.
    Berbagai kebijakan pembangunan juga disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di Papua. Untuk pembangunan sosial ekonomi, dilakukan peningkatan dalam bidang ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, ekonomi rakyat, infrastruktur dasar, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan kepedulian terhadap masyarakat.
    "Harus diakui pendidikan di Papua tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Tanah Air. Nantinya, UP4B akan fokus membangun sekolah-sekolah yang berada di pedalaman," terang mantan Panglima Koops TNI di Aceh itu.
     Sementara pada bidang sosial politik dan budaya, UP4B akan melakukan pemetaan masalah yang menjadi sumber perbedaan, pendekatan terhadap kelompok strategis, merumuskan rencana kebijakan politik, mempersiapkan mekanisme, dan subtansi komunikasi konstruktif antara wakil rakyat dan pemerintah.
    "Kami akan dorong dan memberi kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan politik dan juga proyek-proyek pembangunan. Jika tidak diberi porsi khusus, kami khawatir anak-anak muda Papua kalah saing dengan pendatang," tambah Bambang.
    Bambang jug mengatakan akan melakukan pembangunan fisik dan regulasi untuk mendukung Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3I) ditambah program-program dari APBN dan APBD. Salah satu usulannya yakni pembangunan jalan di Papua untuk mengatasi isolasi khususnya bagian tengah daerah itu.
   "Kami melihat daerah yang penduduknya miskin berada di Pegunungan Tengah. Entah bagaimana, kami juga tidak tahu pasti mengapa pembangunan tidak menyentuh daerah itu," kata Bambang.
   Akibat tidak adanya akses di daerah itu, lanjut dia, memiliki dampak yang luar biasa terutama pada bidang ekonomi. Ada dua jalan lintas yang akan diusulkan yakni jalan dari Kabupaten Nduga ke perbatasan  Papua Nugini sepanjang 433 kilometer dan satu lagi dari jalan khususnya jalan yang melintasi Kabupaten Yahukimo yang melintasi Taman Nasional Lorentz sepanjang 608 kilometer. Kedua jalan itu diperkirakan menelan dana hingga Rp7 triliun.
   "Kami mengharapkan dengan adanya program-program yang berorientasi kepada masyarakat bisa meredam konflik yang terjadi," harap Bambang.Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar