Kamis, 07 Mei 2015


Guru SM3T Pantang Menyerah Jadi Pelita

guru sm3t berjuang di daerah 3T sumber : kemdikbud

Menjadi guru di daerah yang jauh dari pusat peradaban, bukan hal yang mudah bagi Rafika (25), jebolan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Makassar.

Pagi-pagi sekali, usai menunaikan shalat Subuh dia beranjak menuju rumah-rumah penduduk. Tujuannya jelas ingin membangunkan anak-anak yang masih terlelap untuk pergi belajar ke sekolah.

Rafika terpaksa melakukan itu, agar anak-anak di desa itu mau berangkat ke sekolah. Para orang tua juga lebih memilih mengajak anak mencari sagu dibanding disuruh ke sekolah.

"Hal pertama yang dilakukan adalah menarik minat mereka (anak-anak Papua) untuk bersekolah," kenang Rafika saat bertemu langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di SD-SMP Satap Ninjemor Distrik Moi Segon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Kamis (8/5).

Rafika merupakan salah satu guru yang tergabung dalam Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) di Kabupaten Sorong.

Sudah delapan bulan, dia dan 34 temannya mengajar di wilayah kabupaten tersebut. Rafika mengajar di SD Maralogi.

"Diperlukan waktu lima jam untuk mencapai lokasi mengajar. Tiga jam naik mobil dan dua jam naik perahu kecil."

Kehidupan yang dialaminya sungguh berbeda dibandingkan ketika dirinya berada di Makassar, Sulsel. Dia ditempatkan sebagai guru di dua kelas, yang kalau dijumlahkan ada sembilan murid.

"Saya bertanya siapa Presiden Indonesia, tidak ada yang bisa jawab. Kemudian saya kasih tahu kalau Presiden Indonesia itu Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu, saya tanya lagi siapa Presiden Papua, mereka menjawab Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menganggap Indonesia itu Papua dan Papua itu Indonesia," terang dia.

Akhirnya, Rafika membentangkan peta Indonesia dan menjelaskan bahwa ada pulau-pulau lain. Rafika menerangkan pada anak didiknya, kalau dia berasal dari Makassar yang berada di Pulau Sulawesi.

"Mereka baru tahu, kalau ada tempat lain yang bisa dikunjungi. Jadi saya katakan, kalau kalian mau seperti ibu bisa ke Jawa, ke Papua, harus sekolah. Sejak itu, mereka mulai semangat sekolah," beber perempuan berjilbab itu.

Suwandi (25), guru SM3T lainnya, mengajar mata pelajaran Fisika di SMAN 1 Segun. Suwandi lulusan Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar.

"Lokasi tempat saya mengajar tujuh jam perjalanan dari Ibu Kota Sorong, Aimas. Tiga setengah jam perjalanan darat, dan tiga setengah jam lagi dengan kapal. Kapal itu satu-satunya alat transportasi menuju daerah itu," jelas Suwandi.

Tak jarang, Suwandi ikut mendorong mobil yang terjebak di lumpur. Bahkan dalam perjalanan di sungai, Suwandi kerap menemui buaya.

Menjadi guru di daerah pedalaman, bukan hal mudah bagi Suwandi. Keterbatasan media pengajaran, tak membuatnya patah arang.



"Minat anak-anak Papua sangat tinggi. Tapi sarana dan prasarana sangat kurang. Fasilitas seadanya. Tapi itu membuat saya berpikir kreatif mencari bahan pengganti untuk praktikum," kenang Suwandi.

Di sekolah itu terdapat 20 murid. Sebagian besar murid harus berjalan sedikitnya dua kilometer untuk menuju sekolah.

"Pengalaman paling mengesankan adalah guru itu sangat dihormati, disayangi, dan disanjung di sini. Saya merasa bermanfaat bagi orang banyak," jelas Suwandi.



Penyakit

Keterbatasan tidak membuat Rafika dan kawan-kawan mundur menjadi pendidik di daerah pedalaman. Tapi ada satu hal yang tak bisa mereka tak berkutik yakni penyakit yang datang mulai dari Malaria, kulit yang melepuh terkena getah beracun, hingga penyakit malarindu alias rindu dengan rumah.

Di daerah penugasan, sinyal ibarat barang langka. Akibatnya mereka tidak bisa menghubungi orang tua mereka.

"Bahkan ada yang tidak mengetahui salah satu orang tuanya meninggal dunia. Dia baru tahu, ketika pergi ke kota," ujar bujang berambut pendek itu.

Kisah sedih para pendidik di pedalaman tak hanya itu, mereka juga dihadapkan dengan keterbatasan air dan makanan. Untuk makan, mereka menyesuaikan dengan penduduk setempat yakni makan daun.

Meski berada dalam kondisi sulit, guru SM3T itu enggan mengundurkan diri dari tugas. Mereka malah semakin bersemangat menjadi pelita bagi anak-anak di pedalaman.

"Kalau ditempatkan kembali, saya ingin kembali mengajar di sini saja," pinta Suwandi.

Begitu juga Rafika, yang ingin kembali mengabdi ke daerah itu. Para pendidik itu digaji sebesar Rp2,5 juta setiap bulannya. Tapi bukan hitung-hitungan yang membuat mereka ingin kembali.

"Mereka lebih membutuhkan saya," ujar Rafika lirih.

Program SM3T merupakan program yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 2010. Sebanyak 7.962 guru telah dikirim ke daerah-daerah pelosok.

Direktur Pendidikan dan Kependidikan Dikti, Supriadi, mengatakan, program itu selain memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di wilayah pengabdiaan, juga memberikan manfaat besar karena para sarjana sekaligus menjadi guru multifungsi.

"Dengan bekal keterampilan mendidik dan disiplin keilmuan memadai, para sarjana ini juga mampu menginspirasi anak agar mau kembali ke sekolah," ujar Supriadi. SM-3T merupakan bagian dari program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI), untuk mempercepat pembangunan pendidikan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal.



Diprioritaskan

Kabar baiknya bagi guru program SM3T adalah Kemdikbud memprioritaskan mereka untuk diangkat menjadi CPNS.

"Setelah selesai mengajar mereka tidak hanya mendapatkan ucapan terima kasih namun dipaketkan dengan Pelatihan Profesi Guru (PPG)," ujar Mendikbud Mohammad Nuh saat mengunjungi guru SM3T di Sorong, Papua Barat.
  
Setelah itu, Kemdikbud akan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) mengenai kebutuhan guru di daerah itu. Para alumni SM3T itu akan diprioritaskan untuk menjadi CPNS.
"Tetapi mereka tetap harus mengikuti tes terlebih dahulu."
Mendikbud berharap SM3T tidak hanya menjadi transit tetapi harus berkelanjutan dengan mengajar di daerah itu.

 Mendikbud menambahkan program itu sangat efektif untuk memenuhi kebutuhan guru di daerah terpencil.
Program itu juga bermanfaat untuk kegiatan pengumpulan data, mengampanyekan hidup disiplin, dan agen merah putih.

     Program itu dibuka setiap tahunnya dengan kuota 3.000 guru. Jumlah pelamar mencapai 9.000. Mereka akan bekerja selama satu tahun di daerah terdepan, terluar dan tertinggal.

Kehadiran para pendidik di daerah pelosok, tidak hanya menjadi oase yang menyejukkan di padang pasir, tetapi juga menjadi solusi dalam mengatasi persoalan pendidikan anak bangsa. ***3***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar