Senin, 20 Juni 2011

Menjelang Seperempat Abad

  Masih setengah tak percaya, aku kembali menjadi penghuni kamar berukuran 3x3 meter. Kembali ke ibu kota negara ini dengan segala hiruk pikuknya. Kembali menjadi bagian hutan beton belantara.
  Aku kembali menjadi penghuni kos setelah delapan bulan merasakan nikmatnya hidup di rumah sendiri di Pekanbaru. Ya, Pekanbaru, kampung halaman keduaku, ibu kota Provinsi Riau.
  Aku masih tak percaya, mengapa aku bisa  kembali ke Jakarta setelah dua tahun meninggalkannya.
  Jakarta, bukanlah tempat  yang nyaman untuk hidup dan berkeluarga. Makanya aku memutuskan pindah keAirmolek kampung halamanku. Alasannya sederhana, hanya ingin dekat dengan keluarga.
 Sebenarnya, pada mulanya kepindahanku ini karena keterpaksaan. Bahkan di kemudian hari ini aku berpikir ini adalah akal-akalan abangku saja.

   Begitu lulus kuliah jurusan Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, aku mendapat pekerjaan sebagai "warehouse staff" di PT Inti Everspring. Pekerjaannya mudah, hanya mencek barang masuk dan membuat surat jalan. Gajinya pun lumayan untuk lulusan baru, ditambah fasilitas antar jemput dan juga makan bergizi seimbang membuatku nyaman.
  Tapi sayang, lingkungan kerja rupanya tak cocok buatku. Sebagai lulusan baru, aku masih berpikir kalau lingkungan kerja sama dengan lingkungan kampus. Padahal kenyataannya, lingkungan kerja penuh tipu-tipu dan sikut-sikut. Aku pun memilih keluar setelah tiga bulan bekerja.
  Kebetulan mamak, akan pulang dari ibadah haji. Jadi aku punya alasan untuk meninggalkan pekerjaan. Lagipula beberapa tes kerja yang kulewati tidak ada kepastiannya. Abangku pun mendukung keputusanku untuk rehat sejenak dan pulang kampung.
  Singkat cerita, setelah pamit sama teman kos, aku sampai di Airmolek. Tanah air beta...
  Pada teman kos dan pacarku, aku hanya bilang berada di kampung selama dua minggu. Dan akan kembali pada tahun baru. Apalagi pacarku ketika itu, Baasith, berulang tahun pada awal Januari.
  Tapi semua diluar kuasaku. Begitu sampai di kampung, aku sibuk membantu abangku di warung. Ditambah lagi istrinya sakit, aku pun menjadi iba. Dalam benakku, kapan lagi berbakti sama abangku yang telah membiayai kuliahku.
  Bulan demi bulan aku lalui. Tak sadar, aku sudah tiga bulan di kampungku. Berbagai tawaranpun dengan berat hati ku tolak. Kondisi kakak iparku belum juga berangsur baik. Tapi menjadi pengangguran bukanlah pilihan yang baik.
  Aku pun mulai rajin membeli koran lokal, Riau Pos. Membolak-balik halaman dan meneliti setiap kolom yang ada di halaman. Menjadi pengangguran memang menyakitkan, apalagi teman-temanku banyak yang sudah jadi PNS. Terlintas dibenakku, sepertinya menyenangkan menjadi reporter. Bisa berjalan-jalan kemana saja. Seperti yang kulihat di film-film keluaran hollywood.
  Berbagai lowongan sudah aku kirimkan lamarannya. Termasuk lowongan sebagai reporter di Riau Pos. Dari semua lowongan itu, hanya Riau Pos yang cepat merespon.
  Untuk pertama kalinya, aku melihat namaku tertera di koran lokal itu untuk mengikuti tes perekrutan sebagai pegawai. Aku semangat bukan main.
  Berbekal uang yang diberi abangku, aku berangkat ke Pekanbaru. Menginap di rumah sodara ibuku yang baru ku kenal dan mengikuti tes Riau Pos.
  Singkat kata, aku dinyatakan lolos. Stau dari delapan orang yang dinyatakan lolos sebagai reporter. Aku girang bukan main, walaupun hanya digaji Rp1 juta sebulan.
  Abangku mendukung, mendorongku untuk tetap konsisten dengan pilihanku. Dia tak peduli, walaupun aku lulusan Teknik Industri. Menurutnya, jika aku suka, maka jalani saja.
  Dengan uang tabungan, berbagai perlengkapan tempur aku beli. Aku beli kamera saku dan motor metik bekas. Metik dipilih karena aku belum bisa membawa motor.
  Aku pun belajar motor, tak kenal lelah. Walaupun banyak pengendara lain mengklakson ku. Aku tak peduli.
  Aku juga masih menyimpan harapan lain. Kabarnya, satu diantara kami akan ditempatkan di Jakarta. Aku masih berharap dipindahkan ke Jakarta, jadi reporter Riau Pos untuk wilayah Jakarta.
  Tapi malang, ternyata posisi itu sudah ada yang punya. Diperuntukkan bagi Mahyudi, rekanku yang punya relasi kuat di media itu.
  Aku tak bisa berbuat apa-apa. Pupus sudah harapanku berkumpul bersama teman-teman lagi di Jakarta. Pupus sudah harapan bisa memperbaiki hubungan dengan pacarku yang ketika itu mulai renggang. Aku hanya pasrah.
  Aku pun bangkit, menjalani kehidupan seperti sedia kala. Teman-temanku pun sudah mulai sibuk bekerja. Dan hubunganku pun kandas sudah. Dalam hatiku, aku harus melanjutkan studiku, niat awal ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pekanbaru.
  Dikenal gigih dan pantang menyerah dalam liputan, aku semakin dikenal di kalangan jurnalis. Para elit politik pun mulai mencari siapa aku.
  Tapi sayang, kesibukan yang tinggi tidak diimbangi dengan gaji yang sesuai. Gaji yang kudapat tak beranjak dari Rp1 juta. Aku pun merasa tak punya waktu buat  diriku sendiri bahkan keluarga.
  Saking sibuknya, aku tak sempat pulang ke kampung. Padahal ketika itu nenek sakit. Baru ketika nenek meninggal, aku pulang. Aku sedih bukan kepalang.


Kontributor

  Semasa liputan aku kenal dengan banyak kawan. Termasuk dengan kepala biro ANTARA Riau, Evy Ratnawati Syamsir. Orangnya kecil tak banyak bicara, tetapi sekali liputan para lelaki pun terlibas.
  Tak hanya sebagai teman liputan, aku pun curhat mengenai berbagai hal pada dirinya. Tentang kesibukanku yang tak menentu hingga keluarga.
  Ia pun menawariku pekerjaan sebagai kontributor. Digaji berdasarkan berita yang dihasilkan dan tak terikat waktu.
  Tanpa berpikir panjang, aku pun menerimanya. Ketika ku katakan pada Pemred Riau Pos saat itu, Raja Isyam Azwar, ia pun tak menahanku. Seandainya, ia menahanku mungkin aku akan berpikir ulang.
  Menjadi kontributor mempunyai waktu lebih fleksibel. Tidak harus ke kantor setiap hari. Berita cukup dikirim melalui email.
  Aku lebih sering mengunjungi emak dan abang di kampung serta melihat perkembangan keponakanku. Keponakanku, Qoni, pernah mengatakan aku seperti bermain saja. Kadang aku di kampung, besoknya di Pekanbaru lagi. Aku hanya tersenyum.
  Tetapi tidak enaknya menjadi kontributor ANTARA adalah tidak dikenal. Hanya segelintir orang yang tau ANTARA itu kantor berita. Banyak yang mengatakan ANTARA itu lagu layaknya Antara Anyer dan Jakarta. Aku tak peduli, yang penting banyak waktu luang dan dompetpun lumayan tebal.
  Aku pun bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah dan kemudian nyicil rumah. Rumah sederhana tipe 36. Tak lama setelah itu, aku tak lagi ngekos, tapi menempati rumah itu bersama teman kosku, Mimi.
  Untuk mengisi waktu luang, aku kembali kuliah di Universitas Riau, mengambil jurusan Magister Manajemen. Aku keukeuh kuliah, walaupun spp nya minta ampun mahalnya. Lagi-lagi aku tak peduli.Toh, aku yakin bisa...

Tes

  Memasuki bulan Oktober, bosku mengirim pesan singkat. Isinya cukup padat. Ia meminta aku, fazar dan iwan, kontributor lainnya untuk membuka website www.antaranews.com karena ada perekrutan reporter. Aku pun mematuhinya dan mengirimkan lamaran via email.
  Hari demi hari, hingga sebulan berlalu. Tiba-tiba saja, dering telpon selulerku berbunyi. Aku masih ingat ketika itu, aku baru saja selesai sarapan bersama Manajer PLN Pekanbaru, Ilham Santoso.
  Nomor yang tertera adalah nomor Jakarta. Jarang sekali ini, pikirku. Aku pun mengangkatnya, di seberang sana seorang perempuan bernama Tiara menyapa.
  Tiara mengatakan akan diadakan tes pada Selasa depan dan ia meminta diriku mencatat alamatnya yakni di Wisma Antara. Kantor pusat yang selama ini aku lihat di dinding kantorku.
  Dengan ragu-ragu, aku pun menyampaikan pada bosku. Ia menyarankan aku untuk mencobanya. Lalu aku bilang, kalau aku sedang tidak punya uang. Dengan sigap, ia menelpon rekanannya dan meminta diskon tiket. Mau tak mau, aku terpaksa berangkat ke Jakarta.
  Tes tahap pertama terlewati. Kemudian dilanjutkan psikotes hingga kesehatan. Dan akhir April kemarin aku mendapat kepastian untuk mengikuti Kursus Dasar Pewarta (Susdape). Wow seperti mimpi saja rasanya.
  Tapi untuk ikut susdape ini, aku berkorban banyak. Cuti sementara dari kuliah (padahal sedang semangat2nya kuliah), gagal ke China (padahal dah beli tiket dan non refundable lagi..hiks), merelakan motor dipakai adikku dan rumahku dihuni temanku (padahal baru ku renovasi).
  Hidup ya hidup penuh pilihan. Berat memang. Bahkan terpaksa mengikhlaskannya.
  Inilah aku, di usia menjelang 25 kembali menjadi siswa. Peserta kursus jurnalistik. Kembali menapak dari nol. Kembali belajar merangkak dan kemudian berjalan.
  Menjelang usia seperempat abad ini, kembali aku layaknya remaja yang mencari jati diri. Hura-hura bahkan hilir mudik tak menentu.
  Menjelang 25 ini, aku meninggalkan semua kenyamanan. Terbayang di pelupuk mata wajah emak yang sakit-sakitan (Tuhan, tolong hilangkan sakitnya).
  Menjelang 25 ini, aku sadar, aku jauh tertinggal dibandingkan teman-temanku. Mereka sudah menikah, punya anak dan berbahagia. Sedangkan aku masih peserta kursus dengan uang saku pas-pasan, dan pedihnya lagi jomblo.
  Dan ini aku, di usia beberapa menjelang usia 25 ini. Termenung di sudut kamar, mencari-mencari apa makna semua ini...
 
 
 

 

2 komentar:

  1. dari paragraf pertama hingga terakhir saya menyimak pengorbanan yang penuh pilihan, liku kehidupan menjadi seorang jurnalis... ya kembali lagi dari niat dan keihlasan heheh ... menarik tuk disimak ... ditunggu jalan ceritanya selanjutnya sist.. salam kenal ...

    BalasHapus
  2. terimakasih pak sudah singgah sejenak di laman saya ini..salam kenal juga

    BalasHapus