Adzan Maghrib mulai berkumandang, saat Rafiah (74) bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan tertatih hendak menutup warung miliknya.
Dengan sekuat tenaga, dia melepaskan pengait penutup warung yang terbuat dari kayu itu, dan menahannya agar tidak membentur keras. Baru kemudian menguncinya dari dalam warung.
Semua dilakukannya seorang diri. Pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu lima menit itu, terasa lebih lama.
Langkah perempuan yang akrab disapa Nek Rafiah oleh warga sekitar, tak sekencang 10 tahun yang lalu. Badannya pun tak setegap dulu, separuh badannya bungkuk. Tak heran apa yang dikerjakan lebih lamban.
Sejak 10 tahun yang lalu, Nek Rafiah hidup seorang diri di warung kecil miliknya di Jalan Pintu Air IV Pasar Baru. Jangan bayangkan, warung miliknya itu besar dan barang-barang yang dijualnya lengkap.
Warung kayu itu hanya berukuran 1x1,5 meter, separuhnya terbuat dari kayu dan separuhnya lagi dari kardus yang disusun. Barang-barang yang dijualnya tak sepenuhnya lengkap, hanya ada beberapa mie instan, beberapa batang rokok dan tiga bungkus susu coklat yang tergantung di sudut warung.
Kala malam, warung itu hanya diterangi satu lampu neon. Di tempat yang hanya muat untuk satu orang itu, Nek Rafiah tidur dan beribadah. Tak ada satu pun peralatan elektronik di warung itu. Nek Rafiah hanya berteman dengan kesunyian.
"Kemarin ada radio, tapi kira-kira sebulan yang lewat hilang diambil orang ketika sedang mandi," jelas perempuan tua itu.
Tepat di samping warung itu, ada ruang kecil yang diberi penutup kain. Nek Rafiah biasa menggunakan tempat itu sebagai kamar mandi. Setiap hari, dia membeli dua kaleng air dengan harga Rp1.000.
Di samping kamar mandi, ada lemari kayu merah bata yang selalu terkunci. Itu adalah tempat Nek Rafiah menaruh baju dan piring-piringnya.
Dulunya warung itu milik anak lelakinya, namun sejak anaknya meninggal dunia, praktis nek Rafiah yang mengambil alih.
Rafiah memiliki lima orang anak, namun tiga anaknya telah wafat. Satu anaknya ada di Jakarta dan satunya lagi di kampung halamannya, Cirebon.
"Daripada merepotkan anak, lebih baik tinggal sendirian di sini," katanya ketika ditanyakan alasan hidup di Jakarta.
Menurut hemat Nek Rafiah, ketika seorang anak sudah menikah tentunya akan banyak memerlukan dana untuk membiayai keluarganya. Oleh karena itu, dia enggan menambah beban anaknya.
Rohani (62), perempuan yang biasa menemani Nek Rafiah ketika malam, mengatakan kedua anak Nek Rafiah yang masih hidup kurang peduli terhadap ibunya.
"Anaknya yang sayang sama nenek itu, cuma anaknya yang punya warung ini. Sayang, sudah meninggal," kata Rohani yang berprofesi sebagai tukang cuci itu.
Impian Kecil
Sebenarnya Jakarta, bukanlah kota yang asing bagi Nek Rafiah. Dia berada di ibu kota itu sejak 1972, tak berapa lama sejak ditinggal mati suaminya.
Di kota tersebut, dia menjalani berbagai profesi mulai dari tukang cuci, tukang masak hingga pembantu rumah tangga.
Semua pekerjaan dilakukannya, agar kelima anaknya bisa makan dan mendapat pendidikan. Namun, apa daya impian hanyalah impian.
Kini, meski hidup seorang diri dan dalam serba kekurangan, Nek Rafiah tak pernah mengeluh dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Dia tetap melakoni pekerjaannya itu dengan sepenuh hati. Meski kadang, ada pembeli yang mengusilinya.
"Kemarin ada yang beli dengan menggunakan uang palsu," kata dia.
Matanya yang sudah rabun, tak bisa lagi membedakan mana uang yang asli dan mana yang palsu. Hal itu sering kali terjadi, namun Nek Rafiah hanya bisa mengelus dada ketika diberi tahu oleh temannya kalau uang tersebut palsu.
Sekarang, dalam usianya yang bisa dikategorikan lanjut, Nek Rafiah punya mimpi yang tak muluk-muluk. Dia hanya berharap bisa beribadah dan menambah barang-barang yang di warung.
Kebutuhan hidup yang semakin meningkat, membuat modalnya semula perlahan-lahan mulai lesap.
"Bulan kemarin, nasi sama tempe masih bisa dapat Rp3.000, sekarang sudah naik lagi jadi Rp3.500," tambah dia.
Nek Rafiah ingin sekali meminjam uang untuk modal warungnya itu. Tak banyak-banyak, hanya Rp300.000. Nantinya, uang tersebut ingin dia gunakan untuk menambah barang-barang di warungnya itu.
Dia sudah mencari-cari tempat yang bisa meminjamkan nya uang, namun tak satu pun yang bersedianya memberinya pinjaman.
Kondisi yang dialami Nek Rafiah tentu jelas berbeda dengan gaya hidup para pejabat di negeri ini. Misalnya saja, sebagian anggota DPR yang hendak plesiran ke Eropa yang menghabiskan dana Rp1,8 miliar.
Gaya hidup anggota Dewan tersebut seakan menjadi ironi, mengingat keputusan tentang kenaikan harga BBM yang dihasilkan. Alih-alih melakukan penghematan, mereka memasukkan ayat baru yakni pasal 7 ayat 6a yang memperbolehkan pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP (Indonesia crude price)15 persen dalam jangka waktu enam bulan.
Tentu saja, jika harga minyak mentah melonjak, maka harga BBM akan naik dan membuat beban hidup masyarakat yang juga ikut-ikutan bertambah berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar