Beberapa hari lalu melancong ke negeri tetangga. Tepatnya bukan pure melancong, melainkan berobat. Untuk pertama kalinya, paspor elektronik yang jadi pada November lalu digunakan.
Paspor elektronik itu paspor yang ada chip di sampul depannya. Sampul covernya agak keras dibanding paspor biasa dan juga menurut saya riskan sobek. Isi dalamnya okelah, warna warni menampilkan ciri khas Indonesia.
Sampai di bandara CGK, chekin beres kemudian imigrasi. Di sinilah letak perbedaan yang autogate (yang menggunakan paspor elektronik) dan yang tidak.
Kalau pakai paspor elektronik, ga perlu ikut antrean panjang banget. Ga gabung sama rombongan umroh, yang kadang bikin kaki pegel ngantre saking panjangnya. Dengan mudah cukup melenggang saja melewati imigrasi.
Eh melenggang, saya salah kalau bilang ini melenggang, karena sebenarnya ribet juga. Pasalnya alat pemindai tidak sensitif. Kemudian ga ada petugas yang membantu kita saat akan memindai. Adanya diujung gate.
Kemudian kalau berhasil memindai, selanjutnya sidik jari. Sidik jari yang digunakan hanya satu. Ga perlu dua jari seperti ketika berurusan dengan petugas imigrasi manual. Tapi lagi-lagi , permasalahannya adalah alatnya ga responsif. Beberapa kali coba gagal terus. Akhirnya sama petugasnya diujung disuruh scan setiap jari. Kalau dihitung-hitung, habis waktu 15 menit cuma buat itu aja.
Nah ketika saya berangkat, saya gunakan jari manis yang dipindai. Kata petugasnya, harua diingat kalau pulang nanti. Pas pulang ke Indonesia, saya menghadapi persoalan yang sama. Alat pemindai ga responsif.
Bandingkan, kalau saya hanya gunakan paspor manual. Modal antre, senyum sama petugas, hadap kameta dan scan jari telunjuk aja beres..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar