A.
PENDAHULUAN
Suatu komunikasi
atau informasi yang dihantarkan melalui media massa tentunya baik secara
sengaja maupun tidak akan berpengaruh atau menimbulkan efek bagi
penerima/pemirsanya. Jika dilihat dari muatan informasinya, maka isi dari
informasi di media massa secara garis besar dapat digolongkan menjadi berita
dan komunikasi politik. Secara umum, kedua jenis informasi ini akan berpengaruh
kepada tingkat pengetahuan, opini dan perilaku pemirsanya, baik secara sengaja
maupun tidak. Secara sengaja artinya, efek telah direncanakan atau didesain
oleh sang pembuat informasi agar pemirsanya memiliki pengetahuan, opini dan
perilaku tertentu yang diinginkan. Secara tidak sengaja artinya, sang pembuat
informasi murni memberikan informasi tanpa maksud untuk mengarahkan atau
menciptakan pengetahuan, opini ataupun perilaku tertentu dari pemirsanya.
Contoh efek yang disengaja adalah informasi yang bersifat propaganda, misalnya
sang pemberi informasi ingin pemirsanya di dalam populasi tertentu memiliki
kebencian terhadap praktik premanisme. Maka, informasi yang diberikan dibuat
menampilkan berbagai hal negatif yang ditimbulkan premanisme dan bagaimana
masyarakat akan dirugikan karenanya. Mendapat berbagai informasi tersebut, maka
pemirsanya akan membenci praktik premanisme, persis seperti yang diinginkan
oleh sang pemberi informasi. Sedangkan contoh efek yang tidak disengaja
misalnya media massa murni memberitakan mengenai hasil riset bagaimana pola
hidup tidak seimbang antara pekerjaan dan kehidupan sehari-hari dapat
menyebabkan tekanan dan tingkat stress tertentu yang akhirnya meningkatkan risiko
terhadap penyakit kritis. Menerima informasi seperti ini, banyak pemirsa di
dalam satu populasi akhirnya mulai memperbaiki pola hidup mereka supaya lebih seimbang
dan terhindar dari stres.
Berita dan
komunikasi politik inilah yang biasanya mendominasi isi informasi (konten) pada
surat kabar konvensional. Hal inilah yang kemudian mendapat ‘tantangan’ dari
kemunculan media baru yang berbasis internet.Dengan karakteristiknya, media
baru ini menawarkan jenis dan sumber informasi yang lebih beragam, sehingga
pemirsa dapat memilih informasi sesuai dengan preferensinya.Berbagai hal di
atas merupakan hal-hal penting dan garis besar dari pembahasan mengenai efek
media yang ingin dijelaskan oleh McQuail.
B. PEMBELAJARAN DARI BERITA
Seperti dikatakan pada bagian pendahuluan, bahwa pengaruh dari
informasi melalui media kepada pemirsanya adalah memberikan pengetahuan,
membentuk opini dan menentukan perilaku tertentu.Lalu bagaimana sebuah berita
dapat memberikan pengetahuan atau pembelajaran bagi pemirsanya?Pada dasarnya
sebuah berita tidak diciptakan untuk tujuan pembelajaran.Malahan berita
alaminya memiliki karakteristik ‘cepat menguap’ dan bersifat informasi
sampingan.Namun, jika suatu berita dapat menjangkau pemirsa tertentu yang
memiliki ketertarikan untuk memperhatikan, memahami dan mengingatnya maka efek
pembelajaran bisa terjadi. Menurut McQuail, ada beberapa faktor yang dapat
membuat pemirsa belajar atau memperoleh pengetahuan dari sebuah berita:
1. Pemirsa harus memiliki pengetahuan dasar dan
ketertarikan terhadap suatu informasi
2. Pemirsa harus dapat melihat relevansi dari
topik yang diterima
3. Sumber beritanya harus kredibel dan terpercaya
4. Pemirsa harus bisa membuat/memperoleh
ilustrasi visual
5. Subyek berita harus konkret dan memiliki
karakteristik sebagai ‘berita murni’
6. Berita harus dapat memenuhi berbagai kerangka
interpretasi yang tersedia
7. Berita harus dibuat berulang/repetisi
8. Teks berita harus dibuat naratif
Untuk
dapat memperoleh pembelajaran dari sebuah berita, pemirsa akan melakukan proses
untuk mengolah informasi yang terkandung di dalamnya melalui sebuah schemata
yang merupakan struktur kognitif yang terdiri dari pengetahuan dasar yang
terorganisir mengenai situasi maupun individual yang terabstraksi berdasarkan
pengalaman sebelumnya. Schemata digunakan untuk memproses informasi baru maupun
menarik kembali informasi yang telah tersimpan. Berikut ini sebuah alur
pemrosesan sebuah berita secara kognitif oleh pemirsanya yang dikemukakan oleh
McQuail dan Windahl yang diadaptasi dari model milik Graber (Grafik 1)
Grafik 1. Model alur pemrosesan informasi
(McQuail dan Windahl; diadaptasi dari Gruber)
Dari
grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa schemata yang berhubungan erat
dengan kerangka interpretasi merupakan perangkat kognitif individu yang
menentukan apakah berita dapat menjadi sebuah pembelajaran.Lalu apakah hal ini
mutlak seperti demikian? Menurut McQuail, daya tangkap masing-masing individu
berbeda-beda. Dengan demikian schemata yang dimilikinya juga
berbeda-beda.Oleh karenanya agar suatu berita dapat relevan terhadap schemata
dari sejumlah besar individu, suatu berita disajikan dalam bentuk
eksemplifikasi yang berguna untuk menghasilkan ilustrasi yang lebih konkret
secara obyektif. Menurut Jensen, ada empat dimensi yang membuat pemirsa dapat
memahami sebuah berita:
1. Ruang; pemirsa memutuskan jika dan bagaimana
suatu peristiwa yang terjadi pada jarak tertentu berpengaruh terhadap mereka.
2. Kekuatan; bagi pemirsa, pengaruh berita akan
lebih kuat jika hal itu dirasa dekat dengan kepedulian mereka.
3. Waktu; pemirsa akan melihat suatu peristiwa
dan menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu dan perkiraan masa depannya
4. Identitas; pemirsa akan menghubungkan dirinya
atau mengambil jarak dari peristiwa, tempat ataupun orang-orang di dalam berita.
Yang
terakhir, agar pemirsa dapat memperoleh pembelajaran maka berita harus memiliki
kredibilitas dan terpercaya. Menurut hasil penelitan yang dilakukan oleh
Gaziano dan McGrath (1987) mengatakan bahwa ternyata bagi pemirsa, sumber
berita yang dianggap kredibel berarti menampilkan keadilan, tidak bias dan
menunjukkan itikad baik, tanpa terlalu mementingkan akurasi maupun reliabilitas
dari informasi yang diberikan. Dengan kata lain, sumber berita menjadi lebih
penting untuk menentukan kredibilitas daripada muatan informasinya.
Contoh:
suatu berita mengenai isu reshuffle kabinet di pemerintahan Jokowi
diberitakan dengan muatan informasi yang sama di dua surat kabar berbeda, yaitu
Lampu Hijau dan Media Indonesia. Tentu bagi pemirsa berita yang dianggap lebih
kredibel adalah yang dimuat oleh Media Indonesia, karena editorial dari Lampu
Hijau dianggap semata mengejar sensasionalitas saja.
Contoh
lainnya adalah mengenai blog. Informasi yang ilmiah mengenai suatu jenis
penyakit kritis namun dimuat di dalam blog milik seorang travel bloggerakan
menjadi tidak kredibel bagi pemirsanya. Namun jika dimuat oleh seorang dokter
spesialis penyakit dalam di dalam blog-nya, maka akan menjadi kredibel.
C. PENYEBARAN BERITA
Penyebaran
berita dan hubungannya terhadap bagaimana berita diserap dan berpengaruh
sehingga melalui suatau berita individu dapat mengingat kembali suatu peristiwa.
Ada empat variabel yang dianggap mendukung penyebaran berita:
1. Adanya individu-individu dalam satu populasi
yang tahu mengenai suatu peristiwa
2. Seberapa penting atau menonjolnya sebuah
peristiwa
3. Banyaknya informasi mengenai suatu peristiwa
yang terhantarkan
4. Mana yang lebih dulu membuat suatu peristiwa
terdengar, apakah melalui media atau melalui kenalan
Dalam
proses penyebaran berita, ke-empat variabel tersebut dapat saling berhubungan
dan menjadi sangat kompleks, namun ada satu model interaksi yang dapat
dijelaskan melalui kurva J, yaitu hubungan antara proporsi dari individu yang
mengetahui suatu peristiwa dengan proporsi dari individu yang mendengar
mengenai peristiwa tersebut dari kenalannya.
Hubungan
ini mengatakan bahwa jika suatu peristiwa diketahui (nyaris) semua orang
(seperti misalnya peristiwa 9/11, atau meninggalnya Michael Jackson) maka
semakin tinggi jumlah individu yang mendengar peristiwa itu dari
kenalannya.Namun jika suatu peristiwa tidak banyak diketahui oleh orang, maka
semakin besar kemungkinan individu mendengar peristiwa tersebut dari sumber
berita.
Terkait
dengan kecepatan penyebaran suatu berita, Chaffee (1975) mengatakan bahwa ada
tiga pola penyebaran yang sering ditemukan: penyebaran yang tidak sempurna,
akselerasi yang sangat cepat di awal, akselerasi yang sangat lambat.
D.
EFEK
DARI ‘PEMBINGKAIAN’ BERITA
Pembingkaian
berita biasanya dilakukan oleh sebuah media/jurnalisnya dengan tujuan untuk
mengarahkan pemirsanya kepada satu bagian tertentu dari suatu peristiwa. Dalam
hubungannya terhadap efek dari suatu berita, menurut Capella dan Jamieson
pembingkaian dapat mengaktivasi kesimpulan, gagasan, penilaian dan perlawan
terhadap isu tertentu yang mungkin saja tidak terjadi jika berita ditampilkan
secara komprehensif atau menyeluruh.
Pembingkaian
berita seringkali terjadi di dalam bentuk komunikasi politik. Di mana proses
terjadinya efek pembingkaian melibatkan tiga pihak: sumber atau organisasi
media ketertarikan, jurnalis dan pemirsanya. Pembingkaian sendiri dapat dilakukan
oleh masing-masing pihak. Media melakukan pembingkaian dengan argumen bahwa
suatu peristiwa memiliki ‘nilai’ dan ‘sudut pandang’ yang pantas dan menarik
diberitakan, sedangkan pemirsa juga dapat melakukan pembingkaian berita sesuai
dengan bagaimana ia ingin memproses berita tersebut sesuai ‘nilai’ dan ‘sudut
pandang’ pribadinya.
E.
PENGATURAN
AGENDA/ISI BERITA
Istilah
pengaturan berita pertama kali dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1972, 1993)
untuk menjelaskan fenomena mengenai isi berita ketika masa-masa terjadinya
kampanye partai atau tokoh politik. Meurut mereka yang dimaksud dengan
pengaturan agenda adalah bahwa media ‘menentukan’ apa yang kiranya menjadi
berita utama pada situasi atau waktu tertentu. Pemirsa kemudian akan menerima
topik berita tersebut dan mengaggapnya sebagai peristiwa penting atau
perbincangan yang sedang hangat.
Sementara
itu, Dearing dan Rogers (1996) melihat pengaturan agenda sebagai sebuah
kompetisi di antara para pelaku sebuah isu untuk mendapatkan perhatian dari
para profesional media, publik dan elit politik.Mereka membuat generalisasi
yaitu yang pertama bahwa dalam pengaturan agenda terlihat bahwa beberapa media
berbeda seakan-akan saling setuju untuk menonjolkan suatu topik tertentu di
waktu tertentu.Kedua, pengaturan agenda tidak mendekati dengan
indikator-indikator di dunia nyata.Bukanlah signifikansi isu yang yang penting,
namun lebih kepada faktor-faktor yang ditampilkan agar pemirsa ikut
mempromosikan suatu isu. Ketiga, posisi dari suatu isu di dalam pengaturan agenda
akan menentukan isu yang menonjol di agenda publik.
Serupa
dengan pengaturan agenda, di dalam bentuk komunikasi politik juga banyak
ditemukan apa yang disebut sebagai priming, yaitu bentuk spesifik dari
pengaturan agenda yang menempatkan individu atau tokoh tertentu di dalamnya.
Contoh: pada waktu terjadi kebakaran hebat pada berbagai hutan di wilayah
Indonesia yang menyebabkan berbagai daerah terkena dampak asap, maka media
melakukan pembingkaian dan pengaturan agenda selama beberapa waktu untuk menyoroti
berbagai tindakan penanganan terhadap bencana asap. Di dalam pengturan agenda,
maka dimunculkanlah tokoh-tokoh politik maupun tokoh masyarakat tertentu yang
memiliki opini mewakili publik dalam memandang bencana tersebut. Bagaimana
media memunculkan tokoh tertentu di tengah-tengah perbincangan hangat suatu isu
akan memberikan efek tertentu bagi pemirsa. Efek yang dimaksud dapat menjadi
positif, maupun negatif.Namun dalam tujuan komunikasi politik, priming dilakukan
agar publik menilai positif seorang tokoh.
F.
EFEK
TERHADAP OPINI DAN SIKAP PUBLIK
Penelitian
komunikasi massa dimulai dengan harapan menemukan pengaruh yang signifikan dari
media massa terhadap opini dan publik. Opini dan sikap tidak dapat diamati
secara langsung atau didefinisikan secara cukup tepat untuk memungkinkan adanya
pengukuran yang pasti.Sikap merupakan kepribadian dasar atau perangkat mental
terhadap beberapa objek yang secara umum diukur dalam kaitannya dengan respons
verbal terhadap pernyataan evaluatif.Sikap adalah penilaian secara primer dan
pelekatan atribut yang dibuat oleh individu meskipun mungkin untuk mengatakan
mengenai ‘sikap publik’ sebagai sebuah penilaian dari kecenderungan utama dalam
sebuah kelompok atau kumpulan.
Opini
adalah sebuah pernyataan preferensi terhadap satu pihak argumen atau pilihan
yang ada.Opini memiliki karakter yang spesifik dan sementara, dan seseorang
dapat memiliki banyak opini atas topik-topik yang berbeda tanpa perlu adanya
kohesi.Opini memiliki kekuatan yang beragam yang mana mereka dipegang dan dalam
derajat di mana mereka didasarkan pada informasi yang benar.Opini juga bersifat
individual walaupun dapat terkumpul, sehingga membentuk sesuatu yang disebut
opini publik yang biasanya diambil untuk mengartikan kecenderungan dominan atau
rangkuman dari pandangan dari populasi secara keseluruhan.Opini publik menjadi
sebuah ‘fakta sosial’ objektif yang harus dipertimbangkan oleh politikus dan
pihak lainnya.
Relevansi
untuk ide mengenai efek media adalah sebagai berikut.Media diharapkan memiliki
potensi yang cukup untuk mempengaruhi opini individual walaupun sebagian besar
tidak sengaja dengan menyediakan informasi atas isu yang ada dan memberikan
pilihan atas isu tersebut. Dengan mempublikasikan hasil poling opini atau dengan
menyatakan pandangan publik atas isu tertentu melalui editorial, mereka
menambahkan elemen lain dari pengaruh potensial. Media kurang lebih cenderung
memengaruhi sikap daripada opini, bahkan ketika mereka membawa informasi
evaluatif yang baru dan relevan.Salah satu dasar dari pengaturan, baik sikap
maupun opini adalah dasar mereka pada keanggotaan dari kelompok sosial dan
pengaruh latar belakang sosial di mana mereka bergerak.Prinsip kedua adalah
konsistensi atau keseimbangan.Hal ini diungkapkan dalam gagasan yang disebut
‘konsistensi kognitif’.
Teori
disonansi kognitif (cognitive dissonance) memprediksi bahwa kita akan cenderung mencari informasi atau gagasan
yang memelihara konsistensi dan menghindari ketidaknyamanan atau opini yang
tidak sesuai (Festinger, 1957). Hal ini juga berarti bahwa informasi baru dapat
mengganggu sikap yang sudah ada dan mengarah pada penyesuaian kembali. Ini
merupakan salah satu alasan mengapa pembelajaran yang mapan atau efek informasi
dari media massa lebih penting dalam jangka panjang.
Berikut
adalah faktor-faktor yang memengaruhi kesempatan efek media terhadap opini dan
sikap:
1.
Otoritas,
kewenangan dan kredibilitas yang dipersepsikan atas sumber; konsistensi konten
pesan media; keterikatan dan kesetiaan terhadap sumber.
2.
Motif
perhatian terhadap media; persetujuan terhadap konten dengan opini atau
keyakinan yang telah ada; jumlah dan kualitas perhatian yang diberikan.
3.
Keahlian
dan daya tarik pesan dan penyajian; dukungan dari kontak personal dan
lingkungan.
G.
PENGARUH
MODEL ELABORATION-LIKELIHOOD
Ada
sejumlah model yang mewakili cara bagaimana informasi dan kesan diproses
melalui berbagai upaya untuk memengaruhi atau mempersuasi, terlepas dari
beragam varian perlakuan yang diberikan. Salah satu model pengolahan kognitif
secara khusus yang sering kali diterapkan adalah elaboration-likelihood
model (ELM) dari Petty dan Cacioppo (1986).Elaborasi merujuk pada batasan
di mana seseorang berpikir mengenai suatu isu dan mengenai argumen yang relevan
yang terkandung dalam pesan. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang
termotivasi untuk memegang ‘sikap yang benar’ dalam artian mereka menjadi
rasional, koheren dan konsisten dengan pandangan yang lain. Pada saat yang
bersamaan, tidak semua orang memiliki waktu atau kapasitas untuk membangun
sikap semacam itu dan kita selektif dalam perhatian yang kita berikan terhadap
isu dan argument.Kita memberikan lebih banyak upaya untuk memahami dan
mengevaluasi masalah dari kepentingan pribadi dan relevansi yang lebih
besar.Hal ini tercermin melalui bagaimana kita mengolah informasi yang masuk
baik secara terpusat
(elaborasi tinggi) maupun secara periferi.
H.
THE SPIRAL OF SILENCE: PEMBENTUKAN IKLIM OPINI
Konsep
‘spiral of silence’ diambil dari badan teori yang lebih besar mengenai
opini publik yang dibangun dan diuji oleh Noelle-Neuman (1974, 1984, 1991)
selama bertahun-tahun. Teori yang relevan ini membahas interaksi antara empat
elemen : media massa, komunikasi antarpribadi dan hubungan sosial, pernyataan
opini individual, dan persepsi di mana individu memiliki ‘iklim opini’ yang
melingkupi dalam lingkungan sosial mereka sendiri. Asumsi utama dari teori ini
(Noelle-Neuman, 1991) adalah sebagai berikut:
1.
Masyarakat
mengancam individu yang menyimpang dengan isolasi.
2.
Individu
mengalami ketakutan akan isolasi secara terus menerus.
3.
Ketakutan
akan isolasi ini menyebabkan individu untuk mencoba mengukur iklim opini
sepanjang waktu.
4.
Hasil
dari perkiraan ini memengaruhi perilaku mereka dalam publik, terutama kesediaan
mereka untuk mengekspresikan opini secara terbuka maupun tidak.
Secara singkat teori
ini mengajukan bahwa untuk menghindari isolasi dalam isu publik yang penting
(misalnya dukkungan partai politik), banyak orang dipandu oleh apa yang mereka
pikir sebagai opini yang dominan atau yang melemah dalam lingkungan mereka.
Masyarakat cenderung menyembunyikan pandangan mereka jika mereka merasa sebagai
minoritas dan akan lebih memilih untuk mengungkapkan opini jika mereka merasa memiliki
pendapat yang dominan. Hasilnya adalah bahwa pandangan-pandangan tersebut yang
dipersepsikan sebagai dominan mendapatkan lebih banyak pondasi dan pandangan
alternatif akan semakin menjauh. Ini merupakan efek spiral yang
dimaksud.
Dalam konteks masa
kini, poin utamanya adalah bahwa media massa merupakan sumber yang paling siap
diakses untuk mengukur iklim yang ada saat ini, dan jika pandangan tertentu
mendominasi di media, maka pandangan tersebut akan cenderung ditingkatkan dalam
tahap selanjutnya dari pembentukan dan pengungkapan opini.
Efek pihak ketiga
Berkaitan dengan
teori spiral of silence adalah gagasan mengenai efek pihak ketiga dari
media terhadap opini publik yang pertama kali diajukan oleh Davison (1983).
Poin utamanya adalah banyak orang yang sepertinya berpikir bahwa orang lain
dipengaruhi oleh berbagai jenis konten media, tetapi diri mereka sendiri tidak.
Persepsi ini berlanjut dengan kecenderungan untuk mendukung sensor (MsLeod et
al., 2001). Efek media yang dilebih-lebihkan juga dikaitkan dengan
kecenderungan yang meluas dengan setara untuk yakin bahwa media berita
melakukan bias terhadap sudut pandang dari mereka yang terlibat dalam isu
tertentu (Gunther dan Christen, 2002) juga dengan sedikit atau tanpa dukungan
bukti.
I.
MEMBENTUK REALITAS DAN BIAS YANG TIDAK
DISADARI
Serupa dengan
sebagian besar teori dalam wilayah ini adalah pandangan bahwa efek media jangka
panjang terjadi tanpa disengaja sebagai hasil dari kecenderungan organisasi
media, praktik pekerjaan, keterbatasan teknis dan penerapan sistematis dari
nilai berita, kerangka dan format tertentu. Gagasan bahwa media ‘membentuk
realitas’ dengan cara yang sering kali dibentuk oleh kebutuhan dan kepentingan
mereka sendiri telah sering kali diperlihatkan. Contoh awal adalah penelitian
oleh Lang dan Lang (1953) terhadap peliputan televisi mengenai kembalinya
Jenderal McArthur dari Korea setelah pemanggilannya. Hal ini menunjukkan
bagaimana peristiwa yang skalanya relative kecil dan cenderung rahasia, diubah
(dalam peliputannya) menjadi sesuatu yang mendekati demonstrasi massa atas
sambutan dan dukungan oleh perhatian yang selektif dari kamera dan komentar
untuk menunjuk pada sebagian besar aktivitas dan kepentingan. Khalayak mempersepsikan
peristiwa kurang lebih sejalan dengan framing yang ada di televisi daripada
bagaimana hal tersebut sesungguhnya terjadi.
Sebagian besar efek
yang dirujuk disini barangkali diambil dari ‘bias yang tidak disadari’ dalam
media, tetapi potensinya untuk mendefinisikan realitas sering kali
dieksploitasi secara sengaja. Istilah ‘peristiwa semu’ (pseudo-event) telah digunakan untuk merujuk pada
kategori peristiwa yang kurang lebih dibuat untuk mendapatkan perhatian atau
menciptakan kesan tertentu (Boorstin, 1961; McGinnis, 1969). Teknik penyajian
peristiwa semu ini sekarang merupakan taktik yang akrab dalam banyak kampanye
pemilihan, tetapi yang lebih signifikan adalah kemungkinan bahwa presentase
yang tinggi dari peliputan media mengenai ‘sifat aktual’ yang benar-benar
membentuk peristiwa yang terencana yang ditujukan untuk membentuk kesan
mendukung satu pihak ketimbang yang lain. Mereka yang mampu memanipulasi
peliputan yang sesungguhnya adalah mereka yang paling berkuasa; sehingga bias;
jika ada, dapat tidak disadari oleh media, tetapi tentunya tidak demikian bagi
mereka yang mencoba membentuk ‘citra’
mereka sendiri (Molotch dan Lester, 1974).
J. KOMUNIKASI RESIKO
Salah satu fungsi yang dikaitkan dengan
media masa adalah untuk menyediakan peringatan publik mengenai kemungkinan
adanya berbagai bahaya dan resiko.Ini adalah salah satu penjelasan (jika bukan
justifikasi) yang diberikan terhadap perhatian dalam berita (dan fiksi) yang
tidak seimbang dibandingkan dengan criminal, kekerasan, bencana alam, kematian,
dan penyakit. Dalam momen tertentu, pelaporan media mengenai situasi berbahaya
dapat berujung pada reaksi panik berjangka pendek., tetapi seringkali isu dari
efek media muncul dalam bentuk lainnya:
Pertama, adanya kecenderungan media untuk
menggambarkan dunia – setidaknya secara implisit – tampak lebih berbahaya dibandingkan
keadaan nyatanya (dibuktikan oleh statistik). Perhatian dialihkan dari penyebab
kematian yang sering terjadi, seperti kematian, penyakit, dan bencana
(kecelakaan jalanan, malnutrisi, dan kemiskinan) dan menuju kehancuran yang
lebih dramatis namun jarang terjadi (pecahnya teroris, kecelakaan udara, gempa
bumi, dst.). Ini dapat dikatakan sebagai menyesatkan masyarakat mengenai sifat
alami dari berbagai resiko yang dapat muncul. Kritik yang serupa berlaku untuk
hubungan antara pelaporan kejadian criminal, aktivitas nyata kejatahan, dan
ketakutan masyarakat terhadap kejahatan (Lowry et. Al, 2003; Rommer et al.,
2003).
Kedua, adanya kegagalan media karena
memberikan masukan kepada masyarakat dalam banyak resiko yang berkaaitan dengan
inovasi sains, ancaman lingkungan, bioteknologi, genetika, dan masalah sejenis,
meskipun sedikitnya kemampuan serta adanya ketidakpastian secara intrinsik dari
sebuah kasus yang diberitakan oleh mereka (Priest, 2001).
Ketiga, media cenderung bertindak sebagai penerus
berbagai jenis informasi dan argument dari semua jenis sumber yang dapat
memperingatkan ataupun meyakinkan, akan tetapi tanpa adanya tanggung jawab
editorial yang dapat dilakukan – Internet sebagai contoh paling nyata.
Pada akhirnya, media seakan terlihat
sebagai sumber dari ketidakpastian dan bahaya yang masyarakat harus
berhati-hati dalam menerima segala informasi yang ada.
K. EFEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM DEMOKRASI
Terdapat hubungan intim antara
komunikasi masa dengan pelaksanaan politik dalam berbagai jenis rezim
pemerintahan.
Dalam masyarakat totaliter ataupun
otoriter, elit berkepentingan menggunakan kekuatan media untuk memastikan
kepatuhan dan kesamaan perilaku serta untuk menahan laju munculnya pendapat
yang berseberangan dengan rezim yang berkuasa.
Dalam demokrasi, media memiliki
hubungan yang kompleks dengan sumber kekuatan para penguasa serta system
politik yang ada. Di satu sisi, mereka menemukan fungsi dasar mereka sebagai
penyedia layanan bagi para konsumen mereka sesuai dengan penilaian dari
kebutuhan akan hal-hal yang menarik. Untuk bertindak seperti ini, maka media
harus independen dan bebas dari pemerintahan serta para pemangku kepentingan.
Di lain sisi, mereka juga menyediakan moda bagi pemerintah serta pemangku
kepentingan untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan sebagai wadah berbagi
sudut pandang politik mereka dan kelompok kepentingan masyarakat lainnya.
Mereka juga mempromosikan sirkulasi dari berita dan opini dalam ruang lingkup
masyarakat yang mengikuti perkembangan politik nasional.
Ada kemungkinan ketiga yakni pemerintah
memiliki pengaruh yang besar dan efektif secara Cuma-Cuma dengan media yang
sudah ditentukan.Sebagai contoh, media jaman pasca-komunisme di Russia serta di
Italia dalam masa kepemimpinan Perdana Menteri Berlusconi.
L. BENTUK
UTAMA KOMUNIKASI POLITIK BERTAJUK “EFEK”
Pertama, media digunakan secara intensif oleh
para kandidat dan partai politik untuk berkampanye secara periodik untuk
pemilihan umum.
Kedua, terdapatnya alur berita positif
ataupun negative terhadap pemerintahan ataupun para pemain di panggung politik.
Ketiga, dalam berbagai tingkatan, adanya
kesempatan beriklan politik oleh para pelaku yang sama. Percobaan yang lebih
spesifik untuk memengaruhi pendapat dalam sebuah isu mewakili beragam kelompok
penekan juga kadang dibuat.
Berkaca dari penelitian oleh Lazarsfeld
dkk (1941) dan Semetko (2004) terhadap pemilihan presiden, terdapat beberapa
penemuan penting dan konsisten:
Pertama, kampanye pemilihan biasanya pendek
dan intensif, akan tetapi tidak memiliki dampak langsung dari sekedar keinginan
untuk memlih hingga memilih orang tersebut. Media sangat digunakan oleh para
pihak yang berkampanye, tetapi kurang mendapatkan respons bagus dari para
pemilih.Sulit untuk mendapatkan bukti bahwa media memiliki pengaruh hebat dalam
memengaruhi hasil dari sebuah pemilihan umum.Hanya memiliki sedikit efek
langsung terhadap keengganan seseorang dalam memilih ataupun tidak.Sikap dasar
berpolitik tidak jarang terlalu mengakar, sehingga sangat rentan terhadap
banyak perubahan, walaupun berkembangnya pemisahan diri dari aliansi yang kuat
membuka jalan untuk pengaruh yang lebih besar.Opini terhadap isu-isu tertentu
dapat dipengaruhi oleh media; adapun terdapat bukti mengenai potensi untuk
mempleajari isu dan kebijakan yang ada, terlebih oleh mereka yang pada umumnya
acuh dan tidak tertarik.Penelitian oleh Norris dkk (1999) menegnai pemilihan
umum di Inggris menunjukkan bahwa tayangan berita yang menunjukkan partai dapat
memengaruhi sikap terhadap partai tertentu dalam jangka yang pendek secara
signifikan.
Kampanye pemilihan umum menarik beragam
jenis perhatian masyarakat (termasuk keacuhan) dengan motivasinya sendiri;
seberapa besar penngaruhnya bergantung kepada disposisi dan motif dari pada
pemilih, bukan kepada keinginan dari para pelaku kampanye.Blumler dan McQuail
(1968) menemukan bahwa kampanye pemilihan umum secara intensif memiliki
pengaruh yang lebih besar dan dapat menyentuh golongan masyarakat yang belum
terafiliasi/pro ke pihak manapun serta yang kurang informasi tentang calon
tertentu.Schoenbach dan Lauf (2002) menyebut ini sebagai sebuah “efek perangkap”.Sebuah penemuan
berikutnya mengatakan bahwa akibat dari fragmentasi audiens, kita sedang
memasuki “era
baru akan efek minimal” (Bennett and Iyengar, 2008).Elemen kunci dari temuan
mereka adalah “matinya
audiens yang tidak ingin terlalu memahami dunia politik” dan bangkitnya para
simpatisan-partisan yang secara konstan mencari pemberitaan yang mendukung dan
sejalan dengan paham pemikiran mereka terhadap badan atau partai politik
tertentu.
Tidak adanya efek berpengaruh dari
kampanye melalui media dapat dilihat dair beberapa faktor selain perhatian
secara selektif dan keberagaman motivasi, yaitu tidak adanya ruang untuk
perubahan dalam isu yang sudah familiar, efek pembatalan dari pesan yang
berlawanan, efek dari hubungan pribadi, dan karakter kampanya yang minim
dengan perbedaan. Dalam demokrasi di dunia Barat, skala dan kualitas dari
perhatian yang diberikan terhadap para pemain kunci sebuah pemilihan umum
seringkali serupa (Norris dkk. 1999; D’Alessio dan Allen, 2000; Noin, 2001) – kampanye cenderung hanya untuk
menjaga status quo, bukan untuk menciptakan perubahan.Akan tetapi, jika salah satu
pihak gagal dalam kampanyenya, maka adapun sebuah kejadian juga dapat memengaruhi
keseimbangan secara dramatis.
Partai yang berkampanye beserta
kandidatnya biasanya memilih strategi komunikasi mereka, tergantung dari
keadaan dan sumber daya yang mereka miliki, serta tidak jarang melihat dari
apakah calon mereka itu calon inkumben (sedang memegang posisi dan ingin
mencalonkan kembali – lebih kuat) atau tidak.Mereka dapat memilih untuk mengkaitkan
diri mereka dengan isu tertentu yang mereka sudah lebih paham ataupun punya
jejak rekam di dalamnya.Disinilah kemampuan untuk menggambarkan sebuah isu dan
menciptakan agenda pemberitaan sangat berpengaruh.Disinilah mereka dapat coba
untuk menang melalui ideologi ataupun prinsip (cenderung lebih sulit dan lebih
beresiko). Mereka juga mudah untuk mendapatkan imej menarik tentang mereka
bukan melalui kebijakan, akan tetapi melalui gaya ataupun kepribadian badan
mereka. Mereka juga dapat menyerang lawan mereka melalui titik lemah yang ada,
meskipun perlu diketahui bahwa tindakan negatif seperti ini dapat memicu para
pemilih untuk beralih.
Pertanyaan terkait moda apa yang lebih
efektif dalam meraih hasil melalui kampanye merupakan fokus dari penelitian
terdahulu, khususnya setelah kehadiran dari televisi. Akan tetapi, di
lingkungan multimedia, itu bukanlah isu yang terlalu penting dan juga merupakan
isu yang sulit untuk dicari tahu lebih lanjut. Norris dan Sanders (2003)
menyimpulkan bahwa yang berpengaruh lebih adalah apa yang terdapat dalam
pesannya serta disposisi dari para audiensnya. Dilihat secara consensus, tidak
ada moda yang lebih baik, akan tetapi masing-masing memiliki kelebihan dan ciri
khasnya tersendiri. Media yang berbeda antara satu dan yang lainnya memiliki
fitur institusional yang memengaruhi dampak mereka (contoh: Koran cenderung
lebih partisan dibandingkan televise) dan mereka menarik audiens yang
berbeda-beda dengan motivasi yang beragam. Druckman (2005) melihat kembali
temuan yang membandingkan televise dengan media cetak. Risetnya dalam sebuah
pemilihan umum menunjukkan bahwa bukan televisi, melainkan koran lah yang
memilik peran signifikan dalam memberikan informasi kepada para pemilih.
Komunikasi politik dari sudut pandang
pemberitaan umum merefleksikan prosess berkelanjutan dari manajemen berita dan
kompetisi untuk menentukan berita acara dan isu-isu yang akan diangkat atau didiskusikan.
Semua pemain penting merekrut manajer berita professional untuk memastikan
adanya akses secara konstan kepada berita sehari-hari dan juga untuk memastikan
berita yang rilis adalah berita yang cantik dan seindah mungkin.Pengaruh
seperti itu sulit untuk diukur dari aspek efektivitas, akan tetapi terdapat
support bagus dalam teori yang mengatakan bahwa berita menyediakan lingkungan
bagus untuk pesan berpengaruh, karena seringkali diwarnai dengan sumber yang
independen, kredibilitas, dan tidak adanya keterikatan dengan asosiasi yang
berpropaganda. Dalam prakteknya, dalam banyak demokrasi yang berjalan, kurang
lebih akses ke berita dapat diraih oleh para pemain penting yang bertarung
untuk memegang posisi tertentu dalam sebuah pemilihan – cukup untuk menghindari
adanya imej tertentu yang terbentuk terhadap sebuah pemberitaan.
Iklan politik bergantung dari sumber
daya yang dimiliki, akan tetapi efek potensialnya terbatasi oleh karakternya
yang cenderung bersifat propaganda. Adapun terdapat kemungkinan bahwa iklan
politik memiliki efek samping di luar perkiraan.Selain itu, bukti valid dari
adanya nilai dibalik iklan politik sulit untuk ditemukan (Goldstein dan Freedman,
2002).Akan tetapi, efeknya mungkin terlihat sesuai dengan yang diinginkan jika
dilaksanakan secara konstan dan berulang.
Setelah berjalannya debat yang
disiarkan di TV antara Kennedy dengan Nixon pada tahun 1960, kampanye semacam
ini dilihat sebagai cara untuk menghidupkan politik serta menguji kompetensi
dan kemampuan persuasi dari para calon. Kampanye ini sudah dilakukan dalam
berbagai bentuk (Kraus dan Davis, 1976). Rasa takut akan adanya kegagalan tidak
dapat dilepaskan dari kampanye semacam itu. Akan tetapi, temuan yang ada (salah
satunya Coleman, 2000) membuktikan bahwa pengaruh terhadap pemilihan tidaklah
signifikan. Adapun kampanye semacam ini akan berujung pada perubahan dari persepsi
tentang para kandidad dan juga pemahaman mengenai kebijakan para kandidat. Di
lain sisi, para calon inkumben melihat debat semacam ini tidak memiliki pengaruh
positif dan lebih baik dihindari karena terlalu rawan.
M. PENGARUH DARI INSTITUSI POLITIK DAN
PROSESNYA
Keberadaan politik menjadi bukti dari
proses adaptasi sebuah institusi sosial terhadap kemunculan media massa,
terlebih setelah mengetahui bahwa media menjadi sumber utama dari informasi
serta opini untuk publik. Perlawanan terhadap politik dari berkembangnya
pemusatan media masa digabung dengan meningkatnya “media logic” – pembelajaran terkait penggunaan
instrument media dan segala konsekuensinya terhadap dunia media – muncul dalam
beberapa bentuk:
1. Pengalihan waktu dari partisipasi
politik menjadi menonton televise (video malaise)
2. Efek negative dari marketing politik
terhadap kepercayaan pemilih dan landasan niat baik;
3. Meningkatnya negativitas dari kampanye
dan pelaporan kampanye;
4. Meningkatnya biaya dan birokrasi dari
kampanye;
5. Kehilangan yang dialami oleh para
simpatisan kelompok tertentu dan peningkatan dari ketergantungan terhadap
saluran media dan para gatekeepers (media yang bertindak sebagai pintu
filter pesan yang akan diteruskan kepada audiensnya).
Ide mengenai pengaruh dari “media logic” terhadap institusi politik
(Mazzoleni, 1987) termasuk: pengalihan terhatian dari local-regional menjadi
nasional; ketergantungan lebih terhadap kepribadian dan imej dibandingkan
terhadap substansi serta kebijakan; berkurangnya kampanye politik tatap muka;
ketergantungan yang berlebihan terhadap dan penggunaan dari polling opini
masyarakat.
Para “Penjaga
Gerbang” media massa telah meningkatkan pengaruh mereka dalam
menentukan siapa yang berhak mendapatkan akses serta peratauran yang mengikat
akses para politisi kepada publik. Mereka (Penjaga Gerbang) inilah yang
bertanggung jawab dibelakang ditentukannya agenda pemberitaan untuk debat
politik. Selain
itu, “ujian oleh media” menjadi fakta bagi setiap politisi yang
terkena skandal (Thompson, 2000; Tumber dan Waisbord, 2004).
Kemenangan logika media di atas logika
politik menjadikan adanya pemilihan umum sebagai “balap kuda” dibandingkan momen
pembelajaran mengenai isu dan kebijakan (Graber, 1976). Akhir-akhir ini
dideskripsikan sebagai kecenderungan untuk konsentrasi pada berita “strategis”, yaitu momen naik dan
turunnya sebuah kampanye dan strategi pemilihan menjadi pemberitaannya, bukan
lagi substansi dari proposal kebijakan dan argument yang terkait. Kecenderungan
ini diartikan sebagai peningkatan sinisme para pemilih yang semakin meningkat
(Capella dan Jamieson, 1997) serta pengurangan dari elemen informative
(Valentino dkk, 2001).
Sudut pandang bahwa kampanye politik
modern adalah tindakan yang tidak membantu terhadap tujuan dasarnya untuk
menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi menjadi tidak terbantahkan. Norris
(2000) mempelajari ulang bukti bahwa interaksi dengan politik demokratik secara
terus-menerus diasosiasikan dengan banyaknya perhatian yang jatuh kepada media
massa. Pasek dkk (2006) juga menyimpulkan bahwa penggunaan media, baik untuk
informasi ataupun hiburan, memfasilitasi partisipasi publik dan kesadaran
berpolitik.Moy dkk (2005) mengeluarkan pernyataan serupa.Efek signifikan dari
sinisisme pemilih juga dipertanyakan. De Vreese (2005) menemukan bahwa laporan
strategis tidak mendukung sinisisme dan sinisisme pun tidak terhubung dengan
non-voting per se (secara intrinsic-dengan dirinya sendiri) karena itu
merupakan kualitas dari mereka yang secara politis lebih memiliki kualitas.
Adapun kehebatan logika media juga dilebih-lebihkan.Bennet dan Iyengar (2008)
mengutip kampanya presiden Obama, ditambah dengan laporan politik dari sebuah
pemilihan umum yang membandingkan logika media dengan logika partai,
menunjukkan bahwa tidak cukup bukti yang menandakan logika media sudah
mengalahkan logika partai (Van Aelst dkk, 2008).
Sedikit keraguan menyelimuti apakah
kampanye pemilihan telah berubah menjadi acara yang di manage secara terlatih
dan professional – serupa dengan iklan, acara PR dan marketing dibandingkan
politik tradisional (Blumler dan Gurevitch), 1995). Menurut Esser dkk (2000),
istilah “spin doctor”
diartikan sebagai babak baru dalam perkembangan komunikasi politik, dengan
jurnalisme menyediakan “meta-komunikasi”
terkait manipulasi media yang didefinisikan sebagai refleksi referensi terhadap
diri sendiri mengenai sifat alami hubungan antara PR dengan jurnalisme politik.
Cappella (2002) menyarankan agar tidak
menganggap media sebagai penyebab, melainkan sebagai pencipta dan merefleksikan
sudut pandang tertentu.Istilah mediatisasi (mediatization) digunakan secara
luas untuk menjelaskan adaptasi para politisi terhadap kriteria sukses para
media, beserta bertumbuhnya kepentingan dari politik secara simbolis
(Kepplinger, 2002).
N.
KONSEP MEDIATISASI: KUTIPAN KUNCI
Keempat poses perubahan merepresentasikan aspek berbeda-beda mengenai
mediatisasi (Schulz, 2004:98):
1.
Media
meluaskan jangkauan dari komunikasi manusia;
2.
Media
menggantikan aktivitas sosial dan institusi sosial;
3.
Media
melebur dengan beragam aktivitas non-media di kehidupan sosial;
4.
Para
pemain beserta organisasi dari berbagai sector komunitas mengakomodir diri
mereka dengan logika media
Meyer (2002) menjelaskan proses diatas
sebagai kolonialisasi sebuah ruang lingkup sosial (politik) oleh si penguasa
(media). Menurutnya: “Para
politisi merasa ditekan untuk mendapatkan akses ke media. Bagi mereka, jika
mereka memahami peraturan yang mengatur akses maka mereka dapat meningkatkan
aksesibilitas mereka melalui media untuk mengenalkan diri mereka lebih jauh ke
masyarakat.”Ini berujung pada penyerahan diri kepada teatrikal dan simbolisasi
dari memperkenalkan diri sendiri. Kritik juga mengatakan mengenai adanya
peningkatan dari tingginya kebohongan (superficiality) dan hilangnya keikhlasan
dan spontanitasStromback berargumen bahwa proses seperti ini melalui 4 (empat)
babak:
1. Mediasi simple mengenai informasi
politik dan ide dengan cara media cetak dan penyiaran.
2. Otonomi media meningkat dan
ketergantungan kepadanya mengikuti.
3. Para pemain menginternalisasikan logika
media, sehingga politik menjadi kampanye permanen. Media menjadi dominan dalam
hubungan media-politik.Akan tetapi, Internet belum memiliki pengaruh besar
dalam kasus ini.
O. PROPAGANDA DAN PEPERANGAN
Berita juga dapat digunakan sebagai sebuah propaganda.Menurut Jowell
dan O’Donnel (1999:6), propaganda didefinisikan sebagai sebuah upaya yang
cermat dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi dan
mengarahkan perilaku untuk memperoleh respon lebih jauh yang diinginkan oleh
pihak yang melakukan propaganda.Meskipun istilah ini memiliki konotasi yang
negatif dan memiliki keterkaitan yang erat dengan peperangan, namun sebenarnya
propaganda dapat diaplikasikan pada situasi apapun, di mana sebuah komunikasi
memang ditujukan untuk mempengaruhi individu.
Media massa memiliki fungsi yang sentral dalam sebuah upaya
propaganda. Sesuai dengan penjelasan mengenai efek dari pemberitaan, maka media
seringkali menjadi sasaran utama untuk dikuasai pihak yang ingin melakukan
propaganda.Agar sebuah propaganda dapat berhasil, maka suatu informasi harus
sebisa mungkin dimonopoli baik dari sisi isi, maupun penyebarannya.Oleh karena
itu, propaganda memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi jika diarahkan
kepada suatu populasi yang memiliki kesamaan baik dari sisi latar belakang
maupun kerangka interpretasi. Di samping itu, media penyebarannya juga akan
berpengaruh terhadap penerimaan dari pemirsanya. Jika suatu propaganda
dilakukan melalui media yang memiliki kredibilitas dan terpercaya, maka
penerimaan (kepercyaan) dari pemirsa akan lebih besar, dibandingkan propaganda
yang dilakukan melalui media yang kurang kredibel.
P. EFEK DARI PEMBERITAAN DI INTERNET
Semenjak
kehadirannya, internet membawa warna baru terhadap sebuah pemberitaan.Baik dari
sisi penyebaran dan penerimaan berita, internet menawarkan kecepatan,
keleluasan dan kenyamanan bagi pemirsanya.Internet memiliki ruang yang lebih
terbuka dan bebas dalam mempresentasikan dan menempatkan berita, oleh karenanya
berpengaruh terhadap kredibilitas dan kepercayaan pemirsanya terhadap suatu
peristiwa.Lebih dari itu, pemirsanya juga memiliki demografi yang berbeda
dengan pemirsa dari media konvensional.Bahkan menurut Scheufele dan Nisbet
(2002) pada tahapan sekarang ini, peranan internet dalam mempromosikan
kemasyarakatan yang aktif dan terinformasi, masih minimal. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Althaus dan Tewkesbury (2002) kepada pembaca The New York
Times versi cetak dan versi digital, menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda
dari sisi agenda publik. Pembaca versi cetak rata-rata memiliki eksposur yang
lebih tinggi di ranah publik dan memiliki perspsi yang lebih sistematis terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh suatu negara, terutama hal-hal terkait isu
internasional.
Q. KESIMPULAN DAN KOMENTAR
Dalam
penjelasannya mengenai Berita, Opini Publik dan Komunikasi Politik, McQuail
memberikan gambaran komprehensif dan terstruktur mengenai bagaimana produksi
suatu berita memiliki tujuan, pengaruh dan agenda kepentingan di dalamnya.
Dalam penjelasannya ini, McQuails seakan ingin menggambarkan bahwa dalam
perkembangannya, berita yang diinformasikan melalui media berubah menjadi sebuah
komoditas.Berita tidak lagi merupakan gambaran faktual, objektif dan bebas
nilai dari suatu peristiwa, seperti yang didefinisikan pada awalnya.Berita kini
memiliki motif di baliknya, baik yang positif seperti untuk memberikan
pembelajaran, untuk memberikan pengetahuan sampai kepada motif yang konotatif
seperti propaganda.
Namun
demikian, perkembangan ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh transformasi media
menjadi badan usaha sehingga upaya komersialisasi mempengaruhi bagaimana media
mengorganisasi isi dan penyebaran berita. Dari sisi penerimanya (pemirsa) juga
membawa pengaruh, karena menurut teori Elaboration Likelihood Teori bahwa
individu secara kognitif akan memproses informasi yang relevan secara lebih
rinci dan cermat dibandingkan informasi yang tidak memiliki cue tertentu.
Oleh karenanya, pembuat berita akan mengupayakan agar berita menjadi relevan
terhadap pembacanya, sehingga akan diproses di central processing system
dari individu.
McQuail
mengemukakan bahwa berita di internet memiliki posisi dan pemirsa yang berbeda
dibandingkan berita di media cetak. Hal tersebut memang saat ini masih relevan,
namun jika kita lihat pada 10-20 tahun ke depan, bisa jadi anggapan tersebut
akan salah. Memang benar bahwa pada saat ini agenda publik masih lebih banyak
dikuasai oleh individu yang berada pada generasi sebelum millenials.Generasi
pendahulu ini berada pada posisi yang berpengaruh di dalam masyarakat, sehingga
preferensi mereka terhadap media cetak masih lebih besar seingga pemberitaan di
dalamnya memberikan efek yang lebih besar kepada agenda publik. Namun pada
akhirnya generasi ini akan tergantikan oleh para millenials yang lebih terbiasa
dengan berita yang berkembang di internet dan memberikan efek yang lebih tidak
terduga oleh karena adanya beragam informasi mengenai suatu peristiwa. Agenda
publik di masa depan akan memiliki heterogenitas yang lebih besar dan
upaya-upaya untuk melakukan pembingkaian, pengaturan agenda maupun priming akan
menimbulkan efek yang kurang signifikan dibandingkan saat ini.
R. DAFTAR PUSTAKA
McQuail, Dennis.
2010. “McQuail’s Mass Communication Theory”. 6th edition. London: SAGE
Publications, Inc.
Holbert,
R.L., Garrett, R.K. & Gleason, L.S. (2010).“A New Era of Minimal Effects?A Response to
Bennett and Iyengar”.Journal of Communication Vol. 60,15-34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar