Sepekan menjelang hari pernikahan saya, saya pun mendemam. Mendemam adalah Bahasa Melayu, untuk menggambarkan kondisi badan yang panas-dingin, dan sekujur badan rasanya gemetar. Dalam Bahasa Indonesia-nya adalah meriang.
Hufft...lagi-lagi saya harus menghembuskan nafas. Ternyata mengurus pernikahan sendiri hanya bedua dengan pasangan itu cukup merepotkan, meskipun ada nilai tambahnya yakni acara sesuai dengan yang diinginkan.
Mulai dari mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan, mendaftar di KUA (yang kemudian dibantu pihak keluarga calon suami), mencari gedung, menentukan menu makanan, pakaian, salon, undangan, memikirkan acara dan menyebarkan undangan.
Rasanya, hmmm pusing tingkat dewa.
Belum lagi, tamu bulanan cewek, yang mengakibatkan pergolakan hormon. Saya makin uring-uringan. Untung pacar saya sabar menghadapinya. Bayangkan, saya sampai kepikiran konflik Mertua vs Menantu, akibat saya membacanya di internet. Padahal calon mertua saya cukup baik.
Bahkan, saya sering berkonsultasi dengan teman-teman yang sudah menikah.
"Kalau mertua dan menantu cewek ga pernah akur, berarti perang mulu dunk dunia ini," kata sahabat saya Ebi memberi pertanyaan.
"Yah, jangan terlalu banyak ngobrol, baik-baik aja sama mertua," kata sahabat saya Eza.
Bahkan pacar saya sampai mengatakan begini :
"Emang ibu aku tu galak, tapi ga mungkin dia sampai mukul anak orang."
Jleb...saya pun terdiam...
Ternyata oh ternyata, pikiran buruk menguasai saya.
Sepekan menjelang menikah, sepupu saya yang di Lampung menelepon. Minta disedikan mobil ples penginapan...
Teman kantor saya, Mas Lintang, memang seharusnya yang mengrus pernikahan itu adalah keluarga. Pengantin tinggal duduk manis saja. O ya, dia menikah April kemarin. Memang sebelum menikah, mukanya ruwet.. Setelah ditanya, ternyata pernikahan mereka juga dibantu oleh pihak keluarga..
Bagaimana dengan saya yang semuanya dikerjakan berdua dengan pasangan?
Pusing coy...
Saya bukannya, tidak mau orang tua ikut campur. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Orang tua saya bercerai sejak saya berumur 1 tahun. Saya ikut keluarga bapak di Riau sejak berumur 3 tahun. Ibu saya meninggal ketika saya berumur 17 tahun.
Saat ini, yang tinggal di Riau hanya Mamak (kakak Bapak) dan Uda. Mamak sudah berumur 67 tahun, pada 2012 ini. Abang saya sibuk sendiri dengan dagangannya. O ya, ada juga adik saya, Os, yang berumur 24 tahun tapi susah diharapkan, karena kegemaran keluar malam.
Jadilah, saya putuskan untuk menggelar hajat di Tangerang. Calon suami saya orang Tangerang, dan saya pernah SMA di Tangerang. Bapak pindah ke Bogor, pertengahan tahun lalu. Saya memutuskan di Tangerang, dengan harapan teman-teman bisa datang ke hajat saya.
Tak mungkin, saya merepotkan Mamak dan Abang saya. Cukuplah mereka yang membesarkan saya, meskipun konsekuensinya tidak semua keluarga bisa hadir.
Belum lagi, pada Ahad kemarin, nenek saya dari pihak Ibu meninggal dunia. Semoga Alloh menempatkannya di tempat yang layak.
Teman-teman banyak yang menawarkan bantuan, tapi saya tak sampai hati merepotkan mereka.
Namun ternyata, wow...saya pusing sendiri. Nafsu makan menghilang, badan panas-dingin, asam lambung naik.
Dan sekarang saya mendemam, menggunakan sarung untuk menyelimuti badan dan menulis di blog ini. I'm being sick
Tidak ada komentar:
Posting Komentar