Nama abangku Dasnir, biasa dipanggil Ides. Ketika kecil, namanya sering diledekin teman-temanku, karena namanya seperti perempuan. Dan aku, adalah orang pertama yang mengajak temanku itu untuk berkelahi. Ipul, Rudi atau Ulan sudah pernah merasakan tendanganku.
Abangku ini sebenarnya bukanlah saudara kandungku. Ibunya dan bapakku bersaudara tiri. Ketika aku kecil dan ditinggalkan ibu dan bapakku,ibunya yang seorang janda berinisiatif untuk merawat aku.
Jadilah aku, anak korban perceraian yang dirawat ibu (aku biasanya memanggilnya mak) dan abangku. Abangku menggantikan figur ayah dalam hidupku.
Abangku yang hebat ini, memutuskan berhenti sekolah ketika kelas dua SMA. Ia memilih menolong Mak yang mulai renta berdagang. Setiap hari ia membuka kedai dan berjualan di pasar. Ia mengubur mimpinya sejak kecil, yang ingin menjadi tentara. Dalam benaknya, menjadi anak berbakti lebih baik daripada menjadi laki-laki berseragam.
Sedangkan aku tumbuh menjadi anak nakal. Abangku selalu mewajibkan aku untuk tidur siang. Namun karena kenakalanku aku enggan untuk tidur siang dan memilih bermain bersama Ipul dan Rudi.
Biasanya, abangku akan memanggilku dengan lemah lembut. Namun tak pernah mempan. Ia akan menaikkan suaranya agak lebih tinggi, namun aku selalu menjawab sebentar. Akhirnya ia benar-benar marah, dan aku pun benar-benar pulang ke rumah untuk tidur siang.
Ia dengan sabar, menyuruhku untuk tidur. Bahkan tak jarang, ia juga ikut tidur bersamaku. Baru setelah ia yakin aku benar-benar tidur, ia akan kembali ke pasar melanjutkan berjualan.
Kadang, aku membohonginya, begitu ia pergi ke pasar dengan sepeda balapnya, aku pun keluar melanjutkan permainan yang tertinggal. Namun tak jarang, abangku mengetahuinya.
Pernah suatu kali, ia baru saja melangkahkan pergi hendak ke pasar. Begitu aku tau, ia akan pergi, aku pun bersiap-siap bermain lagi. Baru setelah kupastikan ia pergi, aku pun beringsut keluar rumah. Dan melanjutkan bermain.
Namun malangnya, abangku tersebut ternyata tak benar-benar pergi. Melihatku kembali bermain, ia mendekatiku. Aku tahu ia marah besar, dan aku pun memilih berlari. Dengan sekuat tenaga aku berlari mengelilingi kampung, namun aku kalah dengan abangku itu. Maklum ia atlet lari waktu itu. Alhasil, aku mendapatkan satu tendangan di pantatku dan dua pukulan di pahaku.
Meski demikian,aku selalu menyayangi dan menghargainya.
Walupun aku bandel minta ampun. Namun nilai raporku di sekolah, selalu membuat dia tersenyum. Tetapi tak sepatah kata kebanggaanpun ditujukan padaku. Sebagai hadiahnya, ia memberiku uang untuk membeli nasi ramas.
Kata bangga akan diriku, baru terucap ketika aku berhasil membawa Mak berobat ke Malaysia. Ia mengaku bangga, ternyata adiknya yang bandel bisa diandalkan.
Abangku itu, merintis segalanya dari nol. Menikah dengan perempuan kaya, bukan berarti hidupnya pun berubah drastis. Pernah suatu kali, ia bercerita padaku, ia tidak tahan akan kritikan keluarga besar istrinya.Aku paham hal itu, menjadi miskin dan tak berpendidikan diantara kaya bukanlah suatu yang mudah.
Lima tahun kemudian, ia pun membuktikannya. Usahanya berhasil dan kehidupannya berubah. Kritikan dan hinaan ia jadikan cambuk untuk memacu dirinya. Hingga ia pun, bisa menyekolahkan aku. Aku bangga terhadap abangku. Abangku hebat dan aku sangat bangga punya abang seperti dia. Tetapi sayangnya, aku masih jauh dari harapnya…