Saya mengenalnya, sangat mengenalnya. Bahkan sangat dekat. Hubungan kami layaknya hubungan antara kakak dan adik, dan memang begitu adanya.
Lelaki itu berubah sejak menikahi gadis yang dicintainya. Dulu emosinya meledak-ledak, sekarang hanya terdiam menahan amarah.
Lelaki itu yang dulu selalu dimanja oleh ibunya, berubah menjadi sosok yang tidak butuh bantuan orang lain. Tidak butuh dijamu, padahal ingin selalu.
Lelaki itu yang dulunya bangun lambat, sekarang bangun lebih dulu bangun dari istrinya. Menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya, memperhatikan keperluan mereka sebelum berangkat ke sekolah.
Lelaki itu sadar, keluarganya jauh dari kata idaman. Terkadang ia harus bekerja tanpa ada satupun makanan yang masuk ke perutnya.
Dia juga sadar, istrinya yang terkadang berlebihan dalam berbelanja. Tentang sifat suka menghambur-hamburkan uang yang sudah didapatnya dengan susah payah.
Lelaki hanya menahan semuanya dalam hati. Hanya raut mukanya yang suram, yang menandakan ketidaksenangan dalam hatinya.
Kemudian, ketika istrinya berpaling ke lelaki lainnya, yang lebih muda dan gagah, lelaki itu kembali diam..
Lambat-lambat aku bertanya, "Apa yang membuatmu bertahan?"
Jawabnya, anak-anak. Yah, anak-anak yang membuat dia bertahan dan menjalani pernikahan semu itu.
Terkadang, pernikahan indah pada awalnya. Tapi saat beranjak menjalaninya, pernikahan itu ibarat buah simalakama.Sebagian orang terpaksa menjalaninya dan memutuskan menikah ketika anak-anak mereka beranjak dewasa. Tapi tak jarang juga memutuskan bercerai.
Lelaki dengan kesabaran seluas samudra itu tidak ingin anak-anaknya terluka akibat keegoisannya. Biarlah dia menjadi lilin, katanya.
"Cinta memang indah, tapi pernikahan itu rumit," cetusnya pelan.