Rabu, 27 Mei 2020

Jurnal Pandemi : perasaan yang acak

Dear

Hari ini aku mencoba untuk bangun pagi dan kemudian berolahraga bersama Nana. Nana sangat senang bisa main sepeda pada saat banyak orang yang masih terlelap dalam mimpi. Tak usah repot-repot mengenakan masker.

Seperti biasa, tujuannya adalah sawah. Kami berolahraga di sana. Masih gelap dan tenang. Sesekali terdengar bunyi kendaraan dari arah tol yang ada di seberang sawah. Bicara tentang sawah, aku sangat menyukai berada di sawah. Berjalan di pematang sawah dan mencium bau tanah berlumpur. Terkadang saat panen mencium bau jerami yang sudah ditumpuk. Segarnya.

Aku terkenang masa kecil saat berada di kampung. Duduk di tepian sembari melihat orang-orang yang bekerja. Melihat gugusan bukit barisan yang berbaris indah. Tak jarang pula melihat gugusan awan di langit. Bermacam-macam bentuknya.

Sawah punya nenekku itu letaknya didataran tinggi. Begitu duduk mata terpaku pada barisan bukit yang melintang. Aku biasanya duduk diatas dangau. Dekat dangau itu ada pohon jambu biji yang manis rasanya.

Dangau itu tidaklah kuat amat. Pernah suatu ketika saat hujan deras. Lelah memandangi orang yang bekerja, aku tertidur di dangau. Entah apa yang terjadi, dangau itu pun roboh. Atapnya menimpa kakiku. Ada darah yang mengalir.

Bermacam-macam tanaman yang ditanam nenekku. Kadang pagi, kadang jagung. Berada diantara tanaman jagung sangat berkesan bagiku. Kesan yang buruk. Aku pernah masuk ke antara tanaman jagung dan aku tersesat. Tinggiku saat itu jauh dibawah batang jagung. Masuk ke situ seperti berada di labirin.

Setiap hari nenekku ke sawah. Aku selalu ikut, Masuk ke dalam hutan, melintasi sungai kecil dan akhirnya sampai di persawahan. Sawah nenekku jaraknya lumayan jauh dari persawahan di pinggir hutan.

Saat pulang,kami kembali melintasi hutan itu. Terkadang kami mencari kayu bakar. Kadang tubuh mungilku ikut membawa kayu bakar. Usiaku saat itu mungkin tiga atau empat tahun. Hal yang kuingat saat itu, saat makcikku mencari udang di sungai. Dia mencari di sela-sela batu dan tiba-tiba saja keluar udang dari situ.

Tak banyak kenangan yang kumiliki saat kecil di kampung. Hanya indahnya langit biru saat itu. Sawah dan langit memiliki kenangan tersendiri bagiku. Terkadang rindu, tapi membayangkannya hatiku pilu.

Kembali ke hari ini, seperti biasanya pekerjaanku saat pandemi ini lebih banyak dilakukan secara daring. Telekonferensi. Dunia berubah dengan cepat. Pola kerja pun ikut bertransformasi. Sembari bekerja, sesekali aku mlihat dedaunan yang tertiup angin. Indah sekali bergoyang. Langitpun biru cerah dan sesekali perasaanku kembali ke masa itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar