Rintik hujan turun membasahi bumi, ketika Namiyati (32) berniat mengeluarkan sepeda motor dari pintu belakang rumahnya.
Perempuan itu menatap langit dan kemudian menjulurkan tangannya melebihi atap rumah. Hmm...baru gerimis,gumamnya.
Januari, memang bulannya hujan. Saban hari hujan turun, walau kadang tak menentu waktunya. Kadang pagi, tapi tak jarang jua petang hari.
Dia mulai mengeluarkan sepeda motor dan tak lama kemudian memanaskan motornya diantara rinai yang turun.
Mengambil tas, mengenakan pakaian hangatnya, dan kemudian berpamitan kepada anak-anak dan suaminya sebelum berangkat.
Anak-anaknya sekolah dekat rumah. Begitu juga dengan suaminya yang bekerja di perkebunan karet.
Sejak tujuh tahun terakhir, dia mengajar di SD Marginal Talang Gedabu, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Perjalanan ke sekolah menempuh waktu 45 menit berkendara dengan kecepatan sedang. Melewati jalan tanah merah yang membelah kebun karet yang menjulang tinggi.
Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang. Tak dihiraukannya hujan yang terus membasahi kaca helmnya. Tetes hujan, membuat dia tak bisa melihat jalan dengan jelas. Namun dia tak peduli.
Dia mulai menghitung kalau tak salah, hari ini sepekan sudah semester genap dimulai.
"Mudah-mudahan kelas hari ini penuh," ujar dia.
Dia sanksi, murid-murid akan hadir seperti hari-hari sebelum liburan usai.
Perempuan yang akrab disapa Yati itu sangsi, murid-muridnya hadir. Menurut dia, ini sudah menjadi semacam "penyakit" usai libur.
Jangan membayangkan jika sekolahnya tempatnya mengajar serupa dengan sekolah di kota besar ataupun kota kecamatan sekalipun.
Sekolah itu hanya terdiri dari empat ruang dan terbuat dari kayu. Atapnya pun separuh rumbia dan separuh lagi seng. Bahkan satu ruangan lagi hanya terbuat dari batang kayu di jajarkan.
"Sekolah itu memang khusus diperuntukkan bagi anak-anak suku Talang Mamak. Banyak diantara mereka yang tidak bersekolah," terang Yati.
Suku Talang Mamak adalah suku pedalaman yang terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu. Suku ini termasuk proto Melayu Tua.
Terus berjuang
Bukanlah perkara mudah, meminta anak-anak Talang Mamak bersekolah. Dia dan dua guru lainnya, hampir setiap hari datang dari rumah ke rumah untuk mendata anak-anak usia sekolah.
"Mereka kebanyakan malas pergi sekolah. Orang tua mereka kurang mendukung. Apalagi kalau sudah mengenal"bertandang" , alamat tak kan sekolah," jelas perempuan berjilbab itu.
Bertandang dalam tradisi Talang Mamak adalah ketika seorang lelaki mendatangi rumah perempuan untuk saling berkenalan, kemudian dilanjutkan dengan pernikahan.
"Ada juga yang bersemangat ke sekolah. Tapi cuma sedikit. Ke depan mungkin perlu ditanamkan kalau pendidikan itu penting untuk masa depan yang lebih baik,"
Selain datang dari rumah ke rumah, Yati tak segan-segan memohon kepada orang tua untuk memperbolehkan anaknya bersekolah.
Biasanya anak-anak Talang Mamak usia sekolah, lebih memilih di rumah mengasuh adiknya atau membantu orang tua menakik karet di kebun.
"Semua diberikan mulai dari seragam, buku pelajaran bahkan peralatan sekolah lain. Tak ada satu pun yang dibeli. Sekolah pun tak perlu bayar. Tapi mereka (anak-anak) tetap saja malas ke sekolah," keluh dia.
Padahal setiap hari, untuk menuju ke sekolah Yati harus melewati jalan tanah, yang ketika hujan seperti kubangan lumpur.
Tak jarang, kendaraannya terperosok ke dalam kubangan lumpur itu. Namun dia tak peduli.
"Status saya masih sebagai guru kontrak. Honor pun dibayar tidak setiap bulan. Kadang tiga bulan atau empat bulan baru dibayar. Tak masalah, saya anggap saja amal untuk mencerdaskan anak-anak ini," jelas dia.
Pernah dia mengaku lelah, namun semangat dari keluarganya membuat dia usaha yang dilakukannya tidak akan sia-sia.
"Ini semua tentang pengabdian," kata dia bijak.
Rekan sesama gurunya di SD Marginal, Yusnira (36), mengatakan mengajar di suku pedalaman tidaklah mudah.
"Banyak rintangannya, apalagi para orang tua tingkat kesadaran akan pendidikannya masih rendah," kata perempuan yang akrab disapa Nira itu.
Selain sarana prasarana yang minim, murid-murid di kelas sedikit.
"Kami harus mengajar dua kelas sekaligus karena kurangnya tenaga guru," tambah Nira.
Di sekolah itu hanya ada tiga guru yakni Namiyati, Yusnira dan Zuhli Dayan. Guru-guru itu berstatus tenaga kontrak.
Situasi yang dialami para guru di SD Marginal Talang Gedabu itu, berbeda dengan anak-anak Talang Mamak di Desa Talang Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu.
Di perkampungan itu, sebagian besar anak usia sekolah harus memendam keinginan untuk mendapat pendidikan.
Hingga kemudian, seorang pemuda bernama Tajam mendirikan sekolah marginal bagi anak-anak tersebut.
"Saya tidak ingin generasi muda Talang Mamak dibodohi orang. Cukup orang tua kami yang tidak pandai baca tulis," kata Tajam pada suatu ketika.
Mayoritas warga Talang Mamak, masih terbelenggu kebodohan dan kemiskinan. Maka, ketika Tajam membuka sekolah, banyak anak-anak Talang Mamak yang antusias belajar.
Kegiatan belajar mengajar di tempat itu bak novel "Laskar Pelangi", penuh semangat dengan kondisi seadanya.
Antusiasme anak-anak Talang Mamak di Talang Durian Cacar itu ternyata tak menular ke anak-anak Talang Mamak di Talang Gedabu, yang hanya berjarak 30 kilometer.
Salah seorang murid di SD Marginal Talang Gedabu, Parto (10), mengatakan banyak anak-anak di lingkungannya yang lebih memilih bermain dibanding pergi ke sekolah.
"Kadang saya malas ke sekolah, karena ikut teman-teman bermain dan ke ladang," ujar Parto.
Parto mengaku tak risau dengan masa depannya.
Nampaknya, pendidikan di daerah pedalaman bak pedang bermata dua. Di satu sisi banyak anak-anak yang haus akan pendidikan, namun tak jarang jua ada menyia-nyiakannya.
Perempuan itu menatap langit dan kemudian menjulurkan tangannya melebihi atap rumah. Hmm...baru gerimis,gumamnya.
Januari, memang bulannya hujan. Saban hari hujan turun, walau kadang tak menentu waktunya. Kadang pagi, tapi tak jarang jua petang hari.
Dia mulai mengeluarkan sepeda motor dan tak lama kemudian memanaskan motornya diantara rinai yang turun.
Mengambil tas, mengenakan pakaian hangatnya, dan kemudian berpamitan kepada anak-anak dan suaminya sebelum berangkat.
Anak-anaknya sekolah dekat rumah. Begitu juga dengan suaminya yang bekerja di perkebunan karet.
Sejak tujuh tahun terakhir, dia mengajar di SD Marginal Talang Gedabu, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Perjalanan ke sekolah menempuh waktu 45 menit berkendara dengan kecepatan sedang. Melewati jalan tanah merah yang membelah kebun karet yang menjulang tinggi.
Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang. Tak dihiraukannya hujan yang terus membasahi kaca helmnya. Tetes hujan, membuat dia tak bisa melihat jalan dengan jelas. Namun dia tak peduli.
Dia mulai menghitung kalau tak salah, hari ini sepekan sudah semester genap dimulai.
"Mudah-mudahan kelas hari ini penuh," ujar dia.
Dia sanksi, murid-murid akan hadir seperti hari-hari sebelum liburan usai.
Perempuan yang akrab disapa Yati itu sangsi, murid-muridnya hadir. Menurut dia, ini sudah menjadi semacam "penyakit" usai libur.
Jangan membayangkan jika sekolahnya tempatnya mengajar serupa dengan sekolah di kota besar ataupun kota kecamatan sekalipun.
Sekolah itu hanya terdiri dari empat ruang dan terbuat dari kayu. Atapnya pun separuh rumbia dan separuh lagi seng. Bahkan satu ruangan lagi hanya terbuat dari batang kayu di jajarkan.
"Sekolah itu memang khusus diperuntukkan bagi anak-anak suku Talang Mamak. Banyak diantara mereka yang tidak bersekolah," terang Yati.
Suku Talang Mamak adalah suku pedalaman yang terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu. Suku ini termasuk proto Melayu Tua.
Terus berjuang
Bukanlah perkara mudah, meminta anak-anak Talang Mamak bersekolah. Dia dan dua guru lainnya, hampir setiap hari datang dari rumah ke rumah untuk mendata anak-anak usia sekolah.
"Mereka kebanyakan malas pergi sekolah. Orang tua mereka kurang mendukung. Apalagi kalau sudah mengenal"bertandang" , alamat tak kan sekolah," jelas perempuan berjilbab itu.
Bertandang dalam tradisi Talang Mamak adalah ketika seorang lelaki mendatangi rumah perempuan untuk saling berkenalan, kemudian dilanjutkan dengan pernikahan.
"Ada juga yang bersemangat ke sekolah. Tapi cuma sedikit. Ke depan mungkin perlu ditanamkan kalau pendidikan itu penting untuk masa depan yang lebih baik,"
Selain datang dari rumah ke rumah, Yati tak segan-segan memohon kepada orang tua untuk memperbolehkan anaknya bersekolah.
Biasanya anak-anak Talang Mamak usia sekolah, lebih memilih di rumah mengasuh adiknya atau membantu orang tua menakik karet di kebun.
"Semua diberikan mulai dari seragam, buku pelajaran bahkan peralatan sekolah lain. Tak ada satu pun yang dibeli. Sekolah pun tak perlu bayar. Tapi mereka (anak-anak) tetap saja malas ke sekolah," keluh dia.
Padahal setiap hari, untuk menuju ke sekolah Yati harus melewati jalan tanah, yang ketika hujan seperti kubangan lumpur.
Tak jarang, kendaraannya terperosok ke dalam kubangan lumpur itu. Namun dia tak peduli.
"Status saya masih sebagai guru kontrak. Honor pun dibayar tidak setiap bulan. Kadang tiga bulan atau empat bulan baru dibayar. Tak masalah, saya anggap saja amal untuk mencerdaskan anak-anak ini," jelas dia.
Pernah dia mengaku lelah, namun semangat dari keluarganya membuat dia usaha yang dilakukannya tidak akan sia-sia.
"Ini semua tentang pengabdian," kata dia bijak.
Rekan sesama gurunya di SD Marginal, Yusnira (36), mengatakan mengajar di suku pedalaman tidaklah mudah.
"Banyak rintangannya, apalagi para orang tua tingkat kesadaran akan pendidikannya masih rendah," kata perempuan yang akrab disapa Nira itu.
Selain sarana prasarana yang minim, murid-murid di kelas sedikit.
"Kami harus mengajar dua kelas sekaligus karena kurangnya tenaga guru," tambah Nira.
Di sekolah itu hanya ada tiga guru yakni Namiyati, Yusnira dan Zuhli Dayan. Guru-guru itu berstatus tenaga kontrak.
Situasi yang dialami para guru di SD Marginal Talang Gedabu itu, berbeda dengan anak-anak Talang Mamak di Desa Talang Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu.
Di perkampungan itu, sebagian besar anak usia sekolah harus memendam keinginan untuk mendapat pendidikan.
Hingga kemudian, seorang pemuda bernama Tajam mendirikan sekolah marginal bagi anak-anak tersebut.
"Saya tidak ingin generasi muda Talang Mamak dibodohi orang. Cukup orang tua kami yang tidak pandai baca tulis," kata Tajam pada suatu ketika.
Mayoritas warga Talang Mamak, masih terbelenggu kebodohan dan kemiskinan. Maka, ketika Tajam membuka sekolah, banyak anak-anak Talang Mamak yang antusias belajar.
Kegiatan belajar mengajar di tempat itu bak novel "Laskar Pelangi", penuh semangat dengan kondisi seadanya.
Antusiasme anak-anak Talang Mamak di Talang Durian Cacar itu ternyata tak menular ke anak-anak Talang Mamak di Talang Gedabu, yang hanya berjarak 30 kilometer.
Salah seorang murid di SD Marginal Talang Gedabu, Parto (10), mengatakan banyak anak-anak di lingkungannya yang lebih memilih bermain dibanding pergi ke sekolah.
"Kadang saya malas ke sekolah, karena ikut teman-teman bermain dan ke ladang," ujar Parto.
Parto mengaku tak risau dengan masa depannya.
Nampaknya, pendidikan di daerah pedalaman bak pedang bermata dua. Di satu sisi banyak anak-anak yang haus akan pendidikan, namun tak jarang jua ada menyia-nyiakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar