Semua bermula pada awal tahun lalu, ketika kami (15 peserta yang mendapat pelatihan jurnalistik selama tujuh bulan) diangkat menjadi pegawai tetap. Seorang direktur yang tak boleh disebutkan namanya :), mengatakan semua peserta harus menerima dimana dia ditempatkan.
Semuanya mengangguk mafhum. Maklumlah, perkataan sang direktur tersebut adalah titah yang tak bisa diganggu gugat. Dan mulailah sesi foto-foto, saya yang berada di samping direktur lainnya, melihat rencana penempatan.
Dan betapa terkejutnya, saya akan ditempatkan di Bangka Belitung. Terbayang oleh saya, pacar saya yang sudah datang menemui orang tua di Riau dan mengatakan keseriusannya.
Dan pada salah seorang senior pun, pada November tahun lalu saya mengatakan akan menikah. Awalnya, saya berkonsultasi dimana saya bagusnya kerja. Pengennya pulang ke Riau dan melanjutkan kuliah master yang belum selesai. Namun pacar mengajak saya menikah. Dia mengaku bosan pacaran, dengan status yang tidak jelas.
Melihat keseriusannya, saya pun luluh. Dulu punya pacar, diajak nikah oleh saya, eh dianya ga mau. Alasannya macam-macam lah, belum punya modal dan lain-lain. Ya sudahlah, hubungan kami pun kandas. Sakit hati saya, ditolak seorang cowok.
Dengan alasan itu, senior yang pernah meliput di istana selama periode lima presiden pun, menganjurkan saya di Jakarta saja. Menikah dan kalau ada uang melanjutkan kuliah, namun perlu menunda kelahiran dulu.
Namun betapa hancurnya hati saya, ketika saya melihat penempatan di Bangka Belitung. Saya memang menginginkan tinggal di daerah pantai, namun saya ingin sebelum menikah.
Ditengah kebingungan teman kantor saya, Siska, bertanya apakah benar saya akan menikah dan saya jawab ya. Ketika di kantor, saya baru tahu yang mengusulkan saya di Bangka adalah pak Eliswan, saya bilang kalau saya akan menikah.
Dia pun merasa bersalah dan mengajak saya bertemu dengan pimpinan. Akhirnya pimpinan menyetujuinya. Betapa senangnya saya. Sebenarnya bukan karena penempatannya, tapi esensinya saya akan menikah.
Namun ternyata, ramai beredar di kantor, kalau saya menikah karena tidak mau ditempatkan di Bangka.
"Dia kan menikah, karena tidak mau ke Bangka," kata seorang senior.
Saya kesal, namun hanya bisa diam.
Namun persoalan tersebut berbuntut panjang. Tak jadi saya yang dikirim, teman saya, Ida, yang dikirim. Dia berangkat pada awal April.
"Lu kan ga pernah merekomendasikan dia. Jadi gw pikir, ga masalah," kata teman saya yang lain, Bayu.
"Udahlah cuek aja, itu kan sama seperti ketika lu ditunjuk ke Bangka. Lagian kan lu mau nikah,"kata teman saya yang lainnya.
Akhirnya, saya membesarkan hati. Itu semua adalah takdir. Meskipun pada akhirnya, teman saya tersebut seakan marah pada saya. Ketika saya menanyakan alamatnya untuk mengirimkan undangan pernikahan saya, dia hanya mengatakan akan menanyakan pada ibu kos. Namun saya tunggu-tunggu, tak jua ada pesan singkat yang masuk. Ya sudahlah, biarkan waktu yang berbicara...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar