Bagaimana cara warga Jepang dalam menghadapi bencana alam yang kerap menimpa negaranya? Ya, mereka melakukannya dengan melawan lupa atas bencana yang terjadi di negaranya tersebut.
"Kami melawannya dengan tidak melupakannya. Jangan pernah lupa dengan bencana-bencana yang pernah terjadi," ujar Direktur Jenderal Japan Foundation wilayah Asia Tenggara, Ogawa Todashi, di Jakarta, Jumat.
Todashi mengatakan sebagai manusia mempunyai sifat yang mudah lupa. Rata-rata masyarakat lupa akan bencana setelah 10 hingga 20 tahun kemudian. Oleh karena itu, Jepang mengingat setiap bencana besar yang pernah melanda negeri Matahari tersebut.
Tak heran, setiap 1 September warga Jepang memperingatinya sebagai Hari Pencegahan Bencana.
Tanggal 1 September diperingati karena terjadinya gempa yang mengguncang wilayah Kanto, di Pulau Honshu, pada 1923. Gempa yang diperkirakan kemudian berkekuatan antara 7,9 hingga 8,4 skala Richter menimbulkan kerusakan massal pada wilayah Kanto, Tokyo, Yokohama, Chiba, Kanagawa, dan Shizuoka.
Diperkirakan 105.385 orang tewas dan 37.000 orang hilang dalam peristiwa tersebut. Kebakaran yang menyusul gempa Bumi merupakan sebab kematian yang terbesar.
Praktis, setelah gempa bumi dan tsunami yang menimpa negeri itu pada 11 Maret 2011 yang menewaskan lebih dari 15.000 orang dan masih belum ditemukan lebih dari 3.000 orang itu, terdapat dua tanggal yang diperingati yakni 11 Maret dan 1 September.
"Kami berusaha menyampaikan kepada generasi muda tentang peristiwa tersebut. Ini sangat penting," kata dia.
Selain itu yang lebih terpenting, kata dia, adalah kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Anak-anak hingga orang dewas rutin mengikuti pelatihan yang diadakan pemerintah dalam menghadapi bencana. Mereka juga mempersiapkan tas atau ransel berisi perlengkapan dan peralatan lengkap.
Begitu juga dengan sistem peringatan dini, dimana beberapa menit setelah gempa dan tsunami, sistem peringatan mengirimkan jutaan pesan pendek langsung ke ponsel warga. Stasiun kereta dan pabrik sontak menghentikan operasi dan melakukan tindakan pengamanan, setelah menerima surat elektronik berisi peringatan.
"Ketika terjadi gempa dan tsunami tahun lalu, saya berada di Tokyo. Memang sempat terjadi kepanikan karena listrik padam, namun tidak berlangsung lama," tambah dia.
Bandingkan dengan Indonesia, meski berkali-kali dilanda gempa dan tsunami namun yang masyarakat Indonesia seakantidak siap menghadapi bencana.
"Pendidikan bencana itu sangat penting."
Pascatsunami Aceh 2004 yang menewaskan ratusan ribu nyawa, gempa bumi terus mengguncang sejumlah wilayah di Indonesia. Seperti di Bantul, Padang, Bengkulu. Belum lagi ratusan bencana banjir, longsor dan puting beliung sejumlah daerah di nusantara ini.
Begitu juga saat terjadi gempa Simeulue, Aceh, yang berkekuatan 8,5 skala Richter pada 11 April 2012, sejumlah ruas jalan macet di pusat kota dan pinggiran Banda Aceh oleh arus kendaraan. Jalur evakuasi jadi tidak beraturan karena seluruh warga berhamburan keluar.
"Jepang dan Indonesia mempunyai kesamaan yakni negara yang rawan dengan bencana alam. Oleh karena itu, hubungan kedua negara diharapkan semakin erat terutama sekali dalam bidang penanganan bencana."
Melawan lupa akan bencana ala Jepang itu, juga dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan mengadakan "Pekan Film Jepang Bangkit!" di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, pada 28 April hingga 4 Mei.
Pekan film itu bertujuan untuk memperkenalkan kegiatan konstruksi Jepang pascagempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang 11 Maret tahun lalu, dan menyampaikan kepada dunia, bahwa Jepang tidak menyerah.
"Dengan festival film ini, kami mengirimkan pesan pada dunia untuk tidak lupa akan bencana alam," imbuh dia.
Dalam pekan film tersebut akan diputar sebanyak lima film dokumenter dan empat film cerita.
Film dokumenter menceritakan tentang semangat para korban tsunami dan gempa di Kota Iwaki, Provinsi Fukushima yang berdekatan dengan Pusat Reaktor Nuklir Fukushima.
Seperti dalam film "Tohoku Natsu Matsuri" atau yang artinya dalam bahasa Indonesia "Bisakah Kau Lihat Cahaya Kami" yang menceritakan sekelompok warga di beberapa kota Tohoku seperti Rikuzentakata, Soma, Minami Soma, yang menghapus airmata dan bersemangat menyelenggarakan pesta musim panas, untuk menghormati dan memperingati arwah orang yang dicintai.
Mereka tetap menyelenggarakan festival tahunan yang sudah berusia tahunan itu, walau tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Dalam film itu juga bercerita mengenai kesibukan para anggota festival saat memperbaiki kendaraan hias dan genderang-taiko yang rusak. Mereka mengajak warga pengungsi untuk ikut berpesta.
Tohoku adalah wilayah dengan iklim yang keras. Butuh kesabaran ekstra un tuk menunggu datangnya musim bercocok-tanam. Sisi industri tidak berkembang terlalu pesat, namun sisi budaya sangat unik dan memiliki beberapa festival musim panas. Maka tak heran, masyarakat Tohoku memili sifat yang tegar dan penyabar.
"Di saat-saat sulit seperti ini, masyarakat Jepang, khususnya Tohoku terus berjuang dan berusaha dengan penuh kesabaran walaupun kemajuan yang dicapai hanya selangkah demi selangkah," jelas Todashi.
Dalam festival tersebut, juga dilakukan pemutaran perdana film "Fukushima Hula Girls" yang menceritakan para penari hula yang bersama kembali membangun penginapan yang rusak parah akibat gempa.
Film itu menceritakan keseharian mereka diantara berbagai isu radiasi nuklir dan bagaimana mereka bertahan hingga pembukaan kembali penginapan yang bernama "Spa Resort Hawaiians" itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar