Minggu, 09 Agustus 2015

Labirin

    Rasanya seperti masuk ke dalam labirin, lurus, berkelok-kelok tanpa tahu dimana pintu keluar. Pada akhirnya hanya kembali pada titik yang sama, yakni keegoan.
    Pertanyaan yang sama, terlontar tiga tahun yang lalu dan selalu berulang. Ketika akan menikah, siapa yang harus ikut siapa. Apakah saya yang harus ke kotanya atau dia yang mengalah.
    Jujur, sulit bagi saya untuk kembali ke Cilegon, kota dengan sejumlah kenangan. Kenangan baik dan buruk. Akan tetapi bagi saya, banyak alasan tak kembali ke kota itu. Kota itu panas dan penuh debu karena banyak pabrik.
   Pekerjaan saya tak memungkinkan saya pindah ke kota terdekat dari Cilegon, karena ketiadaan posisi. Satu-satunya yang kosong ya di Cilegon. Akan tetapi saya kurang berminat. Satu hal yang pasti, saya tak mau dibayangi masa lalu.
    Di ibu kota, tempat saya mencari nafkah, sebenarnya saya pun tak berminat untuk hidup selamanya di kota ini. Saya hanya ingin mencari pengalaman dan ilmu.
   Saya akan membulatkan tekad, akan kembali ke kampus tahun ini. Mungkin hingga dua tahun lagi, saya harus tetap di kota ini. Saya juga tidak tahu alasan apa yang membuat saya harus kembali ke kampus, saya merasa ilmu yang saya miliki sangat amat kurang. Saya juga tak punya cita-cita ingin jadi dosen atau apalah.
   Saya memimpikan suatu saat saya tinggal di suatu kota kecil, yang berhawa sejuk dan tak terlalu ramai. Saya tinggal di atas bukit kecil dengan pemandangan menghadap laut. Tak jauh dari perkampungan warga. Rumah semi permanen, yang sebagian besar terbuat dari kayu. Di sekeliling diapit sawah, kolam dan kebun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
   Jika tak mengedit tulisan, saya habiskan waktu di kebun bersama dengan anak-anak. Sore hari berlari-lari turun dari atas bukit, menjemput senja di pantai. Ah, senangnya hidup...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar